Dua Makmum Satu Imam

Dua Makmum Satu Imam

Yu Sandri

4.7

PROLOG

 

 

Mencintai seseorang, terkadang memang menyesatkan. Dingin dan panas seakan tidak ada bedanya. Dia yang menghanyutkan, menggilakan, dan menghancurkan. Tidak peduli pada rasa sakit yang kamu tutupi lewat senyum dan tawa di bibir. Iya, dia yang kamu sebut cinta.

Kepada logika, kamu sering kali merasa paling benar, menghakimi kalbu yang sering tersesat. Mengucilkannya di tempat terendah yang bahkan setitik cahaya pun enggan menjemput. Iya, sudut jauh paling hitam yang tolol itu.

Kepada logika, kamu sering kali merasa paling benar, menceramahi kalbu yang sering bengal. Memberikan sumpah serapah di tengah kekalutan yang bahkan tidak seorang pun bisa mengendalikan. Iya, sudut jauh paling tuli yang tolol itu.

Kepala logika yang sampai kapan pun selalu menjadi paling benar, kali ini saja, bantulah kalbu menemukan titik terang. Dia sudah bosan terkucil di sudut jauh paling hitam. Ditambah luka semakin memperdalam.

Bantulah kalbu!

***

 

BAB 1

 

BUKITTINGGI, 2015

 

“Gila, Liam Hemsworth jomlo lagi!”

Aku geregetan melihat reaksi berlebihan Ulfa, teman sebangkuku. Bulan lalu ada infotainmen memberitakan kandasnya hubungan Selena Gomez dan Justin Bieber, Ulfa senang bukan main karena tidak menyukai si aktris Disney tersebut. Menurutnya, Selena terlalu bermutu (bermuka tua) untuk dipasangkan dengan Justin Bieber yang unyu-unyu. Dan sekarang, berita Liam Hemsworth tidak bisa beralih dari Miley Cyrus membuatnya mencak-mencak tidak jelas—seperti punya peluang saja untuk menjadi pengganti si pujaan hati bintang The Hunger Games itu!

“Bulan depan juga bakal balikan lagi,” sahutku malas-malasan. “Lima bulan lalu juga mereka putus, terus balikan lagi sebulan kemudian, kata infotainmen, sih.”

“Ah, pokoknya aku nggak suka kalau Liam kayak gini. Miley nggak cantik. Ini juga, kata infotainmen dia selingkuh! Aaarkh!”

Aku memutar bola mata sambil mencibir. “Kemarin itu juga ada infotainmen bilang Liam ciuman sama cewek lain. Mungkin karena itu mereka putus.”

“Ya, cowok wajarlah punya banyak penggemar. Tapi ini cewek, loh, dan demi apa pun Miley Cyrus itu nggak cantik!”

Aku mendengkus. “Cowok lagi yang dibela. Cewek salah, ya, cari lagi kesalahan lainnya. Giliran cowok yang salah, tetap dicari lagi kesalahan pihak cewek. Pret! Lagian, memangnya kamu lebih cantik daripada Miley Cyrus? Jauh kelesss!

Ulfa tidak lagi membalas. Dia sibuk menguntit akun-akun infotainmen di Instagram.

Simulasi ujian nasional berbasis komputer di sekolahku baru saja selesai. Aku dan Ulfa masih betah berada di kelas setelah menyelesaikan sesi satu, dua jam yang lalu. Selain karena memang lebih memilih belajar di sekolah, jaringan internet sekolah yang luar biasa kencang juga mendukung untuk berlama-lama di sini.

Sibuk memasukkan buku-buku ke tas, mataku kemudian terpaku pada tulisan kecil di sudut meja. Tulisanku. Senyum di sudut bibir tidak bisa kuhilangkan karena membaca tulisannya. Tidak ada yang tahu akan keberadaan tulisan itu, karena aku menutupinya dengan kertas origami—yang baru saja tidak sengaja tergeser—bercorak kupu-kupu.

Selesai mengemasi mengemasi buku-buku, aku menyandang tas, mencolek Ulfa agar segera berdiri. “Yuk, pulang!”

Sebelum benar-benar beranjak keluar dari kelas, aku kembali mematuti origami yang menyembunyikan tulisan indahku.

Irania <3 

***

Seperti sore-sore sebelumnya, aku menikmati camilan di tepi jendela kamar sambil terus memandang lurus ke rumah di seberang jalan. Seharusnya dia sebentar lagi pulang. Bukan, dia bukan kekasihku, melainkan calon imamku. Ayolah, jangan katakan ini terlalu berlebihan, meski aku pun tahu ini sangat di luar nalar. Tapi, ya … begitulah.

Mencintai seseorang bukanlah sebuah kesalahan. Sebab, rasa itu hadir karena murni diperintahkan oleh hati. Otak tidak akan punya peran banyak jika hati tidak memerintahkannya untuk berlaku. Sebab itu jugalah, hatiku menuntun untuk setia pada pujaan hati di rumah seberang jalan.

Seperti ilmu fisika, cinta bermakna kesetiaan. Jika seseorang ingin perasaan cintanya tetap berjalan lurus, maka selama tidak ada gangguan dari energi cinta lain, perasaan itu akan aman. Agar jalinan cinta tidak berhenti bergerak karena ada energi lain tersebut, maka dibutuhkan usaha agar resultan gaya dari energi lain itu menjadi nol, dan salah satu usahanya adalah menciptakan gaya kesetiaan.

Di sini, aku memiliki kesetiaan untuk tetap mencintai laki-laki di rumah seberang jalan. Aku tahu ini adalah sebuah pantangan, tapi, sekali lagi, cinta tidak akan bisa disalahkan. Sekalipun laki-laki itu lebih 13 tahun dariku. Sekalipun laki-laki itu sudah memiliki istri.

Ya, aku jatuh cinta pada lelaki yang sudah menikah. Istrinya adalah energi lain yang harus aku lenyapkan menjadi nol agar gaya kesetiaanku tetap utuh. Kejam, memang.

Tapi, sekali lagi, seperti ilmu matematika, cinta adalah double power. Aku sebagai faktor X akan memiliki double power dan berkekuatan kuadrat jika mempunyai cinta yang bulat. Dengan cinta, aku bisa mempunyai kekuatan yang tidak terduga. Atau seperti bilangan irasional yang hasil baginya tidak pernah berhenti, cinta memang tidak masuk di akal. Tapi, sekali lagi, cinta tidak akan pernah bisa disalahkan.

“Dek, angkat jemuran sana!”

Aku menoleh ke belakang dan mendapati Kak Rinanti berkacak pinggang di ambang pintu. “Iya,” sahutku, kemudian langsung berdiri.

Jemuran terletak di bagian kiri rumah, lebih dekat ke rumah di seberang jalan. Aku sengaja berlama-lama, mengambil kain lalu berpura-pura mengisaikannya, baru memasukkan ke dalam ember. Bentar lagi, bentar lagi, bentar lagi. Sebentar lagi dia pulang. Tepat saat barisan terakhir kain jemuran akan kuangkat, mobil keluarga keluaran terbaru datang dari ujung jalan. Aku merapikan rambut dan berpura-pura fokus pada kain saat mobil berbelok ke rumah di seberang jalan. Dari balik kain panjang alas meja makan, aku mengintipnya, menjilat bibir bawahku saat melihat lelaki itu turun dari mobil dan memutari benda itu membukakan pintu sebelah—yang langsung saja membuat energi khayalanku hampir saja menjadi minus.

Menghela napas, aku lantas kembali mengangkat kain sambil mencuri pandang ke seberang jalan. Kain terakhir diangkat, mataku bersirobok dengan si lelaki, dia melambai sambil tersenyum ramah.

Nikahin aku, Bang! Nggak apa-apa jadi yang kedua! Teriakku dalam hati.

Aku mengangguk kecil, lalu berbalik dengan pipi yang pasti merona. Jantungku kembali berulah.

Untuk ukuran anak kelas 3 SMA yang baru akan lulus sepertiku, memang akan sangat memalukan untuk jatuh cinta pada lelaki beristri. Tapi, sekali lagi, malu bukan untuk dipermasalahkan. Toh, kami hanya berjarak 13 tahun. Aku 18 dan dia 31 tahun. Biasa saja.

***

“O-em-ji!”

Aku menoleh saat mendengar Ulfa berteriak histeris. “Kenapa?”

“Miley Cyrus jadian sama cowok lain. Berengsek. Udah untung Liam mau tunangan sama dia, terus break—istilah kece untuk putus sih, balikan lagi, break lagi, balikan lagi. Pokoknya gitu deh. Tapi, ini dia kenapa malah jadian sama cowok lain sih?” Ulfa menggeleng sambil terus menyentuh layar ponsel. “Nah, aku yakin karena cowok ini nih, makanya mereka putus. Aku memang nggak setuju sih Liam sama Miley, tapi kalau mereka putus karena ada orang ketiga, itu bikin emosi parah. Rasanya pengin dijambakin yang namanya orang ketiga itu!”

Aku mengerutkan kening. Jika yang pertama tidak menjadi yang utama, lalu apa salahnya orang ketiga menjadi yang utama? Ini masalah rasa. Mau dia orang pertama, kedua, ketiga atau ke berapa pun itu, kalau hati sudah memilih, ya terserah kata dia.

“Biasa aja, sih.”

“Apanya yang biasa? Ini cewek nggak benar nih yang kayak gini. Baru putus udah langsung jadian sama cowok lain.”

“Terus kalau misal cowoknya baru putus langsung jadian sama cewek lain, gimana?”

“Ya, biasa aja sih. Namanya juga cowok.”

Aku mendengkus. “Sana aja jadi cowok. Cewek dijatuhin, cowok dinaikin derajatnya. Situ sadar kodrat nggak, sih?”

Ulfa memanyunkan bibirnya sambil kembali mematuti layar ponsel. “Ya, kan tergantung cewek sama cowoknya, Ran.”

Aku tidak menyahut lagi. Ikut berselancar di Instagram untuk menguntit profil pujaan hatiku. Foto terbarunya diunggah semalam, berdua dengan istrinya sedang duduk di sofa. Aku hanya mendengkus melihat itu. Suatu saat nanti, aku juga akan mengunggah foto berdua dengannya, menuliskan keterangan dengan kata-kata romantis, mengatakan kepada dunia bahwa aku sangat mencintai lelaki beristri itu.

Aku jatuh cinta padanya. Jika aku menderita, itu bukan salahnya. Aku yang menikmati tenggelam dalam sakitnya cinta itu.

“Ran, dipanggil sama wali kelas ke kantor,” kata Dea yang tiba-tiba saja sudah duduk di bangku depan. “Bawa buku keuangan sekalian.”

Setelah menemui wali kelas untuk menghitung pembagian uang kas, berhubung bulan depan sudah ujian nasional, aku kembali ke kelas dan memberitahukan siapa-siapa saja yang belum lunas pembayarannya. Ya, beginilah tugas pokok dan fungsi seorang bendahara kelas.

“Eh, Ran, mampir ke Ramayana bentar, ya.”

Aku menatap Ulfa dengan kening berkerut. “Ngapain? Ke Timezone jangan pakai baju sekolah, deh.”

“Enggak, bukan ke Timezone. Ke tempat aksesoris elektronik buat beli case ponsel aku nih, udah lecet belakangnya.”

“Harus banget ke Ramayana? Konter depan kan ada,” sahutku malas.

“Beda tempat, beda kualitas. Mau, ya?”

Aku hanya berdeham singkat. Lagi pula, bosan juga di rumah menunggu pukul lima untuk menanti sang pujaan hati pulang kerja.

Dua puluh menit kemudian kami sampai di Ramayana. Ulfa menarik lengan bajuku supaya tidak berpisah. Hari Sabtu begini memang selalu ramai. Naik eskalator pun bisa antre. Aku menunggu Ulfa yang sedang bertanya-tanya kepada penjual case sambil bermain ponsel. Memandangi foto pujaan hatiku yang tampannya luar biasa mengaburkan akal sehatku.

Tanda hati muncul di ikon notifikasi Instagram, aku menyentuhnya lalu terperanjat di tempat.

[iiikram] liked your post. 22 s

***