Sore itu di sebuah IGD rumah sakit pemerintah.....
Suara derap langkah sepatu pantofel mendekat ke meja kerjaku. Aku menoleh, mas Dayat, seorang perawat senior nampak terburu-buru mendatangiku.
"Dokter Vania, ada kecelakaan massal di ringroad barat, tadi petugas kepolisian menelpon dan mengabari bahwa mereka akan mengirim korban ke IGD kita, diperkirakan korban yang akan dikirim di atas sepuluh orang" lapornya. Kami berdua memang sedang bertugas di IGD sore ini.
"Kondisinya bagaimana, mas? Banyak yang luka ringan atau luka berat?" Tanyaku.
"Laporan yang masuk tadi 8 orang luka ringan, 4 orang luka berat, dok. Luka beratnya termasuk fraktur dan CKS" jawabnya sambil memperlihatkan catatan jumlah korban kecelakaan lalu lintas yang disebutkannya tadi. Aku mengambil catatan itu lalu membacanya dengan seksama.
"Mas Bagas, mas Tyo dan mbak Nia tolong kemari!" Panggilku. Mereka yang dipanggil namanya pun bergegas mendekat ke arahku dan mas Dayat.
"Ini ada kecelakaan massal, perkiraan jumlah korban yang akan segera dikirim kesini adalah dua belas orang dengan kriteria luka dari ringan hingga berat"
"Tolong mas Bagas hubungi tim emergensi yang dapet jatah on call hari ini, kabarkan bahwa ada kecelakaan massal dan minta mereka datang ke IGD secepatnya"
"Lalu mas Tyo hubungi tiap bangsal, minta 1 personil dari tiap bangsal maju ke IGD dan bawa lima brankard cadangan ke IGD"
"Mbak Nia bantu mas Dayat mempersiapkan alat medis dan disposable kita, pastikan cukup untuk digunakan lima tim sekaligus. Minor set steril, handscoon steril pendek dan panjang, masker, kassa, NaCl, apron, lampu tindakan, pokoknya yang tertulis di ceklis emergensi harus terpenuhi untuk lima tim ya, jangan sampai kurang. Kalau kurang, pinjam ke ruang bedah"
Aku memberi arahan pada masing-masing perawat.
"Ajak anak-anak magang dan praktek untuk membantu sekaligus ajari mereka SOP emergensi ya, saya akan siapkan lembaran catatan medis dan berkoordinasi dengan tim kepolisian di lapangan" ujarku lagi.
"Baik, dok" mereka segera berpencar dan melakukan tugasnya masing-masing.
Salah satu hal yang aku sukai bekerja di rumah sakit pemerintah ini adalah, tim IGD yang berjaga di tiap shift lima puluh persennya adalah perawat senior, sehingga ketika ada kondisi gawat darurat, aku yang notabene seorang dokter baru menjadi lebih tenang menghadapinya. Karena para perawat senior itulah yang sering kali mengingatkan bahkan menuntun tindakan apa yang harus segera dilakukan. Aku banyak belajar dari mereka, baik itu standar operasional prosedur, skill tindakan medis, hingga kerja tim. Beruntung sekali aku bisa masuk ke rumah sakit pemerintah di kota kecil ini.
Dulu aku praktek sebagai koass atau dokter muda juga di rumah sakit ini, karena menyukai lingkungan dan orang-orangnya, maka setelah lulus dan menjalani sumpah dokter, aku pun memutuskan untuk menjadi bagian dari tim IGD di rumah sakit ini. Yaa... Karena nilai kuliah dan nilai koassku yang paling menonjol adalah di spesialisasi bedah dan emergensi, maka aku ditempatkan di ruang IGD. Aku pun dinilai mampu bekerja cepat tanpa rasa panik, dan ini sangat dibutuhkan oleh seseorang yang bekerja di IGD, karena setiap hari menghadapi berbagai kasus gawat darurat yang memacu adrenalin.
Suara sirine menggema di halaman IGD....
"Dok, ambulan pertama sudah datang..." Seru mbak Nia yang segera memakai apron, sepatu boot, masker dan handscoonnya"
Aku menyongsong ke pintu utama ruang IGD tanpa menggunakan atribut khusus seperti mbak Nia. Hanya snelli dan stetoskop yang melingkar di bahu, juga penlamp, termometer digital dan palu reflek.
"Bismillaah...... Berikan pertolongan-MU yaa Rabb, jadikan kami sebagai perantara bagi mereka dalam menggapai kesembuhan yang mutlak hanya milik Engkau, mudahkan urusan kami, laa haula wa laa quwwata illa billaah" aku berbisik merapalkan permohonan kepada Allah sang pemilik kehidupan.