Suara jangkrik dan hewan malam lainnya menjadi musik latar belakang yang syahdu di sebuah pos ronda di Dukuh Majumundur. Langit mendung dan udara cukup dingin. Jungkook merapatkan sarungnya hingga menutupi seluruh badan. Kopi hitam hangat yang baru diseruputnya membuat suhu tubuhnya lumayan menghangat.
“Lama amat yang lain belum datang-datang. Sudah hampir jam setengah sembilan,” ujar Minhyun sambil memainkan ponselnya. Jungkook menghela napas, bosan.
Seharusnya, yang bertugas ronda malam Jumat ini ada lima orang: Jungkook, Minhyun, Pak Aron, Jimin, dan Pak Jin. Seharusnya pula, semua sudah harus kumpul pukul delapan. Tapi, yang nangkring di pos ronda baru Jungkook sama Minhyun. Mana canggung banget. Iya, dengan jarak umur dua tahun, Jungkook nggak deket banget sama Minhyun. Jungkook memang introvert, anak rumahan, jarang keluar rumah. Dia keluar rumah hanya untuk kuliah, mancing di sungai bareng bapaknya, pergi ke warung saat disuruh ibu, dan meronda. Sebuah keajaiban dunia yang amat langka kalau Jungkook ikut nongkrong pada sore hari di warung Mbak Rose bareng teman sebayanya.
Bosan, Minhyun merebahkan diri. Matanya menangkap sepasang cicak yang saling berkejaran di dinding pos ronda. Hal itu mengingatkannya pada dirinya sendiri. Sudah dua tahun dia mengejar Yeri, anak Juragan Suho yang ditaksirnya itu. Namun, tidak pernah sekalipun Yeri meliriknya. Kalau kata Jimin, teman sepermainannya, Minhyun itu enggak sekelas sama Yeri. Yeri anak keju, sementara Minhyun anak singkong. Minhyun menghela napas membayangkan rupa Yeri yang bagai bidadari.
Samar-samar, terdengar suara langkah kaki mendekat. Akhirnya, muncul juga Pak Aron, Pak Jin, dan Jimin. Jimin membawa sebungkus tempe mendoan hangat yang baru saja dibelinya dari warung Mbak Rose.
“Sebagai simbolisasi permintaan maaf karena terlambat, kami bertiga patungan beli mendo untuk kalian,” ujar Jimin.
Jungkook tidak jadi marah, dia langsung menyambar mendoan itu. Minhyun bangkit dari rebahannya, ikut mencomot mendoan.
“Ah, malam Jumat gini harusnya kan di kamar aja bareng istri, malah ronda,” keluh Pak Jin.
Dukuh Majumundur memang sedang dalam keadaan darurat. Di masa pandemi cororong seperti ini, beberapa orang dilanda krisis duit. Mereka yang merantau di Jakarta terpaksa pulang karena lockdown. Terus, yang biasa jualan di alun-alun kota terpaksa libur dulu karena dilarang sama Pak Bupati. Namun, mereka butuh duit buat makan. Apalagi, sekolah dilakukan secara daring dan butuh kuota. Buat makan saja bingung, ditambah pusing sama harga kuota. Pemerintah memang menjanjikan bantuan. Namun, enggak turun-turun. Entah nyangkut di mana, warga desa tidak ada yang tahu. Memang enggak mau mikirin, sih. Mikirin diri sendiri aja pusing!
Karena kesulitan duit seperti itu, beberapa orang memilih jalan cepat tapi berdosa buat mengisi perut. Sudah ada beberapa rumah yang kebobolan maling. Pak Kadus kehilangan bebek betina beserta telur-telurnya, Bu Irene menangis meraung-raung saat tahu perhiasan emasnya raib total, Mbak Rose kehilangan duit beberapa ratus ribu, dan masih banyak warga lain yang juga melapor telah kehilangan harta benda. Pak Kadus pun bertitah supaya ronda malam semakin diperketat dengan menambahkan beberapa personil buat bertugas. Pak Jin kebagian malam Jumat. Sebenarnya, dia keberatan. Namun, mau bagaimana lagi. Dia tentu saja tidak mau didepak dari keanggotaan warga Dukuh Majumundur. Apalagi, dia sering absen sewaktu belum pandemi.
“Emang di kamar ngapain, Pak?” Tanya Jimin.
“Halah, sok polos kamu, Jim!” Pak Aron mengusap-usap pipinya yang terasa perih dan sedikit memerah. Hal itu membuat yang lain penasaran.
“Pipinya kenapa, Pak?” tanya Minhyun. Yang ditanya hanya cengar-cengir haha-hehe sambil masih mengusap-usap pipinya.
“Hmm, kayaknya habis berantem sama istri.”
“Hehe, tau aja Pak Jin.”
“Istri pertama atau kedua, Pak?”
Lagi-lagi, Pak Aron cengar-cengir. Pak Aron memang punya istri dua. Di warung sayur Mbak Jennie, ibu-ibu bergosip bahwa katanya Pak Aron mau tambah istri satu lagi. Jihyo, janda kembang dari desa sebelah yang katanya mau diperistri sama dia, kepergok lagi jalan bareng Pak Aron di pasar, ketawa-ketiwi mesra. Apalagi, Pak Aron membantu membawakan salah satu tas belajaan Jihyo. Mbak Jennie yang melihat langsung mengudarakan kabar itu.
Dengan ditambahi bumbu penyedap, kabar itu jadi hot news di Dukuh Majumundur. Tentu saja kedua istri Pak Aron mendengar. Oleh karena itu, Pak Aron kena gampar di pipi sama istri tuanya yang tidak mau dimadu lagi.
“Pertama, ehehe.”
“Memangnya bener kalau njenengan* mau kawin lagi?” Pak Jin kepo berat, “Soalnya, dari kemarin hari, istri saya ngomong itu melulu di rumah.” *Anda.
“Iya, Pak. Saya dengar percakapan ibu-ibu di warung Mbak Jennie waktu saya beli masker, Pak Aron lagi dekat sama Jihyo,” Jimin berkata, “Kalau bener, saya enggak setuju, Pak.”
“Lha, kenapa?”
“Ya Pak Aron serakah banget. Udah punya dua, mau tambah satu lagi. Kasihan para bujangan yang belum dapet-dapet jodoh, Pak. Saya contohnya!” Jimin baper.
“Gayamu ngomong gitu. Kayak Jihyo mau sama kamu aja!” Minhyun sewot, “Tapi memang cantik banget si Jihyo itu. Bisa-bisanya Daniel ninggalin dia. Buang-buang rezeki!”
“Ehem,” Pak Jin berdeham dan membetulkan peci, langkah awal sebelum dia berbicara panjang lebar. Semuanya langsung takzim siap mendengarkan, terutama Jimin, “Ya, si Jihyo sama Daniel itu kan nikah muda. Daniel belum punya pekerjaan tetap, bayarannya kecil. Jihyo hanya seorang binatu. Kata tetangganya, mereka sering bertengkar masalah duit.”
Pak Jin berhenti buat menarik napas. Jimin tidak sabar mendengar kelanjutannya, “Terus, Pak?”
“Apanya yang terus, Jim?”
“Lha, Bapak mau cerita tentang Jihyo, kan?”
“Enggak, saya mau bilang gitu thok*.” *saja.
Penonton kecewa.
“Jadi gimana, Pak Aron? Njenengan beneran mau nikah sama Jihyo?” Jimin masih kepo.
“Enggak, lah. Saya cukup dua aja istrinya. Itu pun sudah agak repot ngurusnya, hehe.”
“Lha, terus yang dibicarakan ibu-ibu itu gimana?”
“Jadi gini,” Pak Aron mengawali ceritanya. Semuanya mengagguk kompak, “Sebenarnya, saya enggak sengaja ketemu Jihyo waktu itu. Bapaknya Jihyo kan kenalan saya, jadi saya lumayan kenal juga sama Jihyo. Ya, masa sesama kenalan enggak saling sapa dan berbincang barang sebentar. Kan, enggak sopan. Kebetulan juga waktu itu Jihyo belanjanya banyak dan berat, jadi saya bantu bawakan barang bawaannya itu. Rupanya, hal seperti itu bikin salah paham, ya.”
“Itulah pentingnya mengolah informasi dengan bijak. Cari tau dulu kebenarannya sebelum menyebarkan ke orang lain. Sudah sering Pak Kadus sampaikan, lho, di grup Whatsapp.”
“Ya, namanya juga ibu-ibu, Pak Jin. Enggak afdal kalau belum bergosip.”
“Jadi, saya masih ada kesempatan buat ngejar Jihyo, ya,” Jimin berbicara dan langsung ditoyor sama Minhyun, “Ngimpi!”
Jimin tidak terima, “Apa? Enggak usah ngejek! Kamu aja ngejar Yeri enggak dapet-dapet!” Skak mat! Minhyun tersenyum masam. Yang lain terkekeh geli.
Malam terus mengalir bersama pergerakan awan yang membuat langit kehilangan cahayanya. Percakapan pun masih mengalir deras di pos ronda itu. Masing-masing menceritakan kisah kehidupannya sendiri-sendiri. Sesekali, tawa meledak di tengah dialog, membuat kaget cicak-cicak yang membangun koloni di tempat itu. Namun, Jungkook masih irit bicara. Kalah dengan cerewetnya hewan-hewan malam.
“Jungkook diem aja, lapar apa ngantuk?” Pak Aron menyenggol pundak Jungkook. “Nih, mendoannya habiskan!” Pak Aron menyodorkan kertas minyak yang tinggal berisi satu mendoan. Jungkook tersenyum canggung, mencomot mendoan, dan melahapnya pelan-pelan. Sebenarnya, Jungkook ingin pulang. Dia sudah rindu dengan kasur dan game-nya. Tapi, selesainya malam masih lama. Jungkook musti bersabar.
“Bosen banget aku. Ingin merem sebentar,” Jimin merebahkan diri.
“Malingnya enggak beraksi malam ini apa ya? Padahal aku ingin banget ngejar maling,” Minhyun angkat bicara.
“Hus! Jangan begitu. Kamu berharap ada yang kemalingan?”
“Iya dong, Pak. Biar nanti kita bisa nangkap malingnya dan dukuh kita kembali tenang.”
“Maling itu apa masih bisa tidur ya setelah melahap sesuatu yang haram?” Akhirnya Jungkook ngomong, “Dulu, waktu sekolah dasar, saya enggak bisa tidur karena siangnya nyontek pas ulangan.”
“Dek Jungkook hatinya masih suci,” Jimin ngomong sambil merem, “Beda sama maling yang hatinya udah karatan.” Jungkook tersipu, yang lain terkekeh.
“Sebenarnya, saya kasihan sama malingnya. Saking kesulitannya sampai tega mencuri.”
“Ya, sesulit apa pun kedaannya, harusnya jangan sampai mencuri. Kan masih banyak cara yang halal buat dapat rezeki.”
“Mereka kepepet, maunya yang instan. Enggak lagi memikirkan halal haram.”
“Bener, aku aja kalo dompet lagi tipis, inginnya ngambil duit punya ibuku.”
“Oh, jangan-jangan kamu malingnya ya?”
“Ngaco!”
“Kamu lagi tugas ronda, makanya enggak ada yang kemalingan!”
“Ngarang!”
“Ngaku kamu, Jim!”
“Maling! Maling! Maling!”
Minhyun yang sudah siap membekuk Jimin terhenti begitu mendengar sayu-sayup teriakan orang. Jungkook, Pak Aron, dan Pak Jin ikut membeku.
“Ling! Maling! Berhenti kamu, Ling! Maling!”
Suara derap kaki orang-orang berlari semakin mendekati pos ronda. Minhyun mengacungkan telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat supaya diam. Pak Aron mengintip ke arah sumber suara. Dia mendelik kaget begitu melihat sepasang mata yang juga sedang mendelik kaget melihat sepasang mata milik Pak Aron. Suara petok-petok ayam betina yang dirangkul oleh Si Maling mengiringi setiap detik adegan tatap-tatapan itu.
“TANGKAP!!!” Pak Aron memberi komando.
Jungkook, Minhyun, dan Jimin langsung menyerbu seperti pasukan khusus. Pak Aron dan Pak Jin yang sudah sering sakit punggung lebih memilih memukul kentongan sambil teriak-teriak. Si Maling yang kelelahan dan syok berat belum sempat lari menyelamatkan diri. Jungkook memiting Si Maling, Jimin merebut ayam betinanya. Lalu, Minhyun merenyet Si Maling ke pos ronda sambil mengucapkan sumpah serapah.
Si Maling didudukkan di pos ronda. Warga datang berduyun-duyun akibat pukulan kentong Pak Aron dan teriakan Pak Jin yang membahana.
“Buka topengmu!” Pak Minho yang kemalingan amat murka. Ayam betinanya dirangkulnya erat-erat. Warga ikutan ribut menyuruh Si Maling membuka topengnya. Pak Kadus sibuk menenangkan warga. Untung dia datang tepat waktu. Kalau tidak, sudah habis Si Maling diamuk warga.
Si Maling masih diam. Minhyun jengkel dan merobek sarung Si Maling. Tereksposlah rupa Si Maling itu. Terkaget-kaget para warga.
“Daniel?!”
Ramailah pos ronda Dukuh Majumundur dengan nama-nama hewan berkaki empat. Pak Minho menyerahkan kembali ayam betinanya kepada Jimin dan menggulung lengan bajunya. Pak Kadus buru-buru menahan Pak Minho. Dia kewalahan karena badannya jauh lebih kecil. Suaranya pun sudah tidak mempan untuk menenangkan para warga.
“DIAM!!!” Ini Pak Jin yang berteriak. Sudah mirip komandan pasukan khusus. Para warga langsung tenang. Pak Kadus menatap Pak Jin penuh terima kasih.
“Bapak-bapak, sebaiknya kita jangan main hakim sendiri. Kita bawa Daniel ke rumah Pak Kades saja dulu. Baru setelah itu ke kantor polisi. Mereka lebih berwenang dari pada kita,” Pak Kadus memang bijak. Semua warga mengangguk. Walau masih dongkol, Pak Minho patuh juga.
Pos ronda mendadak sepi karena semua orang berduyun-duyun menggiring Daniel ke rumah Pak Kades. Kecuali Minhyun, dia diam-diam menyelinap ke balik pos ronda, menggunakan sarungnya untuk menutupi wajah dan mengendap-endap di kegelapan malam. Sepasang bebek milik Pak Jin yang dilihatnya tadi siang begitu menarik perhatiannya. Dibayangkannya besok dia bergelimang duit hasil menjual bebek itu. Cicak di pos ronda pun tertawa.