Dinar Binti Dirham

Dinar Binti Dirham

Searth

5

"Iya kan? Yang di Adelia Collection juga bagus sih, tapi harganya gak ngotak buat gue. Mending di itu sih, Kansha Store, aku juga kemarin beliin mertua daster di sana," tutur Dila, perempuan 26 tahun yang sekarang telah dikaruniai dua anak laki-laki.

"Hm, gue jadi kepikiran buat ngerintis usaha jual daster gitu, kali aja kan suami gue mau modalin, hahaha!" Karin terbahak, tangannya yang gemulai bergerak mencubit pipi Dhey dengan gemas, kebiasaan perempuan itu.

"Ish, Rin! Lo bisa gak sih ketawa gak nyubit-nyubit!" Kesal Dhey, berpindah tempat di sebelah Dinar yang tengah sibuk memainkan ponselnya.

Di tengah acara seperti ini, Dinar tidak tahu mau bagaimana. Obrolan teman-temannya tidak akan jauh-jauh dari urusan rumah tangga, sementara dirinya yang sampai detik ini masih melajang tak paham apa-apa dan kadang merasa tak nyambung. Berbeda semasa dulu ketika mereka semua masih belum menikah. Bukannya Dinar iri, melainkan lebih kepada sulit menyesuaikan. Toh ujung-ujungnya ia akan jadi pendengar yang baik kalau-kalau ada yang curhat masalah keluarganya.

Sepulang dari kantor tadi, Dinar mampir ke rumah Dila untuk memenuhi undangan perempuan itu yang mengadakan acara makan bersama di rumah dalam rangka menyambut berita bahagia karena perusahaan suaminya, Segan, menang tender lagi. Dinar juga sudah lama tidak berkumpul bersama teman-temannya itu.

"Eh anak lo siapa yang jagain, Rin?" Tanya Dila.

Karin si wanita aktif yang baru tiga minggu lalu melahirkan anak pertamanya itu menjawab, "ada mbak yang jagain,"

"Oh, berarti lo gak boleh lama-lama berarti? Anak lo kan masih nyusu," tanya Dhey yang langsung dibalas pelototan oleh Karin.

"Lo ngusir gue apa gimana nih, Dhe?" Sungut Karin.

"Lha! Enggak, gue kan nanya Ibuk. Sensi amat, kek lagi hamil aja. Atau jangan-jangan lo udah hamil lagi?!" Seru Dhey.

Karin mendelik, sementara Dila terbahak. Yang benar saja, pikir Karin.

Perdebatan kecil mereka teralihkan dengan kedatangan Segan bersama seorang teman lelakinya.

"Din! Ada yang mau kenalan nih, temen gue!" Ujar Segan blak-blakkan, berbeda dengan teman di sebelahnya yang tampak serius sekali.

Dinar mengangkat wajahnya yang semula menunduk bermain ponsel. Alisnya menaut, bingung.

"Kenalin, Din. Ini temen gue, P--

"Pram," sambar pria itu tiba-tiba, memperkenalkan diri.

Dinar melirik orang-orang di sekelilingnya yang juga tengah memusatkan perhatian padanya. Ia hanya mengangguk kecil, menciut di bawah tatapan serius Pram. "Dinar," ujarnya pelan.

"Ciee, malu-malu kucing nih si Dinar. Biasanya juga bar-bar!" Serbu Karin tak tahan. "Tenang, Mas. Kalau mau seriusin teman saya, saya dukung pol. Dia doang nih yang belum laku, Mas. Hahaha!" Karin tergelak, mengundang tawa teman-temannya yang lain.

"Nah, Mas Pram dengar sendiri kan? Masih single!" Segan memainkan alisnya menggoda temannya seraya menunjuk Dinar yang menunduk malu bercampur tak nyaman.

Dengan tenang Pram memasukkan kedua tangannya ke saku celana, tersenyum ringkas tanpa mengatakan apa pun.

Namun siapa yang menyangka, perkenalan singkat, padat, dan jelas itu adalah awal dari perjalanan panjang Dinar mengarungi dunia percintaan, menyusul tiga sahabatnya ke jenjang pernikahan?

***

"Kamu jangan nyetok mie terus, Dinar. Gimana berat badan kamu mau ideal kalau makannya mie instan terus," Dumel Arumi, Maminya Dinar. Dinar sampai sudah hafal dengan perkataan maminya, lantaran itu terus yang diulangi kalau menghubungi sang putri yang merantau jauh di Ibu Kota.

Ini semua ulah Nur, sepupu Dinar yang sering pura-pura bertamu ke kost-nya padahal ada misi terselubung dari Arumi untuk mengecek kalau-kalau sang putri membawa lelaki tak benar di kost. Memang pikiran Arumi tidak perlu dipertanyakan, semenjak tinggal berjauhan dengan Dinar, setiap saat selalu was-was, rasa percayanya pada Dinar kian berkurang. Anak perempuan satu-satunya, wajar saja kalau Arumi merasa khawatir setiap saat. Apalagi menurut informasi Nur, Dinar sedang ada lelaki yang mendekati.

"Kamu mudiknya kapan? Mami udah bikin kue lebaran lho ini, Din. Gak ada yang temenin masa, sebel deh Mami. Pokoknya kalau kamu pulang harus bawain Mami THR! Mami mau beli gelang baru," tanyanya berujung curhat.

Dinar menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi, matanya sudah lelah memandang komputer. Teman-teman seruangannya sedang keluar makan siang, sementara Dinar dengan kepalanya yang berat hanya berdiam diri melanjutkan pekerjaan. "Hm, Dinar belum tahu cutinya kapan. Nanti kalau udah jelas mau pulangnya kapan, Dinar kabarin Mami," jawab Dinar dengan suara lemas.

"Iya. Sama THR buat Mami jangan dilupa ya! Terus, itu kalau udah ada calonnya ayok dibawah ke kampung, dikenalkan dengan Mami," pesan Mami.

"Hm, ya," Dinar mengalihkan pandangannya kepada Fahrun, temannya yang kini berjalan ke arahnya.

"Ada yang nyariin, Din," kata Fahrun.

Dinar mengangguk paham, "Mi? Udah ya. Dinar mau keluar makan siang dulu,"

"Sama calon suami kamu ya?" Goda Arumi mengusili Dinar. Habisnya ia bingung, di umur yang sudah 23 tahun anaknya belum ada juga memperkenalkan dengannya lelaki yang siap menikahi.

Dinar tersenyum geli, maminya ada-ada saja. "Bye Mami!" Seru Dinar sebelum mengakhiri panggilan. Dirinya segera bersiap, memasukkan ponsel dan dompet ke dalam pouch sebelum pamit pada Fahrun yang ada di dalam sana.

"Gue duluan ya, Run!" Dinar melambaikan tangannya sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.

"Lama ya Mas, nunggunya?" Dinar menyapa pria di depannya yang sudah beberapa saat lalu berada di lobi kantor menanti kedatangannya.

"Enggak. Saya juga belum lama sampai kok, tadi ketemu teman kamu. Mau menghubungi tapi nomor kamu sibuk," jelas Pram.

"Mau makan di mana?" Lanjut Pram lagi.

"Terserah. Aku lagi gak pengen makan juga sih, Mas sebenarnya," ungkap Dinar seraya berjalan beriringan menuju parkiran.

"Dipaksa, jangan mengikuti selera. Kepala kamu masih berat?" Pram membukakan pintu mobil untuk Dinar, mempersilahkan perempuan itu masuk.

"Nggak terlalu sih, kalau ngelihat ponsel sama komputer kadang makin berat rasanya," jelas Dinar, memakai seatbelt sembari Pram menyalakan mesin mobil.

Selama perjalanan keduanya banyak diam. Terutama karena frekuensi pertemuan Dinar dan Pram yang tidak terlalu sering karena pekerjaan utama dan keluarga Pram berada di desa, beberapa kali dalam sebulan ke kota untuk menengok beberapa gerai parfum yang ia buka. Kalau ada waktu, akan bertemu dengan Dinar karena keduanya cukup dekat selama ini.

"Ini buat kamu," Pram menyerahkan kresek berisi obat kepada Dinar.

"Ini apa?"

"Obat, tadi saya mampir ke apotek menanyakan obat untuk kamu. Saya disarankan yang itu, jadi saya belikan buat kamu," jelas Pram, masih serius mengemudi. Semalam ia melihat status whatsapp Karin yang mengunjungi kost Dinar yang sedang sakit dan tidak berani periksa ke dokter.

Dinar juga biasanya kalau sedang sakit akan menelpon dan merepotkan teman-temannya saja, tidak sampai mengadu kepada maminya atau orang lain.

Melihat pesan tersirat itu, Pram pun menghubungi Dinar via telepon, menanyakan keadaan wanita itu.

"Terima kasih, Mas," Dinar mengambil kresek itu, menunduk tidak enak karena telah merepotkan.

Hari ini Dinar memang tidak mengagendakan akan bertemu dengan Pram, namun karena semalam Pram berkata akan ke kota hari ini, pria 37 tahun itu akhirnya mengajaknya makan siang bersama.

Setelah sekian lama di perjalanan, keduanya akhirnya sampai di sebuah restoran Korea. Pram tahu kalau Dinar sedang suka makanan-makanan khas restoran itu dari beberapa kali pertemuan mereka.

Keduanya berbincang ala kadarnya, Dinar yang banyak berdiam diri dan Pram yang banyak berpikir. Terkadang di suasana seperti ini Dinar ingin berbicara banyak hal namun malah langsung menciut melihat wajah Pram yang bawaannya selalu serius.

"Dinar?" Panggil Pram, berdehem pelan.

"Iya, Mas?" Sahut Dinar.

"Kemarin anak saya nanyain kamu. Gak sengaja melihat chat kamu di ponsel saya," kata Pram memulai percakapan.

Dinar tahu, namanya Sila. Anak perempuan Pram yang sekarang kelas satu SMP. Pram pernah bercerita tentang putrinya itu kepada Dinar.

"Ouh, hm," Dinar menggumam, tidak tahu mau membalas bagaimana. Kenapa juga dari sekian banyak percakapan harus chat Dinar yang dipertanyakan? Pikir Dinar.

"Saya sebenarnya ingin bawa dia tadi, biar ketemu sama kamu. Biar saya gak perlu menjelaskan bagaimana kamu sama dia. Tapi, dia ada ulangan hari ini, sehingga saya berangkat sendiri," tutur Pram selanjutnya.

Lagi-lagi Dinar tak tahu harus menanggapi seperti apa, berujung dirinya yang mengangguk kecil. Lagipula, untuk apa Pram repot-repot menjelaskan tentang Dinar kepada putrinya?

Keduanya kembali diliputi keadaan di mana tidak ada topik yang mengasyikkan. Sama seperti ketika menelpon, pulsa lebih banyak dihabiskan untuk mendengar suara jangkrik ketimbang sahutan antara Pram dan Dinar yang amatlah jarang.

Dinar meminum obatnya setelah selesai makan, seraya menunggu Pram membayar tagihan mereka.

"Sudah?" Tanya Dinar melihat Pram berjalan ke arahnya.

"Ya. Mau langsung balik ke kantor?" Pram.

Dinar mengangguk. "Iya, Mas. Jam istirahat aku udah mau habis,"

Keduanya berjalan ke pelataran restoran. Dinar memayungi wajahnya dengan tangan dari sinar matahari yang begitu terik, membuatnya semakin pusing. Perempuan itu menyusul Pram yang sudah berada di dalam mobil.

Membuka pintu, Dinar terhenti menemukan buket bunga dan sebuah kotak beludru berwarna merah. Diliriknya Pram yang tampak sedang memandang ke arah luar, tidak memperhatikannya yang tengah dilanda kebingungan.

Dengan perasaan tidak enak, Dinar mengambil buket bunga dan kotak kecil itu lalu menggesernya ke atas paha Pram. "Ini Mas, bisa tolong di simpan ke belakang?" Tanya Dinar tak enak. Perempuan itu menunduk ke bawah, mengganti sandal jepit yang ia pakai dengan sepatu heels miliknya. Dinar memang selalu membawa dua alas kaki kemana-mana, utamanya karena ia tidak tahan memakai sepatu ber-hak tinggi yang mudah membuat betisnya pegal-pegal.

Pram berdehem, menyerahkan kembali buket bunga dan kotak beludru itu kepada Dinar. "Emh, ini ... buat kamu," kata Pram dengan suara berat.

Tentu saja Dinar terkejut. Dilarikannya pandangan ke arah Pram, menatap pria itu penuh tanda tanya. "Aku?"

"Ya,"

"Untuk apa? Aku gak minta ...." Dinar menggeser tubuhnya menjauhi buket itu. Perasaannya sudah was-was sedari tadi.

Pram menelan ludah, respon Dinar di luar dugaan. Sejujurnya ia tak pandai dalam hal ini. Namun Pram sudah bertekad melakukannya. Umurnya sudah hampir kepala empat, bukan lagi waktunya untuk bermain-main dengan anak orang. Kalau tidak gesit, kapan berakhirnya ia menduda? Bukan begitu?

"Saya ... ingin serius dengan kamu, Dinar. Saya ...." Pram membuka kotak beludru berisi sebuah cincin berlian yang amat manis dipandang. "Saya ... melamar kamu," ujar Pram tulus. Entahlah, dia tak paham apakah yang ia lakukan ini sudah bisa dikatakan sesuai, karena jika dibandingkan dengan anak muda jaman sekarang, Pram akan kalah.

Hm, tidak ada manis-manisnya.

Dinar terperangah, waktu seolah berhenti saat itu juga karena dilanda shock. Aliran darah perempuan itu melambat, nafasnya mulai sesak, suhu tubuhnya berubah dingin, dan bagaimana tadi?

Pram? Pria 37 tahun itu melamarnya?

"Dinar?" Pram ikut tegang, perempuan di depannya tidak menunjukkan sesuatu yang jelas. Apakah menerima ataukah tidak.

"Dinar, kamu ...."

Dinar termengap. "A-aku, pulang s-sendiri saja, Mas ...." Perempuan itu menggigit bibirnya, meraih handle pintu lantas menarik tubuhnya yang terlanjur lemas dari dalam sana.

Pram tak sempat menahan, wanita itu sudah berlari menjauh dari mobilnya. Semua terjadi begitu cepat. Alarm peringatan mulai berbunyi di kepala Pram, mencegahnya keluar dari mobil untuk menyusul Dinar.

Pria itu terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

Apakah ... ada yang salah dari perkataannya?

***

Made with love,

Searth