Digdaya

Digdaya

Wulan Kashi

5

Perkenalkan, namaku Tiara, aku teman dekat dari Ratna. Si hitam manis Ratna, tepatnya. Ratna Sekar Isvara. Nama yang indah bukan? Seindah orangnya. Seindah tingkah lakunya juga, yang tidak banyak tingkah. 

Kami satu kampus, dan satu fakultas, di sebuah Fakultas Kedokteran di Jawa Timur. Kami satu angkatan, dan NIM kami berdekatan, sehingga kami sering menjadi 1 kelompok mulai dari ospek sampai kuliah. Dan untungnya lagi, kami satu tempat kos. Dia tetangga kamarku. Pas bersebelahan. Jadi kalau ada tugas kelompok, kami nggak perlu jauh-jauh untuk koordinasinya. 

Bedanya, aku anak orang yang "cukup", yang meski belum berlebihan, tapi orang tuaku masih sanggup menguliahkan aku di fakultas yang terkenal 'mahal' ini. Sampai lulus S1 dan Profesi. 

Sedangkan Ratna, setelah sekitar 3 bulanan kami menjadi tetangga kamar, baru aku tahu dia ternyata tidak dibiayai orang tuanya. Dia, dibiayai oleh juragan orang tuanya. Tahunyapun, tidak sengaja. Aku melihat tumpukan nota yang tiap akhir bulan ia kumpulkan dalam satu amplop, lalu ia kirimkan ke pekalongan, ke juragan orang tuanya, sebagai pertanggungjawaban keuangan, yang sebenarnya kata Ratna, tidak pernah mereka tuntut. Yang tidak ada catatan/notanya hanya tentang makanan. Kalau untuk buku, kos, dan lain-lain tertib ia kumpulkan buktinya, dan dia juga punya buku catatan khusus untuk itu. 

Orang tuanya bekerja sebagai karyawan di Griya Batik Bapak Rumpoko. Keluarga dari orang tuanya juga rata-rata sama, bekerja sebagai karyawan biasa, jadi tidak bisa banyak membantu Ratna untuk kuliah. Mulai SMP saja, Ratna sering mencari beasiswa, supaya bisa sekolah di sekolah yang lumayan terkenal. Sayang bukan, kalau potensi kecerdasannya tidak terasah maksimal. Dengan bersekolah di sekolah yang berstandar tinggi, membuatnya berupaya untuk terus lebih baik dari waktu ke waktu. 

Dan yang aku salut pada Ratna, dia tidak suka terlihat lemah. Tentang biaya kuliah dan kesulitan hidupnya, hanya aku yang tahu. Teman-teman kami tidak ada yang curiga, karena penampilan Ratna meski tidak mewah, tapi terlihat anggun, dan seolah olah hidupnya "sekelas" dengan yang lain. 

Bagi yang tidak mengerti hidup seperti apa yang Ratna jalani, biasanya heran, kenapa Ratna kadang nampak demikian perhitungan untuk hidupnya sendiri. Ratna biasanya tidak banyak berupaya menjelaskan, dan membiarkan saja bagaimana dengan penilaian mereka. Dan juga Ratna melarangku menceritakan yang sebenarnya. 

Untung tempat kos kami dekat dengan kampus, sehingga kami tidak butuh tambahan biaya transportasi semisal angkot. Bayangkan, alangkah kasihannya Ratna seandainya dia masih ada pengeluaran untuk itu. Makan saja dia amat sangat sederhana. Dia masak setiap sore sepulang kuliah, untuk makan malam, makan pagi keesokannya, dan siang kalau ada jam istirahat siang. Kalau tidak ada jam luang untuk istirahat siang, ya skip makan siang, karena dia tidak mau lari ke kantin sebentar untuk makan. Apalagi untuk menunya, jangan harap bisa empat sehat lima sempurna. Kadang, kalau aku belikan kue dari kantin di sela-sela padatnya jadwal kuliah, dia agak marah, tidak suka aku yang menghambur-hamburkan uang katanya. Kok bisa memberinya kue sesekali dibilang menghambur-hamburkan uang? Alasannya agak tidak masuk akal sih di otakku. Dia bilang: Itu kan uang orang tuamu, yang tujuannya membiayai sekolah dan hidupmu, bukan untuk temanmu. Lucu kan? Kecuali kalau aku yang menanggung biaya hidupnya, baru itu aneh. 

Ratna memang amat sangat tidak suka merepotkan orang lain. Jadi terlihat kalau dia merasa begitu sungkan dengan keluarga juragan ayahnya itu. Tapi mereka juga yang memaksa Ratna untuk menerima bantuan mereka, dan orang tua Ratna menyerahkan segala keputusan pada Ratna. 

Ratna Sekar Isvara, perempuan hitam manis, dulunya pemain basket, tinggi sekitar 170 cm, cerdas, anggun, menarik, ramah. Banyak yang diam diam mengaguminya, dan tidak sedikit teman maupun kakak tingkat yang berupaya mendekatinya.

Tapi hatinya terlalu takut untuk memulai cinta, takut mereka akan berlari menjauhinya setelah tahu dia hanya anak seorang karyawan pengusaha batik, dan bahkan sekolahpun bukan orang tuanya yang membiayai. Sementara mereka yang mendekatinya, pangeran pangeran impian banyak wanita. Cerdas, tajir melintir, masa depan cerah. 

Pernah suatu ketika, aku goda Ratna, aku tanya kenapa tidak cari suami yang kaya, sehingga bisa melanjutkan biaya kuliahnya saja? Toh beberapa teman kami ada yang menikah saat baru semester 1, dan sepertinya mereka tidak terlalu terganggu dengan itu. Apalagi ditengah perjalanannya kuliah, semakin banyak yang terang-terangan melamarnya meski dia sedang dalam komitmen dengan kekasihnya. Ratna tetap pada pendiriannya, dan pilihannya. Bukan keras kepala, Ratna hanya teguh dengan komitmen yang dia pegang. Itu yang aku juga salut padanya. 

Ratna menyadari, belum tentu ia bisa kuliah sampai lulus. Kalau sewaktu-waktu (tapi jangan sampai), keluarga Pak Rumpoko memutuskan untuk menghentikan biaya untuk Ratna, ya jelas 'wassalam'. Karena kalau hanya mengandalkan beasiswa, akan kesulitan mencukupi aneka biaya disini. Mau kerja paruh waktu? Mana mungkin. Kerja hanya mungkin ia lakukan saat libur semester genap, dan itupun kalau tidak ada semester pendek, atau remidi, dan hanya bisa diaksanakan di semester-semester awal saja. Semakin tinggi semester, apalagi kalau sudah jelang skripsi, mana bisa? 

Ratna cukup tahu diri untuk tidak bermimpi terlalu tinggi tentang asmara. Karena prioritasnya sekarang adalah menghemat biaya hidup, menghemat biaya kuliah, mencari beasiswa, kuliah seefektif mungkin, jangan sampai ada yang perlu diulang mata kuliahnya, cepat lulus, bekerja, dan membantu keuangan orang tuanya, syukur syukur bisa menyekolahkan adik satu satunya sesuai keinginannya kelak.

Tidak muluk bukan? Sederhana impian Ratna, meski impian dan kenyataannya kelak, bisa amat sangat jauh berbeda, terutama kisah cintanya yang sempat 'legend' kelak. 

Dulu, betapa ia sangat takut untuk berurusan dengan hati, tapi kemudian IA menjungkirbalikkan kenyataan, sehingga dia harus berurusan dengan asmara, bahkan urusannya bukan hanya dengan satu orang, tapi banyak pihak yang membuatku, yang bahkan hanya menyaksikan, menjadi pusing sendiri, sekaligus merasa pilu.  

Kalau mengingat itu, air mataku yang sulit kuhentikan, seenaknya saja dia banjir. Sementara si empunya kisah, tersenyum meski hanya di bibir, karena aku tahu matanya menyimpan luka yang berusaha ia telan sendiri. 

Ah Ratna, hatinya begitu digdaya, dalam menjalani kisah hidupnya. Yang lebih berat mungkin banyak, yang lebih perih mungkin juga banyak. Tapi buatku, Ratna tetaplah wanita kuat dan digdaya dalam menghadapi 'ketidakadilan' dunia ini. 

Doaku, semoga segala yang terjadi padanya ini, kelak akan berujung bahagia untuknya. Entah bagaimana caranya, terserah Tuhan yang atur, aku hanya ingin dia bahagia, karena dia sudah mengalami banyak drama dan kekecewaan yang aku yakin, amat sangat membuatnya hancur lebur dalam hatinya, meski dia tutupi serapi mungkin.