Devastate Desire

Devastate Desire

Fielsya

0

“Aku kangen banget sama kamu,” ucap seorang wanita seraya memeluk seorang laki-laki yang sudah beberapa jam menunggunya di sebuah kamar hotel.

Tangan wanita itu pun perlahan mengelus punggung laki-laki itu dari bawah hingga ke atas, hingga akhirnya sentuhan itu bermuara ke lehernya. Keduanya sedikit memberi jarak untuk tubuh masing-masing sambil saling menatap penuh cinta dan seulas senyum dari bibir masing-masing.

“Aku juga merindukanmu, Cal,” balas lelaki itu yang kemudian langsung memagut bibir wanita yang ada di hadapannya itu.

Keduanya berbalas ciuman dengan penuh gairah, seolah ingin melepas kerinduan yang begitu dalam melalui ciuman tersebut. Lama mereka bermain bibir hingga bertukar saliva, dan akhirnya telapak tangan lelaki itu berhasil menelusup ke dalam dress berwarna merah menyala milik sang wanita.

Sadar jika lelaki itu menginginkan hal yang lebih, wanita itu pun langsung menghentikan aktivitas mereka. Lelaki dengan potongan rambut bermodel high and tight cut itu langsung menatap sang wanita dengan penuh tanya.

“Theo, sorry kita nggak bisa melakukan itu sekarang. Deren juga ada di Jakarta, dia pasti sedang menungguku di apartemen,” ucap wanita itu seraya berbalik badan dan berjalan perlahan menjauhi lelaki yang bernama Theo.

Theo pun langsung menghampiri si wanita lalu dengan cepat meraih pinggangnya yang ramping untuk dia tarik dalam dekapannya.

“Jadi, sekarang kamu lebih memprioritaskan Deren daripada aku? Apa sekarang cintamu untuknya sudah tumbuh kembali, Calista?” tanya Theo dengan nada lirih sambil mencium belakang telinga dan juga tengkuk sang wanita.

Calista—wanita itu—langsung berbalik badan dan langsung kembali menyambar singkat bibir seksi milik Theo sebelum dia berkata, “Bukan begitu. Kita, kan, sudah sepakat untuk selalu menjaga rapat-rapat hubungan ini? Akhir-akhir ini Deren sudah mulai curiga, aku tidak ingin sampai akhirnya dia tahu kalau kita memiliki hubungan di belakang dia. Bukankah kamu juga tidak ingin kalau Marsa sampai tahu?”

“Baiklah, baiklah. Tapi, satu ronde saja. Please! Aku janji nggak akan lama.” Wajah Theo memelas, berharap Calista akan memenuhi keinginannya.

Wanita itu pun terlihat sedang berpikir. Logikanya ingin menolak, tetapi hati dan nafsunya menginginkan hal yang sama seperti yang Theo inginkan. Tepat di saat itulah, Theo yang tak ingin membuang waktu untuk mendapat kesenangannya, langsung saja melucuti dress yang Calista kenakan hingga menampakkan tubuh sintal yang sudah beberapa tahun dia nikmati.

“Kalau kamu kebanyakan mikir, waktu kita akan terbuang sia-sia. Aku janji hanya satu ronde,” ucap Theo saat melihat wajah terkejut dari wanita yang ada di hadapannya itu.

Tak hanya sekadar melucuti pakaian, Theo bahkan langsung menyerang bagian tubuh Calista yang mudah dirangsang hingga wanita itu tak memiliki pilihan lain selain meladeni permainan Theo.

Keduanya pun bercinta hingga masing-masing merasa puas. Entah berapa ronde yang sudah mereka mainkan, tanpa memedulikan dering panggilan masuk di ponsel masing-masing.

Setelah nafsu keduanya mereda, Calista langsung merebahkan tubuhnya dalam pelukan Theo yang saat itu juga sudah terkulai lemas. Mereka sama-sama tidak ingat akan janjinya untuk tidak bermain lama, hingga saat Calista yang hendak memejamkan mata, tiba-tiba teringat kepada Deren—suami sahnya—yang sedang menunggunya di apartemen milik mereka.

Calista langsung terbangun dan memungut semua pakaiannya yang berserakan di lantai. Theo pun hanya bisa menyaksikan wanita itu yang telah melayani nafsunya malam itu terburu-buru mengenakan pakaiannya kembali.

“Apa permainanku tidak cukup memuaskanmu hingga kamu takut Deren akan marah?” Pertanyaan itu terdengar seperti sebuah sindiran di telinga Calista.

Dia pun hanya bisa menatap sekilas ke arah Theo, lalu tetap melanjutkan merapikan penampilan dan juga make up-nya. “Gimana juga denganmu? Apa aku juga belum cukup hingga kamu tetap saja memperlakukan Marsa dengan sangat romantis di depan umum.”

Theo meraih selembar handuk yang tergeletak di lantai untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Setelah itu, dia langsung memeluk Calista begitu erat.

“Apa kamu cemburu? Apa kamu juga mau kalau aku memperlakukanmu seperti itu?” bisik Theo tepat di telinga Calista yang diikuti tiupan pelan di sana dengan maksud membuat rangsangan.

Calista pun berdecak kesal lalu menjauhkan tubuh Theo darinya. “Kalau kamu saja bisa cemburu pada Deren, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama kepada Marsa? But, aku nggak mau kamu memperlakukanku sama seperti Marsa, aku maunya lebih dari Marsa. Aku sudah memberikan apa yang tidak bisa dia berikan untukmu. Sudah sepatutnya aku mendapat lebih dari dia!”

Theo bersedekap seraya memperhatikan Calista yang sedang memoles bibirnya dengan lipcream yang senada dengan warna pakaiannya. “Kalau begitu, aku juga harus mendapat yang lebih dari Deren, bukan?”

“Sudahlah. Aku harus segera pulang. Kita sudah terlalu lama. Tidak hanya Deren, si kecil juga pasti sudah menungguku. Entah kenapa, akhir-akhir ini dia sangat rewel dan hanya mau denganku,” ucap Calista seraya memeriksa barang-barang di tasnya, memastikan agar tidak ada barang yang ketinggalan setelah dia pergi.

“Itu artinya dia sedang merindukan ayahnya. Kamu tahu, anak laki-laki itu tidak bisa lama-lama jauh dari ayahnya,” sahut Theo seraya menahan sesak di dadanya.

Tanpa merespons apa yang Theo ucapkan, Calista pun langsung pergi begitu saja dari kamar hotel tersebut. Setelah kepergian Calista, Theo langsung merebahkan tubuh dan mencoba memejamkan mata. Namun, baru beberapa detik, ponsel miliknya kembali berdering.

Diraihnya benda pipih itu, lalu segera mengangkat panggilan yang sejak beberapa jam lalu sudah mengganggu Theo. “Ya, halo Sayang?” sapa Theo kepada orang di seberang telepon dengan manipulasi suaranya seperti suara khas orang yang baru bangun tidur.

“Malam ini kamu nggak pulang?” tanya seorang wanita yang tak lain adalah Marsa—istri Theo.

“Iya, maaf. Tadinya aku mau pulang, tapi setelah acara tubuhku rasanya capek banget. Nggak pa-pa, kan, kalau aku pulang besok pagi aja? Kamu nggak takut, kan, sendirian di rumah?” tanya Theo dengan nada yang begitu lembut.

“Aku nggak takut, aku hanya kepikiran kamu aja. Ya udah, kamu istirahat lagi gih. Sampai jumpa besok. I love you,” ucap Marsa yang diikuti kecupan sayang jarak jauh.

“I love you too,” balas Theo yang setelah itu langsung memutus sambungan teleponnya dengan sang istri.

Theo menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Kemudian dia kembali beranjak ke sebuah sudut dan mengambil sebuah benda pipih lain yang dia letakkan di balik sebuah vas yang ada di kamar itu.

“Calista memang jagonya bikin aku puas. Dia tahu apa yang aku mau,” gumamnya sambil tersenyum puas seraya menatap sebuah video dari benda yang baru saja dia ambil.