Don't Touch

Don't Touch

Luluk Maghfiroh

5

“LUSI BANGUN! Sudah pukul berapa ini? Apa, kau tak mau sekolah?” suara teriakan disusul gedoran sudah menjadi hal biasa untukku, siapa lagi pelakunya kalau bukan ibuku tercinta. 

Memang, aku sering bangun terlambat tapi bukan berarti aku melakukannya setiap hari bukan? Setelah merasa rapi, aku segera membuka pintu kamarku. Kadang aku merasa was-was, takut jika pintu tua ini hancur akibat gedoran ibu setiap hari.

“Aku sudah bangun daritadi, Ibu.”

Ibu yang masih memakai celemek dengan satu tangan memegang spatula itu melihatku dari atas hingga bawah, matanya memincing curiga. Sedetik kemudian meluncurkan pertanyaan padaku.

“Tidak biasanya jam segini putri ibu sudah siap, biasanya kalau tidak sepuluh kali ibu bangunkan, kau masih berada di alam mimpimu.”

Perkataan ibu kali ini terasa sangat menyindir diriku.

"Hari ini aku piket ibu, jadi harus berangkat lebih pagi walau sejujurnya putrimu ini masih ingin berbaring di kasur," Jelasku yang langsung mendapat sentilan dari ibu.

Aku meringis pelan, memang tidak terlalu sakit, tapi tetap saja sentilan ibu membuat dahi putihku sedikit memerah.

"Dasar anak ini, ibu sangat berharap kau bisa mendapat tugas piket setiap hari agar ibu tidak repot membangunkanmu."

Aku hanya tersenyum paksa, ibu sedikit tertawa melihat wajah masamku lantas mengusap puncak kepalaku sambil mengingatkan untuk membawa bekal buatannya.

Ibuku memang selalu membawakan kotak bekal untukku, mengingat aku adalah anak tunggal, jadi ibu sangat menyayangiku melebihi apa pun. Apalagi ayah sudah meninggal sejak satu tahun lalu, itu sebabnya hanya aku satu-satunya yang tersisa sebagai penyemangat ibu.

Setelah mengahabiskan roti isi, aku menyalami tangan ibu dan berpamitan.

"Ibu, aku berangkat sekolah dulu ya."

“Hati-hati di jalan Lusi, perhatikan sebelum menyebrang! Jangan lupa baca do-a, jangan--”

Sebelum ibu menyelesaikan nasihat panjangnya, aku memilih kabur duluan. Ku akui ini bukan tindakan baik. Tapi mendengarkan nasihat panjang ibu bisa saja membuatku terlambat.

“Baiklah, Ibu. Sampai jumpa.”

“Dasar anak itu," Gerutu ibu yang masih bisa terdengar olehku.

***

Tak sampai lima belas menit, aku pun telah sampai di gerbang sekolahku. Ada pak Yono, satpam sekolah yang tengah duduk tenang di posnya. Setelah memberinya senyum dan sapaan singkat, aku segera berlalu ke kelas. Aku meringis saat melihat kelasku tampak bersih dari kejauhan. Aku juga melihat Mira, sahabat karibku tengah berkacak pinggang di samping pintu masuk. Oh tidak, sepertinya aku terlambat lagi.

“Terlambat lagi, hmm?”

Aku hanya tersenyum menunjukkan deretan gigiku yang putih padanya.

“Aku tidak terlambat Mir, kalian saja yang datang terlalu cepat. Lagian ini masih pagi, baru jam 7.13.” Aku menunjukkan jam tanganku pada Mira yang terlihat kesal.

“Kau bilang baru? 2 menit lagi lonceng berbunyi Lusi. Apa kau tahu? Aku bahkan sampai di kelas pukul 6.30, dan kau dengan santainya baru datang sekarang? Ya tuhan, kau bangun jam berapa sih?” Aku tertawa mendengar ocehan Mira.

“Jam 6.30 pagi. Ini lebih baik dari sebelumnya, kan?”

Ini memang lebih baik dari sebelumnya, karena biasanya aku selalu bangun jam 7 pagi atau bahkan lebih. Bukannya malas, hanya saja kasurku terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

Mira menepuk dahinya pelan sembari menghela napas pasrah.

"Jika kau bukan sahabatku, rasanya ingin sekali aku tenggelamkan di rawa-rawa. Sudahlah, seperti biasa, masih ada satu pekerjaan yang tersisa untukmu, membuang sampah."

"Aishh, aku menyapu teras saja, ya?" Ujarku bernegosiasi.

"Apa kau tidak lihat kalau teras kita sudah sangat bersih? Apalagi yang mau sapu? Sudahlah Lusi, terima saja. Hanya itu satu-satunya pekerjaan yang tersisa dan hanya kau orang yang belum piket," ujar Mira diakhiri tawa, sahabatku itu memang senang sekali melihatku sengsara.

Aku menghela napas pasrah, dengan rasa malas mengambil beberapa sampah yang masih tersisa dan memasukkan kedalam tong sampah.

“Makanya besok berangkat siang lagi,” ucap Mira sambil tertawa mengejekku.

Aku menatap Mira sinis, dengan masih menggendong tas, aku terpaksa membawa tong ini sampai ke belakang sekolah yang letaknya lumayan jauh dari kelas. Suasana yang cukup sepi ditambah dengan adanya pohon beringin besar membuat sebagian siswa tak mau datang ke tempat ini.

Lain halnya dengan diriku, aku justru berhenti sejenak sambil menatap pohon beringin itu, berharap jika mbak melati yang katanya menghuni pohon ini menghampiriku. Namun sampai lonceng berbunyi, tak ada tanda-tanda kehadirannya. Terpaksa aku segera kembali ke kelas sambil mendesah kecewa.

“Bagaimana? Apa hari ini kau bertemu Mbak Melati?” tanya Mira ketika aku mendaratkan diriku di kursi sebelahnya.

“Tidak, aku heran kenapa dia tidak pernah mau muncul di depanku, padahal aku sangat ingin melihatnya.”

Mira terdengar menghela napas, “Kau ini memang manusia yang tidak takut hantu ya? Terserah kau sajalah.”

Yang dikatakan Mira memang benar, aku tidak takut dengan hantu atau semacamnya, bahkan aku sudah mencoba puluhan cara untuk melihat hantu sampai bentuk alisku tak karuan. Dan sialnya tak ada satupun yang berhasil.

Lama aku memikirkan hal itu, hingga tak sadar jika bu Rika selaku guru biologi dan guru yang paling ditakuti itu datang, memulai pelajarannya.

Saat masih fokus memperhatikan penjelasan bu Rika, Mira membisikkan sesuatu di telingaku.

“Lusi, apa kau tau tentang mitos di sekolah ini?”

Seketika aku menatap Mira penuh tanda tanya. Mitos? Mitos apa? Apa ini berkaitan dengan hantu? Jika iya, aku sunggu tak sabar menunggu kelanjutan cerita Mira.

"Mitos apa? Tentang hantu?” tanyaku dengan berbisik juga, meninggalkan catatan biologi yang baru setengah halaman.

"Bisa dibilang begitu," kata Mira sambil sesekali melanjutkan catatan biologi miliknya.

"Ceritakan Mir!" Seruku tak sabaran.

"Nanti saja sewaktu istirahat aku ceritakan, aku takut dengan Bu Rika."

Aku menatap Mira kesal, apa-apaan ini? Padahal dia yang memulainya.

"Ceritakan sekarang Mir! Aku sudah tidak sabar. Bu Rika juga tidak mungkin melihat kesini, beliau sedang fokus menulis di papan," ujarku mendesak Mira.

“Ck, baiklah akan aku ceritakan, jadi mitos ini berkaitan dengan lukisan--” Belum Mira melanjutkan ucapannya, bu Rika terlebih dahulu melihat kami.

Seperti pencuri yang ketahuan, kami seketika terkejut mendengar suara guru itu yang mengerikan melebihi hantu.

“Mira, Lusi, kalian mau Ibu jemur?” Sontak kami pun diam tak berkutik mendengar suara tegas milik bu Rika.

"Sudah aku bilang, kan?" Bisik Mira.

Aku ingin menyahut, namun suara bu Rika kembali membuatku tak berkutik.

"Ini peringatan kedua untuk kalian, Lusi, Mira!"

Ah, sial. Terpaksa aku harus meredam rasa penasaranku hingga jam istirahat nanti, dan itu artinya masih tiga jam lagi. Oh Tuhan, itu terlalu lama.