Diksi dan Jagat Rasa Tersembunyi

Diksi dan Jagat Rasa Tersembunyi

ravistara

5

Sejatinya, aku normal.

Sebagai gadis dengan riwayat dan selera standar, tipe pria kesukaanku tidak jauh berbeda dengan perempuan di luar sana; dewasa, mapan, cerdas, bertanggung jawab, dan yang pasti … tulen.

Oke, salahkan saja situasinya. Kriteria yang kupunya tadi terpaksa harus disimpan dulu dan diarsipkan dengan rapi dalam keinginan terpendam seorang Virginia Exacta.

Ini tidak ada hubungannya dengan namaku, asal tahu saja. Namun, di seberang meja, ada wanita pertengahan 30 dengan blazer modis dan kacamata rantai. Ia berdiri di samping pria paruh baya berwajah muram yang jarang tersenyum. Wanita itu tertawa lantaran keabsurdan namaku tadi. Nama wanita itu Denok, wakil kepala sekolah. Jadi, pria di hadapanku ini adalah kepala sekolah SMA Bina Putra yang terhormat.

“Baik, Ibu Virgin ....” Pak Kepsek berbicara. Sekali lagi, aku tidak diacuhkan. Padahal, sudah meleleh rasanya bibir ini menyebut berkali-kali agar dipanggil dengan nama ‘Nia’.

“Mulai besok, ibu bertugas di klinik. Bu Denok ajak Bu Virgin keliling-keliling dulu, orientasi sekolah.”

“Nia, Pak. Nia!” Aku ngegas.

“Kepala sekolahnya di sini saya atau kamu, sih?”

Aku meneguk ludah karena mendapat hadiah pelototan dari Pak Kepsek. Tampak garang wajahnya jika berang. Baiklah, protes tadi terpaksa kutarik kembali. Cinta damai adalah prinsipku. Aku tidak mau didepak setelah susah payah memperoleh kesempatan ini. Tidak sekarang, Virginia Exacta!

Semenjak menginjakkan kaki di sekolah yang katanya favorit di kalangan anak-anak public figure dan bangsawan kelas atas ini, serbuan firasat menggempur demikian kuat. Aku tahu jalanku takkan mudah. Ini bukan sekolah biasa yang gampang dimasuki siapa saja. Guru-gurunya pun diseleksi secara ketat. 

Ketika perhatian seisi sekolah seakan tertuju pada kami, aku pun tidak heran. Pasalnya, ini adalah sekolah khusus putra. Anak laki-laki bertebaran di tiap sudut. Beragam suitan mulai terdengar gencar: dari yang model burung perkutut sampai uik simpanse. Tetiba aku merasa sedang berada di kebun binatang rasa kandang manusia.

“Bu Virgin, tolong dikondisikan sikapnya, ya? Jangan tebar pesona!”

Aku tersengat mendengar omelan yang berasal dari si kacamata rantai. Tidak lihat, apa, aku sudah jalan lurus, tatapan ke depan, hati pun tidak oleng ke mana-mana. Siapa juga yang bangga disuitin sama cowok baru gede? 

Lalu, kupandangi Ibu Denok dari ujung kepala sampai  kaki. Penampilannya yang modis dengan belahan rok span di atas lutut, menurutku jauh lebih mengundang daripada rok lipit besar setengah betis punyaku. Blus yang kukenakan juga tidak setipis miliknya. Walaupun dibungkus dengan blazer, jelas sekali blus itu menerawang, khas merek terkenal yang biasa dijual di gerai mal. 

“Bu, jangan-jangan, mereka itu suitin Ibu, bukan saya ….” Nada sindiranku menurun ketika ia menoleh tidak suka padaku.

“Kenapa malah ngelunjak dinasihatin? Bukannya didengerin.” Ia mengomel. 

Ingin kusetrika rasanya kuping ini biar tidak keriting.

Untung kami sudah sampai di tujuan. Di depan sebuah ruangan mungil dengan pintu kaca yang berbeda sendiri dari pintu-pintu di ruangan lain sekolah ini. UKS. 

Bagus. Setidaknya, ruangan ini tembus pandang, jadi aku tidak perlu khawatir bakal terjadi hal aneh-aneh dalam ruangan macam cerita manga dan shoujo koleksiku. Tolong … ini Indonesia, ya? Norma-norma ketimuran masih dijunjung tinggi. Jangan sampai ada judul cerita ‘Cinta Bersemi di UKS’ atau ‘Kuintip Kau di UKS’. 

“Ini tempat kerja Bu Virgin mulai besok! Jangan telat!” ujarnya ketus, memutus khayalanku. Sebuah kunci dengan ganci segede gaban pun jatuh ke tanganku. Susah payah aku menjejalkan benda itu ke dalam saku mungil di depan kemeja hingga menggelantung bak payudara ketiga. Kembali, perilakuku menuai tatapan tidak senang dari wanita itu.

Yah, aku tidak punya kantung di rok. Ukurannya saja yang lebar, tapi maaf … isinya kosong.

“Oh, iya, Bu. Bisa minta tolong tunjukkan di mana ruang OSIS?” tanyaku sopan, tetapi kedengaran mencurigakan di telinga Ibu Denok.

“Buat apa, Bu Virgin?”

Duh, wanita ini seolah-olah ingin menyiksaku dengan terus-terusan menyebut nama depanku sialan.

“Hanya jaga-jaga, Bu. Agar saya bisa mengantisipasi jika jatuh korban di sekolah ini.”

“Hah?”

Aku menyeringai pada Ibu Denok. Ini bukan kataku, loh, tetapi kata adikku yang dulu aktif di OSIS. Sudah kenyang aku mendengar cerita dari mulutnya bahwa kegiatan OSIS kadang meminta korban. Pingsan saat orientasi sekolah, ekskul OSIS, dan upacara bendera. Meskipun poin ketiga tidak ada hubungannya, tetapi adikku pernah menyaksikan kesurupan massal anggota OSIS pada suatu Senin pagi.

Jadi, pradugaku beralasan, bukan?

***

Aku tahu itu hanya modus. Sebetulnya, aku hanya ingin membaca mading sekolah. Sederhana, tapi sungguh nostalgia bagiku. Masa-masa berdiri terpesona di depan bingkai kayu berlapis kaca yang ditempeli beragam artikel dari kertas manila dan coretan warna-warni, scrap book, karya-karya receh, serta potongan-potongan menarik dari koran, mungkin sudah lama berlalu. Namun, tingkahku masih saja sama seperti anak kecil yang dihadapkan pada mainan menarik. 

Aku pun tidak sadar ketika Ibu Denok beranjak, mungkin ia merasa malu dengan kelakuan rekan barunya. Saat itu, posisi pupil mataku tidak bergeser dari sebuah prosa yang terpampang di sana.

Telah lama hilang, aroma tubuhmu terbang, meninggalkan sejarah pada sepatu-sepatu tak bertuan, persis di bawah kerai jendela usang.

Butuh semesta dan seribu tahun cahaya untuk menelan seluruh kenangan yang terbata-bata dalam sepenggal ingatan.

Namamu kekal. Namun, senyummu pudar dari jemala, bersama hela napas yang sisanya separuh tetap kujaga.

(Reverse-B)

Kata-kata melankolis ini, tidak salah lagi …. Dengan gugup, aku mengusap permukaan kaca bersih beraroma wangi bunga di hadapanku yang sepertinya baru dilap pagi tadi. Bunyi detak memantul pada gendang telinga ketika kepalaku bergerak terlampau dekat hingga beradu di sana. Dugaanku benar, dia ada di sini.

Tugas sulit baru saja dimulai.

Entah berapa lama posisiku bertahan seperti itu, bisik-bisik berdengung di sekitar. Dari bunyi langkah kaki, bisa kuhitung beberapa siswa yang lalu-lalang. Keanehan di depan mading sekarang, mungkin tidak biasa terjadi setiap hari dalam pengamatan mereka.

Aku hanya ingin menata napas, juga strategi untuk menghadapi sebuah skenario yang kutakut-takuti.

“Permisi.”

Suara seseorang memaksaku mengangkat kepala. Nadanya terdengar menuntut dan sedikit mengintimidasi. Aku kemudian tersengat dengan napas tersekat, tidak percaya jika dia akan muncul secepat ini di hadapanku. Skenario-skenario itu seakan tidak sabar memburuku untuk menjelma menjadi kenyataan.

Ya Tuhan, profilnya persis dalam foto; kulit putih kemerahan agak terbakar matahari, tulang wajah yang berstruktur seperti lukisan Michaelangelo di kubah basilika Santo Petrus, rambut cokelat berombak nyaris kelam, dan pusat dari keindahan semesta di wajahnya adalah sorot iris biru terang yang bersinar tajam bak elang. Gerakan mataku berhenti di sana, mungkin pula denyut jantungku. Tidak sedetik pun aku berpaling dari tatapannya yang penuh tanda tanya.

“Apa yang Anda lakukan di sini?” tanyanya, tanpa ada maksud kepedulian, lebih pada rasa terganggu karena seorang asing sedang berdiri di depan mading, pusat perhatian kami berdua.

“Maaf, saya sedang menstruasi, lalu tiba-tiba rasa sakit menyerang. Itulah sebabnya saya beristirahat sebentar di sini.”

Ia mengernyit mendengar jawabanku.

Astaga, Virginia Exacta! Di antara beribu hal yang bisa dikarang, alasanmu terdengar seperti jargon iklan pasaran. Aku ingin menangis rasanya karena jawaban spontan itu sama sekali di luar kendaliku. 

Ia berdeham, lalu bicaranya melunak. “Di ujung lorong seberang, ada UKS, pintu kaca. Ada Mef***l di sana yang mungkin bisa membantu Anda.”

Aku mendongak menatap tinggi matanya yang tidak seberapa jauh bedanya dariku. Meskipun bisa kutangkap otot-otot liat nan padat di balik seragam putih abu-abu miliknya, ia sama sekali tidak menjulang, hanya rata-rata, tetapi dengan aura penuh wibawa yang tidak sesuai usia. Tiada senyum, tetapi juga tak terkesan canggung, nyaris seperti aktor belia dengan topeng mahasempurna.

“Te-terima kasih.” Aku nyaris gagal bersandiwara, lalu berbalik pasrah. Namun, aku segera teringat sesuatu.

“Oh, iya!”

Dia tampak agak terkejut karena rahangnya mengeras berikut delik matanya menyorot tajam. Telanjur. Sebuah pertanyaan tidak penting pun keluar dari mulutku, “Apa kamu tahu siapa yang menulis ini?” Telunjukku menyentuh kaca di atas prosa yang kubaca tadi.

Matanya seolah berkilat sejenak. Sebenarnya, itu bukanlah pertanyaan, tetapi pancingan.

“Reverse-B,” jawabnya pendek.

“Oh,” imbuhku dengan anggukan bodoh. “Tentu saja.” Pasti senyum di wajahku kemudian terlihat sangat bodoh. Harusnya aku bertanya lebih spesifik, siapa si Reverse-B ini? Akan tetapi, beragam jejak tanya telah mengendap dalam kepalaku dan butuh diproses dengan benar.

Pertama, perbincangan awal kami mengesankan bahwa dia akrab dengan UKS dan isinya. Kuketahui lewat ketidaksengajaan.

Kedua, cara bicaranya yang dingin dan pendek terhadap orang asing, berbanding terbalik dari sepanjang yang kuketahui.

Ketiga; jadi benar, dia masih SMA?

Wah, gawat! Idolaku masih remaja! Duh, segini amat, ya, aku dipermainkan oleh nasib buruk? Hatiku patah berkeping-keping. Ketiga hal tadi berbicara lebih akurat daripada surel-surel yang belum tamat. Dunia indah penuh metafora yang kukenal, hancur seketika oleh sentilan seujung kuku bernama fakta.

Oh, Reverse-B …. Kenapa pertemuan kita setragis ini, sih?

***

Masih kuingat gelak tawa Pak Bos dan rekanku yang menyebalkan tempo hari.

“Nia! Gak salah, lo? Di antara sekian milyar orang, lo kepentok sama berondong kiyut kinyis-kinyis ini?”

Ah, sialan! Kurebut foto seorang anak SMA dari tangan Mal(foy)deva, rekanku satu profesi, juga satu tim. Sebagai bentuk penolakan atas fakta mengejutkan yang kuterima, kurobek-robek foto di tanganku itu, tidak peduli secakep apa pun wajah yang terpampang di dalamnya. Anak kecil, mah, tidak masuk kategoriku.

“Wo, wo, wo! Barang investigasi kok dimusnahkan, sih?” Maldeva memprotes.

“Bodo!” Aku ngambek, menarik kursi berderit dan merapatkannya ke meja, pura-pura kembali melanjutkan mengetik laporan.

“Dev ….” Pak Bos di belakangku pura-pura berbisik. “Lo kagak bakal menang di hadapan cewek patah hati ….”

“Siapa yang patah hati!” Aku berbalik kesal, terpancing. Dua orang itu menahan tawa akibat reaksiku. Kejam sekali dua pria dewasa ini memperlakukanku yang sedang syok dalam kondisi begini.

“Udahlah, Nia. Akui aja lo patah hati agar beban di hati lo berkurang,” imbuh Maldeva tanpa dosa.

“Ingat, ya, besok-besok pas tugas gak boleh sampai kebawa loh itu suasana hati.” Pak Bos menambahkan.

Ah, panas hati ini mendengar ledekan mereka yang sama sekali tidak asyik. Aku sedang sekarat, tetapi mereka berdua makin menenggelamkan perasaanku. Buru-buru langkahku terarah menuju kantin di belakang kantor. Kutumpahkan segala kecamuk dalam dada di atas meja yang berminyak, penuh noda saus, dan aroma pentol bakso. Sungguh, aku tidak peduli jika ada jerawat bersarang esok harinya. Jika aku terkena kanker hati hari ini juga, aku pun takkan heran.

Apa iya, aku patah hati betulan?

Reverse-B, masa itu kamu, sih?

Kepalaku bolak-balik menggeleng di atas meja seperti botol bergulir, tidak percaya. Jika memang betul itu dia, berarti sekarang dia adalah targetku.

***