Ingin rasanya aku lari dan langsung menghambur ke pelukan Ibu sambil mengutarakan semua teror yang terbungkam rapat di dadaku. Namun ternyata hal tersebut hanya mimpi belaka. Di hadapan Reinhart aku tak bisa berbuat apa-apa. Tubuhku gemetaran demikian hebat sampai aku takut menyentuh sendok dan makan malamku.
Dari seberang meja, tik-tok jam terasa bagai langkah pembunuh berdarah dingin yang berjalan mendekat. Sebutir keringat mengalir dari pelipis ke daguku. Belum ada yang membuka gembok percakapan semenjak Reinhart menyapa Ibu dan mengambil posisi duduk persis di sampingnya. Ia duduk di sana dan menatapku sambil tersenyum seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia menguasai Ibu; menguasai situasi malam itu.
Bisa kudengar irama jantungku sendiri di tengah suasana makan malam yang sunyi. Hanya denting sendok dan suara mengecap bersahutan dalam pikiran senyap yang berkelindan. Aku menyambar segelas air putih dengan tanganku yang gemetaran kemudian menguyupnya perlahan.
"Maya, kau kenapa?"
Seketika Reinhart berhenti mengunyah. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arahku. Aku terhentak rasa takut yang mencengkeram lalu membenarkan posisi dudukku untuk menghilangkan rasa kikuk. Kuambil sendok dan garpu di hadapanku, berpura-pura siap menyantap makanan.
"Tidak apa-apa, Bu." Aku mulai menyendok makanan lalu menyuapkannya ke mulutku. Semuanya terasa pahit dan mengerikan. Pikiranku masih dihantam palu-palu dilema yang terbuat dari batu.
"Kalau tidak apa-apa, mengapa sejak tadi cuma minum air putih?"
"Kalau ada yang kau pikirkan, katakan saja," tambah Reinhart yang duduk di samping Ibu. Suamiku itu makan dengan lahap. Lamat-lamat denting sendoknya yang berayun itu terdengar begitu menakutkan di pikiranku. Segala gerakan tubuh Reinhart sejak hari itu, terasa bagai sebuah teror yang bisa membahayakan nyawaku.
Aku menatap suamiku sebentar kemudian berusaha tersenyum meski canggung dan pahit. Suasana di meja makan itu seolah dijaga sedemikian rupa. Atmosfer di sana terasa begitu kaku. Seakan-akan kami bertiga tidak saling kenal dan sedang berjaga jarak untuk bercerita mengenai kehidupan masing-masing. Sementara ketakutan di dalam dadaku terus berlarian ke sana ke mari melewati lorong demi lorong dalam rangkaian labirin.
Aku tidak mungkin mengatakannya sekarang. Reinhart ada di sini, bersama ibuku. Ia duduk tepat di sisi Ibu dan menguasai situasi saat ini. Jantungku kian pegas dipompa kerisauan yang tertahan.
Aku dilanda dilema antara menceritakan kejadian itu sekarang di hadapan Reinhart atau menundanya sampai menemukan waktu yang tepat. Kendati demikian aku merasa tak kan kuat lama-lama memendam kejadian itu sendirian tanpa satu pun tempat untuk mengadu.
"Begini, teman SMA-mu dulu, si Rena, sudah melahirkan lho, bayinya laki laki lucu sekali, " ujar Ibu memulai perbincangan. Tangannya mengiris lauk dengan garpu kemudian menyuapkannya ke mulut.
Aku mengerling ke arah sunyi. Aku tahu ke mana pembicaraan itu akan menuju. Aku berusaha makan dengan tenang sambil terus membelesakkan rasa cemas di dalam diriku.
"Baru tiga tahun menikah, sudah diberkahi anak dua, hehehe." Ibu tersenyum. Aku ikut tersenyum begitu kulihat Reinhart juga tersenyum. Wajahnya tampak mengembang bagai bunga yang tengah bersemi. Hal ini membuatku kaget. Kutatapi wajah Reinhart untuk menemukan sisa-sisa kengerian yang mungkin saja masih menguar dari dalam dirinya.
"Nah, kalian, kapan punya anak?" celetuk Ibu.
Aku sontak tersedak mendengar pertanyaan Ibu. Segera kusambar gelas dan meminumnya, menghanyutkan sesuatu yang menyangkut di tenggorokan. Reinhart mendekat ke arahku, aku bergidik dan hendak menghindar begitu laki-laki itu menjulurkan tangannya. Ternyata ia hanya mengelus punggungku. Aku bernapas lega sambil masih terbatuk-batuk.
"Kamu tidak apa apa, Maya?" Reinhart bertanya. Wajah laki laki itu terlihat cemas dan tulus saat bertanya. Aku menatapnya heran sambil berusaha menjauhkan tangannya yang mengelus punggungku.
"Kenapa, Maya? Kamu tidak enak badan?"
Aku tidak berniat menjawabnya. Bahkan menatap sorot matanya saja aku masih tidak berani. Pikiranku melayang pada kejadian semalam. Semalam Reinhart merobek pakaianku kemudian menyetubuhiku secara paksa. Ia memperlakukanku layaknya binatang hingga beberapa bagian di tubuhku lebam. Apakah ia baik karena ibuku ada di sini?
"Tidak apa-apa, Mas." Aku mencoba memasang senyum seraya sekali lagi menyingkirkan tangannya yang menempel di tubuhku.
"Kenapa? Kamu malu karena ada Ibu di sini? " tuduh Reinhart. Ibu terkekeh mendengarnya sementara aku sendiri menyadari sepenuhnya bahwa Reinhart benar-benar menguasai situasi dan aku tidak mungkin mengungkap rahasianya malam ini. Tidak akan bisa.
Ibu tersenyum ke arah kami. Senyum yang menunjukkan rasa bangga dan bahagia. Kemudian ia mulai memuji-muji Reinhart. Katanya, jarang ada laki-laki yang perhatian pada istri, bersikap lembut dan bertanggung jawab seperti Reinhart. Aku hanya tersenyum kecut. Hancur sudah harapanku untuk meminta perlindungan pada Ibu. Dadaku mencelos lemas mendengar semua pujian indah meluncur dari mulut Ibu untuk Reinhart. Sangat jelas bahwa malam ini Ibu berada di pihak Reinhart. Ia sedang senang dan bangga pada menantunya. Ia tidak akan peduli pada ceritaku. Ia tidak akan ingat bahwa aku, Maya, telah ada bersamanya hampir dua puluh tahun dan selalu menurut pada keinginannya. Hal ini membuatku merasa tidak mengenali ibuku malam ini.
Aku mengalihkan pandanganku dan mencari-cari sisa kebrutalan semalam di wajah Reinhart. Tidak ada. Aku tak bisa menemukannya sama sekali. Tak ada gurat-gurat seram maupun seringai ganas yang siap menerkam. Wajah Reinhart malam ini biasa saja seolah tanpa dosa. Senyumnya sangat tulus seperti hewan yang baru lahir. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan dari gerak geriknya. Aku tak mengerti apa yang terjadi semalam. Baru pertama kali aku menemukan Reinhart yang begitu. Reinhart yang seram dan mengancam.
Hari ini Reinhart seolah kembali menjadi Reinhart yang kukenal. Wajahnya yang ramah dan perilakunya yang lembut padaku kembali menguar dari aroma tubuhnya setelah Ibu mengeluarkan semua pujian untuknya. Reinhart yang peka pada apa yang dibutuhkan istrinya. Reinhart yang selalu menggenapi peran-perannya sebagai suami telah kembali. Lalu apa yang sebenarnya terjadi semalam?
Aku jadi bingung sendiri. Malam itu suamiku seperti kesetanan. Laki laki itu menubruk, merobek pakaianku kemudian memegangiku kuat kuat, menyetubuhiku seperti memperkosa. Cengekeramannya masih membekas di pergelangan tanganku. Rasanya panas dan mengerikan.
Reinhart yang seperti itu tak pernah kutemukan selama setahun bersama. Barangkali itu Reinhart yang tersembunyi. Reinhart yang tak pernah ia tampilkan pada siapa pun. Reinhart yang mungkin suatu saat akan muncul kembali.
Aku bergidik membayangkannya bila hal itu terjadi.
"Makasih ya, Nak, makanannya enak," ujar Ibu sambil menumpuk piring-piring kotor bekas jamuan. Reinhart membantunya bahkan menghalangi Ibu untuk melakukan pekerjaan itu.
Tak terasa kunjungan Ibu sudah akan berakhir. Kegelisahan di dadaku sama sekali belum tersampaikan walau sepotong.
Wanita tua itu menyangking tasnya berniat pulang.
"Lho, Ibu tidak mau menginap?" tanya Reinhart.
"Ibu gak mau ganggu kalian berdua." Ibu tersenyum kemudian melanjutkan, "Ibu pengen cepat-cepat punya momongan."
Reinhart tertawa kemudian sambil tergopoh-gopoh ia menyodorkan beberapa kantong plastik berisi kue dan pakaian sebagai oleh-oleh.
"Ini buat orang rumah." Lagi-lagi kutemukan wajah Reinhart tersenyum mengembang bak kelopak bunga yang membuka kuncupnya di bawah naungan cahaya.
"Aduh, makasih banyak, Nak, Ibu bersyukur Maya punya suami kayak kamu." Ibu menerima beberapa bungkusan yang diberikan Reinhart kemudian tersenyum ke arahku yang masih membeku. Rasanya ingin aku meminta Ibu berada di sini lebih lama lagi. Kalau bisa selamanya. Aku menginginkan Ibu di sini sampai Reinhart tak ada. Aku ingin bercerita. Aku ingin mengeluh dan mengadu. Namun semua ceritaku tiba-tiba saja membeku bagai pohon yang tertimpa salju.
"Taksinya sudah di depan, Ibu tinggal naik saja. Ongkosnya sudah saya berikan pada supir."
Ibu semakin girang memuji-muji menantunya itu. Di balik itu semua aku merasa segalanya palsu, semuanya hanya pura-pura. Semua perlakuan Reinhart selama ini semata-mata tidak murni. Ketulusannya dibuat-buat. Ada sesuatu yang dia sembunyikan dari orang-orang. Entah apa itu, aku tidak begitu tahu.
Ibu pergi menaiki taksi. Ia melambai begitu taksi siap berangkat. Udara malam itu begitu dingin menusuk-nusuk kulitku. Beberapa pepohonan di luar bergoyang karena angin. Tiba-tiba aku merasa suasana semakin mencekam. Bisa kurasakan jantungku berdegup sangat kencang sampai terdengar ke telinga sendiri.
Reinhart menutup pintu. Kini tinggal aku dan suamiku. Aku mulai membayangkan kejadian-kejadian mengerikan yang akan terjadi. Reinhart meraih pundakku. Seketika itu jantungku terasa hampir copot dan terpental meninggalkan tempatnya. Aku merasa terancam dan ingin lari. Aku tidak ingin disakiti lagi. Namun Reinhart hanya mendekatkan pundaknya ke pundakku. Berusaha kubaca napasnya. Normal. Tidak ada tanda tanda dia akan mengamuk seperti tadi malam.
"Ibumu baik ya." Rainhart menatapku, aku tak balik menatapnya. Aku menahan napas karena tak ingin Reinhart mendengar degup jantungku yang tak beraturan. Kupejamkan mataku ketika Reinhart mendekatkan wajahnya ke wajahku. Reinhart mengecup keningku, meninggalkan rasa hangat di sana. Kemudian laki-laki itu melenggang pergi, membiarkanku mematung di depan pintu.
Tidak terjadi apa-apa. Aku menarik napas panjang kemudian mengembuskannya.
Apakah Reinhart saat ini sebenarnya hanya monster yang sedang baik suasana hatinya?
Tiba tiba terbayang pertanyaan ibuku, "Nah, kalian, kapan punya anak?"
Pertanyaan itu membuatku merasa harus terpenjara bersama Reinhart lebih lama. Aku merasa tidak mengenali Reinhart karena kejadian itu. Ia memang suamiku. Tetapi aku merasa tidak mengenalnya. Dan aku tidak ingin ikatanku dengan Reinhart bertambah kuat karena kehadiran seorang anak.
Bayangan kejadian semalam mengikuti kata-kata itu.
Reinhart merobek pakaianku, memegangiku kuat-kuat, tak peduli aku merintih kesakitan. Kemudian ia menyetubuhiku dengan paksa, seperti menyetubuhi binatang. Aku tak tahu, apa yang harus kuperbuat dengan pernikahan ini?
***