Diah, Ustadzah yang Jatuh Cinta Padaku

Diah, Ustadzah yang Jatuh Cinta Padaku

Nebula Ahmad

0

Namaku Wildan, Wildanun Mukhalladun panjangnya. Aku adalah seorang santri dari salah satu pondok pesantren terkenal se-Nusantara dan ini adalah tahun pertamaku. Kebetulan tidak ada seorang pun teman sekolahku yang mau aku ajak sekolah di Pesantren ini. Mereka bilang,

"Oi, buat apa kau masuk pesantren? Mau kerja apa kau nanti setelah lulus dari pesantren? Mau jadi ustadz?"

Kemudian mereka tertawa terpingkal-pingkal. Lucunya, tawa mereka menular kepadaku, dan akhirnya kami tertawa bersama-sama.

Aku tidak masalah dengan ejekan mereka. Aku tidak peduli mau jadi apa nanti yang penting adalah keputusan Ibuku.

Keputusan ibuku itu seperti keputusan Tuhan, tidak bisa dibantah, dan harus diikuti.

Tapi jangan salah sangka, ibuku tidak otoriter. Sebelum aku bersedia masuk ke pesantren, dia sudah mendiskusikan ini padaku. Mulanya aku memang keberatan sebab ada SMA favorit yang sedang menantiku untuk duduk dan belajar di sana. Tapi ibuku bersikeras ingin aku masuk pondok pesantren itu, dan ketika aku tanya alasannya mengapa, dia menjawab,

"Nak, masuklah pesantren. Terserah kau nanti jadi apa, yang penting ketika kau berada di titik terendah dalam hidupmu, saat apa pun yang kau bangun tiba-tiba runtuh di hadapanmu, kau tidak mengambil jalan yang salah untuk pelampiasan. Kau tahu jalan untuk kembali, kau tahu kepada siapa kau harus mengadu," katanya singkat.

Begitulah alasan ibu memasukkan aku ke dalam pesantren ini. Pesantren terkenal se-Nusantara yang memiliki lebih dari lima ribu santri dan puluhan ribu alumni yang tersebar ke penjuru negeri dengan berbagai macam profesi, dari petani sampai wakil menteri.

Ini adalah pesantren modern yang terletak di pinggir jalan Lintas Samudra yang menghubungkan Kota Pasarbaru ke Pelabuhan Kuala Enok.

Jika kau berasal dari kota dan ingin pergi ke pelabuhan, maka kau harus melewati jembatan panjang yang melintasi sungai Batang Gangsal. Setelah 5 KM dari sungai itu, kau akan melihat bangunan megah berjejeran sepanjang 1 KM di kanan jalan. Bangunan-bangunan itu dikelilingi pagar beton tinggi yang di atasnya terpasang kawat berduri yang sudah berkarat. Tepat di tengah-tengah pagar itu, berdiri pintu gerbang megah yang memiliki tiga tiang besar dengan hiasan kaligrafi indah di setiap tiangnya.

Pintu gerbang pesantren itu memiliki tiga pintu. Pintu sebelah kanan digunakan untuk kendaraan yang ingin masuk ke dalam pesantren, dan pintu sebelah kiri digunakan untuk keluar. Kedua pintu masuk dan keluar kendaraan itu dilengkapi dengan sensor otomatis yang hanya bisa dibuka dengan ID Card Security dan ID Card beberapa pengurus senior. Di antara pintu kanan dan kiri, terdapat pintu kecil yang hanya cukup untuk 1 orang dan dikunci dengan gembok biasa yang sudah hampir karatan. Pintu itu jarang sekali dibuka dan dibuka hanya untuk para santri yang ingin izin keluar karena keperluan tertentu, dan itu sangat jarang terjadi.

Beruntung, saat ini adalah saat liburan, jadi jika kamu berkunjung ke pesantrenku ini, maka semua pintu itu akan terbuka, kamu bisa keluar masuk sesukamu, bahkan hingga malam buta.

"Wildan, kamu ngapain ngelamun di situ?"

Kata seorang teman yang baru saja keluar dari kamar.

Aku yang sedang berada di teras lantai 2, menghadap masjid berkubah emas, duduk di atas kursi kayu, dan menulis sesuatu.

"Nothing, cuma coret-coret aja."

Aku menunjukkan sebuah catatan berwarna biru.

"Ehm, mau jadi penulis ya?"

Tanyanya lagi sambil mengambil kursi kayu dan mendekat di sampingku.

"Tidak juga, cuma aku suka mengabadikan sesuatu dengan tulisan. Kenapa kamu belum tidur?"

"Tapi jika kamu serius, kamu bakal jadi penulis hebat, Wildan. Aku suka cerpenmu yang berjudul 'Manis' itu."

Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia malah nyerocos tentang cerpenku yang, entah oleh siapa, ditempel di mading sekolah depan kantor Madrasah Aliyah.

Aku tersenyum kecut mendengarnya.

"Ternyata kamu menyukai kisah cinta yang konyol. Jangan sampai kamu punya kisah cinta yang konyol seperti cerpenku itu."

"Hahaha, jika perempuan itu Rimanasya, aku rela menderita," timpalnya asal.

Mendengar nama Rimanasya, membuatku seketika terdiam, lalu tertawa tertahan, menyembunyikan raut muka yang tiba-tiba menegang.

"Zak, tiba-tiba aku lapar. Cari makan yuk." Segera aku mengalihkan pembicaraan.

"Oke, kapan lagi kan, bisa keluar malam," katanya mengiyakan.

Kami berjalan menuju tangga yang berada di tengah-tengah asrama berlantai tiga. Masuk ke dalam kamar sebentar untuk mengambil uang, lalu menuruni anak tangga yang lumayan panjang.

Kamarku berada persis di samping tangga, sedangkan kamar Zaki tepat di samping kanannya. Aku dan Zaki memang tidak satu kamar, namun kami berada di kelas yang sama.

Dia adalah teman pertamaku di pesantren ini. Tubuhnya lumayan berisi karena nafsu ngemilnya susah dibatasi. Tapi jangan salah, meski tubuhnya berisi, wajah tampannya bisa membuatmu jatuh hati, apalagi kemampuan otaknya yang encer sekali. Kau pasti terkesan meski baru melihatnya pertama kali.

“Tapi waktu sudah sangat malam.”

“Ya, kita coba saja. Toh, hanya beli cemilan di swalayan.”

Zaki khawatir jika kita tidak diperbolehkan keluar pesantren.

Saat itu waktu memang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan pondok pesantren ini pun terlihat sangat sepi. Banyak santri yang sudah pulang ke kampung halaman, melepas rindu yang sepertinya tidak dapat lagi ditahan. Hanya beberapa santri senior yang masih bertahan, itu pun karena mereka masih memiliki tugas yang harus dikerjakan.

Santri junior lain yang belum pulang itu karena mereka sedang menunggu jemputan. Seperti aku dan Zaki, rumah kami sangat jauh dari pesantren ini. Orang tua kami harus menempuh perjalanan satu hari untuk bisa menjemput kami.

"Hai, mau kemana?" Tanya bapak security ketika kami sampai di pintu gerbang.

"Ke Swalayan depan, Pak, beli cemilan" kataku singkat.

"Sini dulu" 

Pria paruh baya itu melambaikan tangan, aku pun berjalan ke arahnya dengan perasaan sungkan, khawatir jika tidak boleh keluar malam. 

"Belikan Rokok dan minuman"

Dia berkata sambil menyodorkan uang. Aku pun lega mendengarnya. 

"Baik pak" 

Aku menjawab sambil menyodorkan kedua tangan dan mengambil selebaran uang, lalu berjalan keluar pintu gerbang dan menyebrang jalan. 

Swalayan itu berada persis di seberang jalan, memiliki lahan parkir luas dan buka selama 24 jam. Swalayan itu nyaris tak pernah sepi, karena selain memang berada ditempat keramaian, swalayan itu juga menyewakan sebagai lahan parkirnya untuk pedagang makanan. Sebagai pedagang makanan itu mulai buka pada pukul enam petang hingga larut malam, sampai barang dagangan mereka habis dibeli pelanggan.

"Wah, ada banyak sekali kendaraan terparkir di depan swalayan ini"

Kami yang memang baru pertama kali mengetahui kondisi malam hari di swalayan ini merasa heran sekali. 

Memang jalan raya depan pondok pesantren kami ini hampir tidak pernah sepi, banyak kendaraan yang lalu lalang dari kota menuju pelabuhan dan biasanya mereka akan berhenti di titik ini untuk sekedar melepas lelah atau mengisi bahan bakar kendaraan. Tepat di samping swalayan itu terdapat Stasiun Pengisian Bahan Bakar yang juga buka 24 jam.

“Kenapa aku baru tahu ada banyak penjual makanan di sini” 

Seru Zaki antusias sambil mempercepat langkah kaki. 

“Hei, tunggu” 

Ketika ada makanan orang ini memang tidak bisa menahan diri. Entah bagaimana aku bisa memiliki teman seperti ini.