"Sinting!" Teriakan itu disusul sepasang kaki yang menghentak bumi dengan kuat.
"Baskara, berhentilah mengumpat."
Si pemilik nama mendelik ke arah sosok berselimut mantel di sisi kirinya.
"Kak, sungguh, apa kau benar-benar merasa kedinginan? Di tengah cuaca sepanas ini?!" Ditanyai seperti itu, Tareka menghela napas untuk kesekian kalinya.
"Berapa kali lagi aku harus mengatakan hal yang sama, hah?!" Melihat kakaknya yang mulai tersulut emosi, bibir Baskara mengerucut dan kedua alisnya menukik kesal. Apa-apaan pria satu ini.
"Tidak perlu meneriaki wajahku begitu!”
Si kakak mengurut pelipisnya pelan, menghadapi adik yang sedang ‘tantrum’ begini sungguh menguras baik emosi dan tenaganya. Siapa yang bilang mempunyai adik dengan usia tak berbeda jauh lebih menyenangkan daripada memiliki seorang bayi kecil yang lucu nan menggemaskan? Biarkan Tareka menjitak ubun-ubunnya.
“Tapi, Bas… sebenarnya aku juga heran.” keluhnya sembari menggaruk pipi. Sementara tangan yang lain menahan dada Baskara untuk terus berjalan karena lampu jalan telah berubah menjadi merah.
“Apa?”
“Kau memberitahuku bahwa kau sangat kedinginan pagi tadi. Benar?”
Mendengar fakta, Baskara mengangguk memberi jawaban, “Hm, bahkan mama juga mengeluhkan hal yang sama. Dia sibuk merebus air karena keran air panas sedang rusak.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan kekehan singkat.
“Aneh."
“Apa?”
“Aku justru merasa sebaliknya.”
“Maksudnya?”
“Gerah. Sangat gerah. Rasanya seperti mandi keringat seolah aku sedang terkurung di dalam sauna selama satu jam.” Dahi yang lebih muda mengerut, memikirkan hal yang baru saja kakaknya utarakan.
“Kau serius?”
“Tidak pernah seserius dan setakut ini,” Tareka menarik lengan sang adik untuk menyeberang. “Kupikir aku memang hanya sedang kepanasan saja. Namun, melihat kondisi sekarang berputar terbalik, aku tidak bisa menahan rasa cemasku.”
Itu benar. Apalagi melihat orang-orang tengah memandangnya risih akan mantel tebal yang Tareka gunakan. Ini jelas jauh dari kata normal. Bahkan jika Tareka boleh bersikap berlebihan, tubuhnya bisa terkena hipotermia jika dia nekat melepas mantel ini.
Karena baginya, cuaca memang sedang sedingin itu. Walaupun dia tahu, dan matanya pun melihat sendiri bagaimana terik matahari itu menyirami bumi dengan sinar ultraviolet-nya.
“Ah, Kak. Kau membuatku merinding.”
“Aku bahkan sempat berpikir, apakah ini adalah hari terakhirku di dunia?”
Menerima kalimat yang tak ia sukai, Baskara memukul dada kakaknya dengan kencang, “Jangan berkata seperti itu, bodoh! Hal-hal seperti itu bukan untuk dimainkan! Aku tidak suka, ya!”
Tareka tergelak karenanya, “Kenapa? Kau takut aku mati, ya?”
“Kak Tareka!” Bibir yang lebih tua terbuka lebar mengalunkan tawa yang renyah.
“Iya-iya. Lagipula aku sudah bertekad tidak akan mati sebelum membangun gedung teater musikal milikku sendiri.”
“Ck, untuk urusan itu, kenapa tidak meminta pa—“
“Dengan uangku sendiri, Baskara.” tegas Tareka pada adiknya. Sementara sang adik mendecak kesal saat lagi-lagi kakaknya itu menepis segala topik tentang orang tua dengan ketus.
Kini, Tareka dan Baskara telah masuk ke dalam lingkungan kompleks di mana para orang kaya membangun hunian mereka. Termasuk mereka yang Tareka panggil orang tua.
Sempat terjebak keheningan panjang, Baskara akhirnya kembali membuka mulut.
“Kak.”
“Hm.”
“Kau masih membenci papa dan mama?”
Hening itu lagi-lagi datang.
Sejujurnya, Tareka tidak ingin membahas tentang kedua orang tua mereka dengan Baskara. Sebab semua itu hanya akan mengingatkannya pada masa lalu yang amat sangat menyakitinya, pula kebenciannya yang mendarah daging pada seseorang yang membuatnya lahir ke dunia. Ironis.
Bagaimana pun juga, Papa dan Mama adalah orang yang paling Baskara sayangi selain dirinya. Mengetahui bahwa kakaknya sendiri membenci orang tuanya, pasti menjadi hal yang menyebalkan bagi Baskara.
Adiknya hanya belum tahu, jikalau keluarganya ini, sedikit demi sedikit terkikis habis sebelum akhirnya nanti hancur dengan sendirinya.
“Kenapa bertanya seperti itu?”
“Mereka sudah minta maaf ….”
Bibir Tareka mengulas senyum tipis, tersirat begitu pahit jika seseorang memaknainya lebih dalam.
“Tapi mereka tidak menyesal, Bas.”
Dan itu adalah alasan paling besar mengapa aku begitu membenci mereka.
“Bisakah Kakak memberitahuku alasannya? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tidak boleh tahu?” cerocosnya menggebu-gebu. Netra hitamnya menatap penuh harap ke arah Tareka.
“Tidak, Baskara. Cukup …,” Pria tampan itu menyugar surainya ke belakang, sebelum mengusak wajahnya dengan tangan yang sama. “Kecuali jika kau bersedia untuk berakhir membenci mereka.”
Ah, sial. Sekarang kepalanya berdenyut nyeri akibat terlalu emosi.
Selalu seperti itu.
Tareka benci kebiasaannya yang satu ini.
“Kenapa kau begitu yakin bahwa aku akan membenci mereka setelah mendengar ceritamu, huh? Memangnya kau tahu apa tentang hatiku?” Balasan yang terdengar marah dari sang adik membuatnya berhenti melangkah. Saat kepalanya menoleh, Tareka baru tersadar jika raga Baskara tertinggal di belakangnya.
Inilah yang Tareka coba untuk hindari.
Membahas orang tua, akan membuat dia dan adiknya berakhir bertengkar.
Tareka memutuskan untuk membalik tubuh dan menghadap Baskara, “Aku tidak ingin mengambil resiko. Sudah cukup mereka menyakiti hatiku, Baskara. Jangan lagi, dan juga … jangan kau.”
“Begitu sakitkah luka yang mereka tinggalkan sampai kau tidak bisa memaafkan mereka?” Tareka menggelengkan kepalanya sembari menunduk. Saat itu juga, kelopaknya mengerjap ketika melihat ada uap tipis yang muncul di setiap hembusan napasnya.
Oh, Tuhan.
“Aku bahkan tidak tahu … apakah aku sudah memaafkan mereka atau belum,” Baskara memandang lamat wajah kakaknya yang entah mengapa tiba-tiba terlihat pucat. “Namun, aku benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan tentang apa yang sudah mereka perbuat pada hidupku.”
Meski khawatir akan keadaan kakaknya, rasa penasaran dan amarah Baskara lebih dulu mengalahkan segalanya.
“Harus dengan apa aku meyakinkanmu, Kak? Aku hanya ingin tahu apa— … apa yang kalian sembunyikan dariku?” lirih Baskara di akhir kalimatnya. Sejenak, Tareka mendongak perlahan untuk memastikan sesuatu.
Di sana, adiknya bermandikan peluh di seluruh wajah.
Tareka meringis dalam hatinya.
Uap tipis itu, semakin lama semakin tebal. Tareka sadar betul bahwa ini terlalu tidak masuk akal untuk diterima logika. Seluruh badannya menggigil dan Tareka merasakannya dengan sangat nyata.
“Bas—kara….”
“Kak?”
“K—kurasa ak—u—” Mata besar yang serupa dengan milik Tareka itu terbelalak ketika mendapati kakaknya limbung.
Belum sempat tubuh Tareka menghantam aspal, Baskara dengan segera berlari ke depan dan menahan berat sang kakak yang telah lemas tidak sadarkan diri.
“Kak! Kak Tareka! Astaga, bangunlah!” Jarak rumahnya masih terlalu jauh, dan pos satpan sudah tertinggal sejak tadi. Sialnya, mengapa jalanan kompleks hari ini begitu sepi?!
Ketika Baskara memutuskan untuk memangku kepala kakaknya, di saat itulah ia dapat merasakan bagaimana rambut Tareka yang begitu dingin menyentuh lengannya.
“Kak!” Secara serampangan, Baskara membuka seluruh resleting mantel Tareka untuk memeriksa suhu tubuh dalamnya. Ia berharap setidaknya torso kakaknya sedikit tersisa rasa hangat karena tertutup oleh mantel.
Namun, nihil. Semuanya terasa dingin.
Dengan mata kepalanya sendiri, Baskara menyaksikan bagaimana kulit Tareka perlahan memutih. Seolah-olah dia sedang berada di tengah-tengah badai salju. Begitu kontras dengan tone hangat pada kulitnya sendiri.
Diliputi rasa takut yang amat besar, Baskara mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi ambulans. Persetan akan etika, ia meneriaki siapa pun yang ada di balik telepon untuk secepatnya mengerahkan tenaga medis saat itu juga.
Tanpa sadar, Baskara menangis sembari memeluk kepala Tareka dengan erat. Tidak ia gubris bagaimana rasa dingin dari rambut kakaknya yang begitu menyengat menusuk jaringan kulitnya. Kedua tangannya ia gosok kuat, lalu ditempelkannya telapak itu di kedua sisi wajah Tareka.
“Kak Tareka … maafkan aku—hiks … Kumohon, bertahanlah ….”
Bersambung ...