
"Seringkali kita temui kerikil saat berjalan, seperti kita yang sering menemui ujian dalam kehidupan"
Dengan darah yang mengucur di tangannya, Nadifa dalam kondisi setengah sadar, duduk bersandar di tempat tidurnya. Entah apa yang merasuki dirinya, sehingga memotong pembuluh darahnya dengan silet. Pandangannya kian memburam lalu dia tergeletak di lantai.
“Nad, ayo makan malem dulu,” ucap mamanya setengah teriak dari balik pintu. Tak mendengar jawaban dari anaknya, maka Raida membuka pintu kamar Nadifa. Tak pernah disangka ia melihat kondisi anaknya yang mengenaskan dan di luar dugaan.
“Nadifa …” pekik mamanya cukup keras, hingga papa Nadifa bisa mendengar teriakan istrinya itu.
“Ada apa, Ma?” tanya Ilham yang belum tahu kondisi putri semata wayangnya itu.
Betapa terkejutnya setelah melihat kondisi putrinya itu. Dengan tanggap dan segera, mereka membawa Nadifa ke rumah sakit terdekat.
Perasaan kalut dan cemas meliputi perasaan orang tua ini, mereka tidak tahu mengapa anak mereka sampai berani melakukan tindakan yang irasional seperti ini.
Setelah beberapa jam, dokter yang menangani Nadifa sudah keluar dari ruang ICU.
“Bagaimana keadaan putri kami, Dok?” tanya Ilham.
“Kondisi putri Anda sekarang kritis, karena pembuluh darah yang dipotong cukup dalam. Kami akan berusaha sebisa kami, semuanya tergantung kehendak Sang Kuasa,” ucap dokter Bayu—dokter yang menangani Nadifa.
Raida sesenggukan tak bisa menahan tangisnya, “Bagaimana Pa, kalau Nadifa tidak bisa…” Belum sempat melanjutkan kalimatnya, ucapan Raida sudah dipotong oleh Ilham.
“Jangan berputus asa, Ma, kita berdoa saja. Supaya Allah memberi kesembuhan pada anak kita,” kata Ilham yang mencoba mengusir pikiran negatif istrinya itu.
Raida berusaha untuk berprasangka baik dan bersikap tegar. Mereka duduk di kursi dekat ruang ICU.
“Aku mau hubungi Oma sama keluarga yang lain dulu. Kamu tunggu disini dulu,” ujar Ilham.
Raida hanya mengangguk. Pikirannya kini terbalut dalam kecemasan dan ketakutan. Ilham kini agak menjauh dari istrinya itu, dia mencoba menghubungi keluarga dekatnya.
“Assalamu’alaikum, Oma,” kata Ilham saat menelepon ibunya itu.
“Wa’alaikumussalam, ada apa, Ham?” tanya Oma Nida.
“Ini soal Nadifa, Ma. Sekarang dia dirawat di rumah sakit,” kata Ilham yang memberi kabar pasal Nadifa.
“Astaghfirullah, kenapa sama cucu Oma, Ham?” kata Nida yang terkejut mendengar kabar cucunya.
“Ceritanya panjang, Ma. Kalau Mama ada waktu, Mama bisa ke sini. Biar bisa nemenin Raida,” kata Ilham.
“Iya, Mama pasti akan ke sana sama Ranti dan Diki,” jawab Nida.
“Kalau begitu aku tutup dulu telponnya ya, Ma. Wassalamu’alaikum,” ucap Ilham.
“Wa’alaikumussalam.”
Ketika sudah selesai menghubungi mamanya, Ilham kembali menuju kursi yang diduduki Raida.
“Oma mau ke sini, Pa?” tanya Raida dengan raut wajah agak pucat. Ia sangat khawatir.
“Iya, nanti Mbak Ranti sama Mas Diki juga bakal ikut,” tutur Ilham sambil mengusap bahu istrinya supaya tetap tenang dan tidak terlalu bersedih.
Keduanya kini duduk dalam hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Menunggu kabar tentang putrinya, dan berharap itu kabar yang baik.
Nadifa saat ini berjuang antara hidup dan mati, ia dalam penanganan dokter. Kondisinya kritis. Kini hanya Tuhan yang bisa membantu. Apa yang akan terjadi kepadanya, apakah ada kesempatan untuk sembuh, ataukah sudah waktunya untuk berpulang.
Detak jantung Nadifa kini mulai lemah, itu bisa dilihat dari monitor. Sekarang keadaannya sangat down, dokter pun sudah hampir menyerah.
“Bagaimana ini, Dok? Keadaan pasien menunjukkan penurunan,” kata asisten dokter.
“Pakai alat pemacu jantung, kita harus berusaha menyelamatkannya,” kata Dokter Bayu dengan penuh keyakinan bahwa pasiennya dapat terselamatkan.
Sudah hampir setengah jam operasi yang dilakukan Nadifa belum selesai. Di luar ruangan sudah ada papa, mama, oma, bibi dan paman Nadifa. Mereka berdoa untuk keselamatan Nadifa.
“Jelasin kejadiannya, Ham? Kok bisa Nadifa melakukan percobaan bunuh diri?” tanya Oma Nida.
Pikiran Ilham kini melayang menuju hari dimana Nadifa tahu kalau dirinya mengidap kelainan darah, yaitu leukimia. Saat itu yang Ilham tahu kalau anaknya itu masih bisa tersenyum dan berkata, ”Papa jangan khawatir, Difa pasti bisa sembuh.” Itu ucapan Nadifa yang membuat Ilham tenang, ia menganggap bahwa anaknya mampu menghadapi cobaan yang diberikan dari Yang Maha Kuasa.
Tapi kini mengapa anaknya melakukan aksi percobaan bunuh diri, apakah Nadifa sudah tidak sanggup merasakan sakit yang dideritanya. Ini adalah kesalahannya, tidak bisa mendampinginya setiap hari, karena harus sibuk ke luar kota.
“Ham?” kata Nida, yang membuat lamunan Ilham pecah.
“Iya, Ma. Ini mungkin terjadi karena Nadifa tau kalau dia sedang sakit leukimia. Mungkin dia terlalu takut atau bagaimana, Ilham juga nggak tau, Ma,” kata Ilham yang sedikit frustasi.
Bagaimana tidak frustasi, kalau terjadi apa-apa terhadap anak semata wayangnya, ia pasti akan merasa sangat kehilangan, apalagi jika anaknya meninggal karena bunuh diri, itu sangat memukul hati dan perasaan Ilham. Bagaimana nanti jika Tuhan meminta pertanggung jawaban atas kematian anaknya? Karena bunuh diri merupakan hal yang dilaknat oleh Tuhan.
Diki yang merupakan kakak ipar Ilham berusaha memberi semangat untuk adik iparnya itu. “Yang sabar ya, Dek. Ini cobaan. Pasti semua yang diberikan sama Yang Kuasa adalah yang terbaik,” ucap Diki sambil menepuk bahu Ilham pelan.
“Iya, Dek, pasti Nadifa sembuh kok,” ucap Ranti kepada Raida. Mereka saling memberi semangat dan saling menguatkan.
Dokter yang menangani Nadifa sudah keluar.
“Operasinya lancar, pasien kini sudah mulai membaik. Keluarga boleh menjenguknya kalau pasien sudah sadar nanti,” ujar Dokter Bayu kepada seluruh keluarga Nadifa.
Bagaikan diterpa angin segar yang menyejukkan, semuanya merasa sangat bersyukur.
“Makasih, Dok,” kata Ilham dengan senyuman terlukis di bibirnya.
-0-