Divided Sweetness

Divided Sweetness

Muhammad Nur Rohman

0

     Kubuka kedua mataku, terbangun dari mimpi yang indah. Tidaklah mudah bagi seseorang yang menginginkan kehidupan yang indah dalam kesehariannya terbagun dari mimpi yang indah. Mataku masih belum bisa melihat dengan jelas segala benda yang ada di depanku. Sepertinya mataku telah lelah untuk melihat kenyataan. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi, masih ada waktu dua jam sebelum masuk sekolah. Setelah melakukan peregangan pagi, aku segera menuju ke kamar mandi sambil memikirkan apa yang akan dimasak untuk sarapan.

     Meskipun sudah kupikirkan dengan matang, tetap saja aku hanya makan nasi dan omelette yang cukup mudah untuk dibuat. Selepas sarapan, aku menuju ruang keluarga untuk sekedar melihat kabar-kabar terbaru hari ini. Pada akhirnya, mataku tanpa sengaja terlelap lagi karena tidak kuat menahan kantuk akibat semalam suntuk dihabiskan hanya untuk membaca manga. Namun, aku sadar tidur lelapku hanya menambah masalah jika aku terlambat ke sekolah. Kupaksakan mataku untuk terbuka kembali dan bersiap-siap berangkat ke sekolah.

     Aku berangkat dengan sepeda kayuh, sepeda bekas peninggalan kakakku yang saat ini sedang kuliah di luar negeri. Suasana saat pagi hari yang menyegarkan, tetapi tetap saja rasa kantukku takkan hilang. Aroma udara di pagi hari yang menyegarkan paru-paruku dan ini telah menjadi kebiasaan selama 12 tahun akan berakhir juga. Gerbang sekolah dari kejauhan telah terlihat. Suasana sekolah masih sepi karena aku berangkat terlalu pagi.

     Setelah memakirkan sepeda dan absensi digital di depan kelas, aku duduk di kursiku. Kepalaku masih terasa berat, tetapi…… percuma saja jika dipaksa untuk tidur di sekolah. Hari pertama sekolah setelah libur panjang, akhirnya aku kembali masuk sekolah. Ini adalah tahun terakhir SMA, dimana aku akan menghadapi banyak ujian dan yang pasti harus memikirkan masuk ke perguruan tinggi ataupun bekerja.

      Bagiku memikirkan masa depan seperti melihat warna abu-abu, tidak pasti warna tersebut cerah ataupun gelap, tetapi abu-abu tetap menjadi bagian dari kehidupan

     Karena aku merasa jenuh, aku memutuskan untuk berkeliling sekolah. Sekolah ini terkenal dengan sekolah terluas se-provinsi membuat tubuhku secara tidak langsung akan panas hanya dengan berkeliling sekolah. Satu per satu siswa yang memakai seragam yang sama mulai berdatangan. Setelah melihat itu, aku segera kembali ke kelas, tetapi masih belum ada yang datang. Benar-benar hariku selalu dengan kesendiriannya ya.

     Tak lama kemudian, datanglah seorang siswi dengan ciri khas senyum manisnya membuat seluruh siswa pasti mengingatnya sebagai si Senyum Ceria. Ia menyapa semua orang bahkan mungkin kepada orang yang tidak dikenalnya, Saat aku meletakkan kepalaku diatas meja dan melamun ke arah jendela, tiba-tiba ia menyapaku dengan manisnya.

“Pagi, si Malas. Pagi-pagi malah melamun, semangat dong,” kata Yuki menyemangatiku

     Entah mengapa hatiku tiba-tiba merasa berdebar hebat setelah sapaan dari Yuki, si Senyum Ceria. Sontak aku duduk dengan tegap. Yuki kembali ke duduknya dan berbincang-bincang dengan teman yang lainnya. Bukannya tidak akrab dengan teman sekelasku, namun aku lebih suka jika menyendiri. Suara pengumuman dari pengeras suara kelas menyuruh semua murid untuk segera bersiap-siap untuk upacara bendera. Upacara yang menjadi momok pagi siswa malas seperti diriku di pagi hari.

     Seluruh murid diarahkan menuju ke tengah lapangan. Terik matahari menusuk ke dalam pori-pori kulit setiap murid, memang benar upacara benar-benar menjadi momok bagi siswa pemalas sepertiku ini. Setiap murid berbaris sesuai dengan kelasn masing-masing. Kakiku sedikit meronta-ronta sedari tadi, kakiku tidak terbiasa untuk berdiri lebih lama dari lima menit. Aku mencoba untuk menggerakkan sedikit demi sedikit kakiku, tetapi rasa pegal yang menggerogoti otot kakiku semakin parah.

      Aku terpikir untuk berbohong agar bisa beristirahat di UKS. Aku mendengar dari temanku bahwa mungkin aku akan dikasih gelas air mineral di sana. Mungkin aku bisa pura-pura pingsan agar bisa menjadi alasan agar bisa diijinkan ke UKS. Setelah memikirkannya secara matang, aku mulai melancarkan serangkaian drama yang sudah kupikirkan sedari awal, namun tiba-tiba Yuki memulai percakapan.

“Hei, Noeman, mau melakukan drama lagi ya? Hadehhhhh,” kata Yuki

“Siapa bilang? bukankah kau juga akan bikin drama lagi” jawabkuu dengan gerutu

“Suaramu terdengar sampai ke telingaku, loh,” jawabnya sambil tertawa

Astaga, aku jadi semakin membenci hari ini.

      Akhirnya, upacara dimulai. Aku berusaha mengabaikan pancaran sinar matahari sekuat mungkin. Meskipun kebohongan akan kakiku yang tidak kuat berdiri tidak selamanya bohong, tetap saja rasa pegal mecoba untuk merobohkan tekadku untuk tetap berdiri. Lima menit telah berlalu, aku merasa rasa pegal sedikit demi sedikit mulai menghilang, ya….. mungkin kakiku mulai terbiasa dengan rasa pegal ini.

      Sepuluh menit upacara pagi telah berlalu, kepala sekolah memberikan pidatonya tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan kita sebagai murid. Namun bagiku, itu tidak ada bedanya karena masa depan seperti warna abu-abu, tidak biisa dikatakan cerah atau gelap tapi tetap menjadi bagian dalam kehidupan. Pada akhirnya, kepala sekolah meninggalkan lapangan upacara dan para guru dipersilahkan kembali ke ruang guru. Para murid mulai kembali ke kelasnya masing-masing.

      Setelah upacara, tubuhku seakan seperti robot dengan daya yang tinggal 10%, sebuah perumpamaan seberapa lemahnya fisikku dibandingkan dengan anak yang lain. Biasanya, aku akan tiidur setelah upacara atau menuju ke UKS dan tidur disana. Namun, tiba-tiba HP-ku bergetar karena sebuah notif. Setelah kubaca, ternyata tidak ada pelajaran hari ini dan akan diganti dengan tugas-tugas yang harus dikumpulkan hari ini.

      Kuurungkan niatku untuk tidur dan segera mengambil beberapa buku dari tas. Hal yang ku benci adalah belajar, namun ada yang lebih kubenci, yaitu rasa penyesalan. Aku hanya mencari cara-cara efektif saja untuk berpikir. Aku tidak ingin memaksa otakku hanya berpikir tentang kesenangan semata, tetapi juga efek dari kesenangan itu sendiri. Tidak lama kemudian, seluruh tugasku telah selesai dan aku segera mengumpulkanya ke ruang guru.

      Setelah sampai di ruang guru, ternyata semua guru sedang rapat di ruang rapat setelah dikabari oleh temanku. Aku duduk di sana sedikit lebih lama karena ingin menikmati dinginnya ruang guru berkat AC yang dipasang disana. Saat aku keluar, aku berpapasan dengan Yuki.

“Heee…Noeman, bolehkah temani aku ke kantin,” pinta Yuki

Aku yang sedikit terkejut, “Ah kau ini, bolehlah sekalian aku juga kesana.”

“Baik, baik… setelah aku mengumpulkan tugasku ya” balasnya sambil masuk ke ruang guru

“Okelah, aku menunggumu di luar” kataku

      Jarang sekali Yuki mengajakku berbicara, mungkin setelah suatu peristiwa yang mungkin aku sendiri mencoba untuk melupakannya. Aku hanya berusaha melupakan hal itu dan mulai mencoba membuka lembaran ingatan baru untuk masa depan. Setelah melihat Yuki telah keluar dari ruang guru, kami menuju ke kantin. Tiba-tiba tanganku digandeng erat oleh Yuki, tapi aku tidak kaget dengan yang dilakukannya. Ya benar, ia memintaku untuk menjadi pacar palsunya agar tidak ditembak lagi oleh siswa lain. Namun bagaimanapun juga, aku merasa sedikit terganggu karena hal itu mengganggu waktu tenangku.

 Sesampainya di kantin, ia begitu ceria dengan senyum khasnya yang mempesona banyak orang.

“Haduhh….kamu membuatku punya lebih banyak musuh, Yuki,” kataku dengan ketus

Yuki yang tersenyum mencoba untuk menggodaku, “Bukankah kamu juga menikmati berdua denganku kan, nggak baik kalau sendiri terus”

“Hmmmmmm…tapi juga aku butuh ketenangan juga lah,” balasku

“Benarkah, aku melakukan ini hanya sebagai balas budiku kepadamu, aku sudah tahu kok. Kamu suka padaku kan,” kata Yuki sambil memegang telapak tanganku