Does Happy Ending Exist?

Does Happy Ending Exist?

IamEr

0

Bugh!

Lagi-lagi pukulan itu melayang pada seorang gadis kecil yang kini meringkuk tak berdaya di lantai, tak jauh darinya seorang gadis kecil lain menangis sangat kencang. "Ayah! Berhenti! Ale mohon, hiks ...."

Delikan tajam dari pria paruh baya itu terlihat, "Diam kamu, Anak Sialan!" Tangannya hendak melayang pada gadis kecil yang tengah menangis.

Grep!

Sebuah tangan kecil menahan kaki pria itu, "J-jangan pukul Ale, pukul saja Lea—uhuk ... uhuk!"

Brak!

Seorang gadis membuka matanya lebar-lebar, napasnya bergemuruh dengan keringat dingin membanjiri wajahnya.

"Ladies and gentlemen, as we start our descent, please make sure your seat backs and tray tables are in their full upright position. Also—"

Mata gadis itu mengerjap saat menyadari dirinya tengah berada dalam pesawat yang hendak mendarat. "Ck! Mimpi yang sama selama sembilan tahun?"

Sontak kepala gadis itu menggeleng, "Mimpi cuma bunga tidur, Je!" monolognya.

Tak lama pandangan gadis itu beralih pada jendela di sampingnya. "Akhirnya, Indonesia ...." Kedua sudut bibirnya terangkat, "I'm home."

...

"Iya, Pa, Jeje langsung pulang."

Kaki jenjang gadis itu melangkah keluar dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta dengan sebuah ponsel yang menempel di telinganya.

Dia, Jean Livana Lee, putri kedua dari pasangan Jaewan Lee dan Liviana Mira. Gadis berparas cantik keturunan Indonesia-Korea yang berasal dari keluarga terpandang di Indonesia.

"Hm?" Kerutan halus timbul di dahi gadis itu, "Iya, jemputannya udah dateng, Jeje tutup."

Tanpa menunggu balasan sang Ayah, Jean langsung mengakhiri panggilan itu. Wajah datarnya tertuju pada pemuda berjas hitam di hadapannya, "Anda orang suruhan ayah saya?"

Pemuda itu mengangguk, "Betul, Nona," balasnya. "Apa ada barang yang perlu saya masukkan ke bagasi?"

Jean menggeleng, "Saya tidak membawa koper," cetusnya sebelum memasuki mobil begitu saja.

Selama perjalanan, Jean hanya memandang ke luar jendela, menikmati pemandangan yang selalu ia rindukan selama empat tahun tinggal di Korea.

"Nona, kita sudah sampai."

Mata Jean mengerjap berulang kali, "A-ah ...." Dalam hati ia merutuki pikirannya yang terlalu mudah hanyut, "Tidak perlu membukakan pintu, tangan saya masih berfungsi."

Lagi-lagi Jean meninggalkan pemuda berjas itu dengan ekspresi datar yang menempel pada wajahnya, begitulah anak kedua dari Tuan Lee—dingin pada orang-orang yang tak ia kenali.

"Jean?"

Ekspresi datar Jean luntur, berganti dengan senyuman bahagia. "Ma! Pa!" Ia berhambur ke pelukan kedua orang tuanya, "Jeje kangen."

"Kita juga kangen kamu, Sayang," balas Mira—Ibu Jean.

"Ah ... apa kamu mau ketemu Mei?" Senyuman di wajah Jean perlahan memudar, kepalanya menggeleng pelan. "Jam segini Kak Mei pasti masih tidur, kan? Biar nanti aja, sekarang Jeje mau langsung pulang ke apartemen."

"Lho, kenapa gitu? Memangnya kamu gak kangen ngobrol semaleman sama Mama?"

Kekehan keluar dari mulut Jean begitu rengekan ibunya terdengar, tapi tatapan gadis itu segera terarah pada ayahnya. "Lain kali, deh, hari ini Jeje mau tidur di sana dulu."

"Kok gitu, sih?"

Jaewan, Ayah Jean itu tersenyum begitu melihat wajah menggemaskan sang Istri. "Udahlah, Ma, mungkin Jeje capek, jadi pengen istirahat di tempat yang lebih tenang."

"Iya, Ma, Jeje janji besok bakal ke sini lagi."

"Janji, ya?"

Setelah mengangguk dan berpamitan, Jean berbalik dengan senyuman yang sepenuhnya hilang. "Maaf, Ma, Pa, hati Jeje belum siap ketemu Kak Mei," batinnya.