Di Ujung Tanduk

Di Ujung Tanduk

pesulapcinta

0

Siti: Mbak, minta duit, dong. Aku udah telanjur janji ngadain makan-makan nanti malam, tapi ternyata kurang uangnya.

Kututup ponsel tanpa membalas pesan itu. Matahari baru saja muncul, bahkan aku belum sempat cuci muka, tetapi Kirana berhasil membuat suasana pagiku berantakan. Bukan sekali ini Kirana meminta uang, harusnya aku tidak perlu kesal, bukan? Hanya saja saking seringnya itu timbul rasa muak.

Dia adik iparku. Masih kuliah. Makanya hobi sekali meminta uang. Awalnya aku berniat baik, mau meringankan beban Mas Joko dengan memberikan sebagian penghasilanku untuk Kirana. Namun, niat baik itu ternyata dimanfaatkan olehnya. Hebatnya, Mas Joko-lah yang menyuruh adiknya untuk memeras dompetku sejak kena PHK setahun yang lalu. 

Jujur saja aku lelah sekali. Aku yang bekerja, tetapi orang lain yang menikmati hasilnya.

Aku menarik handuk, masuk ke kamar mandi. Saat berdiri di depan cermin, aku melihat jejak-jejak Mas Joko semalam masih tertinggal di leher dan dada. Aku menghela napas berat. Harusnya semalam aku bisa beristirahat setelah lembur, malah harus menggugurkan kewajiban sebagai istri. Harusnya bercinta itu menjadi kegiatan yang bermakna dan penuh cinta, yang terjadi justru sebaliknya. Aku merasa hampa, kesal, dan marah, tetapi mulut ini tidak bisa mengungkapkan.

Setelah ini, aku harus masak dan membuatkan kopi untuk Mas Joko. Selanjutnya persiapan ke toko. Aku menjual pakaian wanita. Aku bekerja sampai sore, kadang malam pun aku masih berkutat dengan paket-paket yang akan dikirim. Pulang-pulang aku harus melayani Mas Joko tanpa ada negosiasi. Itu aku lakukan setiap hari tanpa jeda bahkan tidak diberi 'gaji'.

Aku masuk ke kamar sembari menggesek handuk di rambut. Kalian mau tahu di mana Mas Joko? Ya, tentu saja suamiku itu masih berlayar di pulau kapuk. Mas Joko akan bangun setelah menghidu aroma masakanku. Saat itu juga aku harus menyiapkan air hangat untuk mandi, pakaian gantinya, dan kopi hitam tanpa gula. Setelah itu, Mas Joko menikmati kopi dan sebatang rokok tanpa peduli istrinya kerepotan mencuci perkakas bekas masak dan makan.

Setiap hari seperti itu. Entah kapan Mas Joko bosan dan tergerak mencari pekerjaan.

Dahulu Mas Joko tidak seperti ini. Kuakui dia lelaki pekerja keras, makanya aku mau menikah dengannya. Setelah PHK itu, Mas Joko mulai berubah. Bangun kesiangan, tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah, kerjaannya sekarang main game. Pernah sekali aku memergokinya main judi online, aku langsung marah dan pulang ke rumah Ibu. Setelah diomeli Ibu, Mas Joko mengaku tidak main judi lagi. Ya, suamiku itu takut dengan ibuku. Nanti kuceritakan kenapa Mas Joko bisa takut.

Aku mulai menumis kangkung. Seperti biasanya, Mas Joko keluar dari kamar di saat aku sedang sibuk di dapur.

"Mala, Siti minta uang."

Itu kalimat pertama yang kudengar dari Mas Joko. Oh, aku tidak pernah berharap laki-laki itu mengucapkan selamat pagi atau memeluk pinggangku dari belakang. Itu tidak akan pernah tahu terjadi.

"Aku udah tahu," balasku singkat.

"Ya udah kirim sekarang. Katanya nanti malam dia mau ngadain makan-makan sama temennya."

"Kenapa dia nggak batalin aja janji ke temen-temennya? Dia baru kemarin minta uang, lho, Mas. Emang dia doang yang butuh uang? Kita juga, Mas. Bisa habis uangku kalau Siti boros."

"Lho, sekarang, kok, kamu hitung-hitungan gitu sama Siti? Dia, kan, juga keluargamu."

"Iya, aku tahu dia keluargaku, tapi nggak gini juga. Siti harus bisa mengelola uang yang aku kasih. Harusnya cukup sampai bulan depan. Jangan kasih makan gengsi, dong!"

Benar. Pagiku tidak pernah ada adegan mesra. Mas Joko selalu memancing amarahku. Jujur aku lelah. Lelah sekali. Aku hanya ingin Mas Joko mengerti dan menyadari kesalahannya. Aku mau kami maju bersama-sama.

"Habis ini aku kasih tau Siti biar nggak boros. Sekarang kamu kasih uangnya, ya. Kira-kira cukup buat acara makan-makan. Kalau aku udah punya uang, aku ganti."

Aku memejamkan mata. Mencoba untuk bersabar sekali lagi. Bukan masalah itu. Mas Joko sering bilang begitu, tetapi kenyataannya? Nihil. Aku hanya mau Siti berhemat sedikit. Dia, kan, juga butuh untuk beli buku, bayar kos, bayar UKT, dan kebutuhan yang lebih penting. Harusnya Siti sadar diri belum bekerja, jadi tidak perlu mengajak teman-temannya makan-makan.

"Aku tetep nggak mau, Mas," kataku. Ya, aku harus tegas. Biarkan saja Siti pusing memikirkan kekurangannya. 

"Kok, kamu tega, sih? Siti lagi kesulitan. Harusnya kamu bantu dia!" 

"Udah cukup aku bantu dia, Mas. Aku nggak mau Siti bergantung terus." 

"Lho, Siti, kan, belum kerja. Ya, wajar kalo minta uang sama kita." 

"Ya, makanya itu aku mau dia harus sadar dengan kemampuannya. Maksud aku baik, lho, Mas. Kalo kita bantu terus, yang ada Siti nggak maju-maju."

"Oh, jadi gitu mau kamu sekarang? Aku nggak nyangka kamu tega sama keluarga sendiri!" 

Tak kusangka Mas Joko membanting gelas bekas air putih di meja sebelum meninggalkanku. Sisa isinya berhamburan di sana. Aku menahan napas. Tidak tahu siapa sebenarnya yang salah. Yang jelas, Mas Joko sudah berubah.

***