"Duniaku?"
Semrawutnya menampakkan ia lelah. Suaranya serak bak orang tak pernah minum. Alis menukik tajam, seakan dunia sangat mencekam. Ya, dunianya kejam. Sekejam itu sampai ia sendiri tak ingin lagi berdiri.
Ramai sosok siluet hitam berlalu lalang melewati garis pandangnya. Ramai suara berbisik-bisik penuh cacian, hinaan, tawaan yang tidak jelas artinya. Ramai derap langkah yang semakin bising terdengar. Tapi tidak untuk seorang wanita yang hanya diam di tengah keramaian.
“Gea Keanu.”
Wanita itu mencari sumber suara berat yang mampu ia tangkap di telinganya. Tubuhnya berputar-putar mencari keberadaan sosok laki-laki yang memanggilnya.
Drap. Drap. Drap.
Sepatu hitam mendekatinya. Namun matanya tak berani untuk mendongak. Seseram itukah dia?
Oh tidak. Ini dunianya yang memang mengerikan.
“Ku kira kamu gak bakalan ke sini?”
Gea menegak saliva sekasar batu kerikil. Susah sekali rasanya menerima kenyataan. Hidupnya seolah-olah berada di mesin waktu. Kadang ke masa depan, kadang dipertemukan pada masa lalu. Dan sekarang, keduanya telah bersatu?
“Aku ke sini bukan untuk bertemu denganmu.” Meski banyak keraguan, jawaban itu mampu keluar dari bibir tipis milik Gea.
“Oh ya? Jadi, siapa yang kamu cari? Duniamu?”
Sial. Pertanyaan itu seakan mengunci semua pergerakan Gea. Bahkan otaknya terkunci. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain diam.
Menghilanglah kau Setan!
Sadawira– laki-laki dengan rambut yang tertata rapi tersenyum sinis. “Aku tahu kamu masih bingung dengan dunia, Ge.” Matanya tetap setia menatap lekat wajah Gea. “Dan ini bukan duniamu,” lanjutnya.
Entah dorongan dari mana, seakan langit ingin berucap tapi terbendung oleh awan hitam. Gea membuka matanya. Mencoba melihat kenyataan yang sedari dulu terkubur paling dalam. Ada sosok pria berjas hitam di depannya. Sangat rapi. Pasti hidupnya tersusun sesuai keinginannya. Tidak dengan dirinya. Seorang gadis biasa dengan gaya yang berganti seiring berjalannya Zaman.
Mata Wira menyapu keadaan, membuat Gea mau tak mau mengikutinya. Banyak orang yang tadinya siluet kini berwarna-warni. Gaun mewah dengan penampilan yang menawan. Lagi-lagi pria di depannya ini menamparnya dengan kenyataan.
“Ini dunia yang kamu cari?” sindirnya.
Gea menggigit bibirnya takut. Sungguh, ini bukan dunia yang ia inginkan. Banyak wanita kurang bahan pakaian. Banyak pasangan lancang bermesraan. Ini tempat umum, kan?
“Ayo pulang, Ge. Ini bukan duniamu.”
“Kamu kira aku Setan?”
Gea mendelik kesal. Ini kehidupannya. Dan untuk apa pria di hadapannya itu dengan lancang melarangnya untuk hidup di sini?
“Ge, kamu melupakan tujuanmu!”
“Tahu apa kamu tentang hidupku?!”
“Aku memang tidak tahu banyak tentang kehidupanmu, Ge. Tapi aku tahu arti namamu.”
Gea diam. Mencerna setiap kata yang terlantur dari mulut Wira.
“Duniamu. Dunia yang kau cari-cari selama ini. Sebenarnya ada di dekatmu, Ge. Bahkan, ada di dalam dirimu sendiri.”
“Maksudmu apa?”
Wira berjalan membelah kerumunan orang-orang yang sedang sibuk bergosip. Wanita-wanita di sana memandangnya sangat tajam. Gea heran, apa yang salah dengannya? Ia merasa penampilannya sudah sederajat dengan orang-orang di sana. Lalu, kenapa mereka seakan jijik?
Seolah bisa mendengar kata hati Gea, Wira berucap, “Penampilanmu tidak salah, Ge. Tapi tujuanmu yang salah.”
Gea diam lagi. Sedang apa dirinya di sini? Mendengarkan ocehan tak jelas dari Wira— laki-laki di masa lalunya, atau pergi mencari dunianya yang kelabu?
“Wira, kenapa kamu ada di sini?”
“Karena hidupku ada di sini.”
“Apanya?”
“Gea.”
“Aku?”
“Bukan kamu, tapi Gea.”
“APA MAKSUDMU, WIRA!”
Cukup sudah. Sepertinya pria bodoh ini berhasil membuat emosinya terkuras. Gea tak ingin lagi melihat Wira. Gadis itu melangkah hendak pergi, namun dengan cekatan Wira kembali menarik pergelangan tangannya membuat Gea membalikkan badan dengan cepat.
“Kamu sibuk mencari duniamu, kehidupanmu. Padahal semua itu ada dalam namamu. Gea, artinya bumi. Kamu hidup di bumi, kan?”
Gea terdiam. Ya, dia adalah bumi. Tapi kenapa semua orang yang ada di dalam hidupnya selalu menyebalkan? Tidakkah mereka merasa lelah dengan kelakuannya sendiri? Gea merasa, dirinya hanya berlari dalam lingkaran yang tiada henti-hentinya berputar. Ia tak menemukan sisi jalan yang menunjukkan arah pulang. Ya, dia tersesat di dalam lingkaran hitam.
“Aku punya tujuan, Wira.”
“I know it. Tapi tujuan mana yang kamu maksud?”
“Aku ingin menggapai cita-citaku di sini.”
Wira tersenyum remeh. Pria itu melihat dari bawah kaki hingga ke atas kepala Gea. Melihat penampilan gadis itu yang tak pernah ia lihat sebelumnya, membuat Wira terkekeh.
“Ohh, jadi cita-citamu sekarang menjadi budak?”
Ingin sekali Gea menampar pipi mulus milik Wira. Priaitu semakin lancang berkata. Dia sangat menyebalkan. Dan dia akan tetap begitu. Sampai kapanpun.
“Kamu rela diperbudak oleh zaman demi dibilang kekinian, bukan?”
Wira semakin banyak bicara. Dulu, sebelum mereka berdua sejauh langit dan bumi, Gea lah yang mengajarkannya bagaimana cara berbicara. Dan jujur, Gea sangat menyesali itu sekarang. Lihatlah, laki-laki ini tumbuh menjadi seorang pria yang banyak tanya.
“Oh ayolah, Ge. Kenapa hanya diam? Aku hanya berbicara terus terang, kan?”
“Kata-katamu tidak penting untuk kujawab.”
“Kenapa? Karena kenyataan sepahit itu?”
“Diamlah!”
“Jangan memaksakan kehendak, Ge.”
Sekarang suaranya serak. Ada nada tulus meminta permohonan di sana. Laki-laki itu menatap sendu Gea. Kini, mata Gea pun tak beralih dari manik hitam milik Wira.
“Ayo, pulang. Selama kamu masih berada di sini, kamu akan semakin melupakan tujuanmu. Mereka orang kaya, karena itu kamu lebih mementingkan untuk bergaya, kan? Sekarang, tujuanmu untuk menuntut ilmu semakin hilang. Ayo, pulang!”
Benar. Seberapa banyak pun usaha yang dilakukannya, jika dia hanya memikirkan orang-orang disekitarnya, dia akan tetap seperti ini. Jati dirinya akan semakin hilang. Dunianya semakin kacau. Begitulah yang ada di pikiran Gea. Gadis itu tidak tahu kenapa dia berada di dalam ruangan gelap penuh orang-orang yang sedang berpesta di sini. Lampu kelap-kelip semakin cepat bersinar. Suara dari kotak hitam terus bergema. Semakin besar suaranya, semakin heboh mereka bergembira. Apa yang menyenangkan dari ini semua? Keramaian ini, membuat dirinya semakin sesak saja.
Tapi sekali lagi yang dikatakan Wira adalah benar. Hidup di antara orang-orang besar adalah kesalahan. Ia tidak bisu, tapi seakan semua orang di sini tuli. Percuma saja, dia tidak akan bisa hidup tenang tanpa mengikuti zaman. Atau, dia akan ditenggelamkan ramai-ramai. Dia tak akan bisa bicara. Tak akan ada yang mendengar. Kecuali satu;
hanya dengan uang.
Ini kehidupan Gea. Tentang banyaknya coretan berlalu lalang dalam pikiran. Tentang dunia yang penuh dengan sandiwara. Tentang dirinya yang tidak tahu mau kemana.
Ini dunia Gea. Meski ragu untuk mengakuinya, tapi dia adalah Bumi. Tempat semua orang menemukan kehidupan. Tapi dia sendiri tidak percaya bahwa dia hidup.
Ini tentang Gea. Keanehan-keanehan yang ia ciptakan sendiri. Mencari tuntunan dalam gelapnya tuntutan.
Mesin waktu membawanya berkeliling dunia. Dimana ia pergi untuk melupakan namun di tempat itu ia dipertemukan pada kenyataan.