Demi Kehormatan

Demi Kehormatan

HusniMagz

5

"Kamu tahu apa bukti cinta itu, Raisya? Kamu harus rela memberikan apa pun yang kau punya. Meski kau harus menyerahkan keperawananmu kepadaku,” bisiknya dengan sorot matanya yang tajam tapi melenakan. Aku selalu percaya kata-katanya yang manis dan meyakinkan. Karena dia tidak pernah mengingkari janjinya. 

Mungkin kau akan menganggapku gadis paling bodoh. Tapi sebelum kau menganggapku sebagai gadis yang bodoh dan gampangan, izinkan aku untuk membela diri. Aku memang gampangan, tapi semua itu tidak serta merta terjadi begitu saja. lelaki itu selalu manis dan menepati janji. Dua tahun yang lalu dia berjanji untuk menghadiahiku jam tangan di hari ulang tahun. Dia menepati janjinya. Tepat di hari ulang tahunku yang ke-17, dia datang tidak hanya dengan membawa kotak jam tangan, tapi juga bunga, cokelat dan hadiah lainnya. Bukannya itu sangat manis? Bahkan jika kau menjadi aku, kau pasti akan terjatuh pada kesalahan yang sama. 

Setahun yang lalu dia juga berjanji akan memberikanku ponsel baru yang lebih canggih dari yang aku miliki saat itu. Aku awalnya agak ragu. Aku pikir itu hanya bualan dia untuk bisa mendapatkan simpatiku. Tapi ternyata dia tidak bohong. Di hari yang tidak pernah aku lupakan –sepulang sekolah- dia mengajakku untuk mampir ke pusat perbelanjaan terbesar, memintaku untuk memilih satu ponsel yang harganya tidak melebihi satu juta. ‘Karena aku hanya punya uang satu juta untuk kamu,’ ujarnya dengan senyum menawan. 

Kemudian aku memilih satu ponsel yang harganya Sembilan ratus ribu Sembilan puluh Sembilan rupiah. Cukup bagus untuk ukuran gadis kere sepertiku. ‘Ponsel ini sebagai hadiah hari jadian kita yang kedua tahun,’ akunya. 

Kau masih menganggapku cewek gampangan dan bodoh? Terserahlah. 

Dan hari paling naas itu terjadi. Dia memaksaku untuk memenuhi keinginannya. Suatu hari yang paling kelam dia mengajakku untuk mampir ke rumahnya. Aku tidak tahu bahwa di balik undangan itu ada akal bulus yang menjerumuskanku pada penyesalan yang tak berkesudahan. Di rumah besar nan megah itu tidak ada siapa pun selain aku, dia dan Mbok Parmi, sang asisten rumah tangga.

“Itu tidak boleh!” seruku sembari menatapnya waspada.

“Kenapa? Kamu sudah tidak percaya lagi sama aku?” tanyanya dengan nada kecewa. 

“Bukan begitu. Aku…Aku hanya merasa ini salah. Belum saatnya untuk…”

“Kamu mengecewakan aku. Aku sudah memberikanmu jam tangan, ponsel terbaru, baju, cokelat, bunga, apakah itu tidak cukup untuk membuktikan bahwa aku lelaki yang baik untuk kamu?”

Andai aku tahu kejadian selanjutnya, mungkin saat itu aku akan berteriak begini, ‘Lelaki yang baik tidak akan menodai orang yang dia cintai sebelum waktunya tiba!’ Tapi saat itu aku bodoh. Atau lebih tepatnya aku dibodohi oleh bujuk manis yang dia lontarkan dari dua bibirnya yang selalu membuatku tertawan. 

“Ini sudah melewati batas, Za!”

“Kita kan sudah saling percaya satu sama lain, Raisya.”

“Aku takut, Za.”

“Takut kenapa?”

“Aku takut orang-orang tahu perbuatan kita.”

“Tidak ada yang tahu. Hanya kita yang tahu.”

Dan Tuhan juga tahu. Saat itu aku ingin mengatakan kalimat itu. Tapi lidahku kelu. Alih-alih membawa nama Tuhan sebagai perisai dari dosa durjana yang kami lakukan, aku malah lebih mengkhawatirkan kehadiran Mbok Parmi. “Mbok Parmi kan ada di rumah.”

Reza tertawa terbahak-bahak. “Masa iya kamu takut sama Mbok Parmi. Bahkan meskipun dia melihat perbuatan kita berdua, dia tak akan berani mengadukan perbuatan kita kepada Mama dan Papa. Jika pun iya, kedua orangtuaku tak akan peduli tentang apa yang aku lakukan. Lagi pula kita kan melakukannya bukan di ruang tamu.

Maka terjadilah. Hari itu rasanya aku menjadi manusia paling menjijikan di dunia. Aku telah menyerahkan apa yang seharusnya aku jaga. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terlanjur dan waktu tidak mungkin di putar. Aku hanya bisa tergugu dalam penyesalan panjang.


Setelah kejadian itu, Reza semakin sering mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya yang hampir setiap waktu sepi bak kuburan. Reza pernah bilang jika kedua orangtuanya maniak kerja. Sang Papa bekerja sebagai manger di perusahaan BUMN, sementara sang Mama bekerja sebagai CEO di sebuah pabrik produk kecantikan. Kedua orangtua Reza hanya menjadikan rumah sebagai tempat untuk tidur. Bangun tidur pukul 4.30, mereka harus segera berangkat ke tempat kerja, kemudian pulang lebih dari pukul 10.00 malam. Aku saat itu sempat berpikir bahwa sungguh beruntung Mbok Parmi. Karena pada hakikatnya Mbok Parmilah sang pemilik rumah itu. Sang asisten rumah tangga itu yang menempati rumah mewah nan megah 24 jam dengan semua fasilitas yang tersedia. Adapun yang tuan rumah hanya menjadikan rumah sebagai persinggahan. Barangkali untuk alasan itu juga Reza sering mengadakan party di rumah bersama gengnya, teman klub futsal atau bahkan teman sekelas. 

“Untuk mengusir rasa sepi,” itulah alasan Reza. Barangkali kebiasaannya mengajakku selalu datang ke rumahnya adalah bagian dari ritual mengusir sepi. Lama-lama kami menjadi terbiasa. Bahkan yang awalnya aku merasa risi dengan kehadiran Mbok Parmi, sekarang aku percaya diri dan tak sungkan lagi. 

Awalnya kami melakukan itu dengan memakai pengaman. Tapi lama-lama Reza membujukku untuk tidak memakai pengalaman dengan alasan ingin merasakan sensasi yang berbeda. “Kita kan sudah jadian. Jadi aku tidak mungkin meninggalkanmu setelah ini.”

Ini kebodohan kedua karena aku percaya dengan manis bibirnya. 

Berbulan setelah itu, aku merasakan perubahan yang kentara. Aku merasakan mual-mual, meriang dan pusing. Awalnya aku berpikir aku hanya masuk angin biasa. Maka aku hanya meminta adikku untuk mengerok punggungku, membelikan aku obat masuk angin dan meminum herbal. Tapi sepertinya gejala itu tidak juga hilang. Anehnya, aku merasakan gejala-gejala tak mengenakan itu di setiap pagi.

Awalnya aku menduga ada yang tidak beres. Kemudian dugaan itu semakin membuat aku ketakutan ketika aku menyadari telah telat datang bulan. Kulihat kalender di meja belajar. Saat itu aku sudah telat lima hari. 

‘Ini tidak mungkin!’ bisikku di dalam hati. 

‘Bagaimana ini tidak mungkin? Jelas ini sangat mungkin terjadi mengingat kau melakukannya berkali-kali tanpa memakai pengaman.’

‘Sekarang, apa yang harus aku lakukan?’

‘Beli tespek ke apotek seberang rumah.’

‘Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya. Aku hanya gadis remaja. Aku tidak mungkin berani membelinya sendirian.’

‘Beli saja dengan memakai kerudung ibumu. Biar kau tampak lebih tua.’

Suara hatiku berdialog, bersipongang bertimpalan satu sama lain.

Maka hari esoknya aku izin tak masuk kelas dengan alasan sakit. Entah alasannya sakit apa, yang jelas aku meminta kepada temanku Fina untuk membuatkan surat izin sakit untukku. Fina selalu mengerti. Sebagai sekretaris, dia yang memegang buku absen di kelas. Jadi dia bisa membantuku. Ketika ibu telah berangkat kerja ke toko kelontong miliknya, dan bapak telah pergi mengajar di Sekolah Dasar, aku segera beranjak dari rumah menuju apotek untuk membeli tespek. Demi meyakinkan rasa takut yang merajam rasa.

Tak lupa aku membalut rambutku dengan kerudung ala emak-emak. Tentu saja milik ibuku yang aku ambil dari jemuran. Setelah mendapatkan benda yang dimaksud, aku segera membawanya ke dalam kamar mandi dan mencelupkannya pada air seni. Kemudian menunggunya dengan waktu yang bagiku cukup lama. Ya, tentu saja waktu menjadi terasa lama untuk hati yang dirajam kebimbangan sekaligus kekhawatiran.

Ketakutanku menjadi kenyataan. Aku melihat tanda itu di tespek. Aku telat datang bulan karena memang aku hamil. 

Duniaku runtuh saat itu juga. Kau bisa membayangkan anak kelas sebelas SMA hamil. Apa yang akan terjadi? Aku tidak bisa membayangkannya. Mungkin lebih baik memilih mati daripada menanggung aib itu.