Demi Emak

Demi Emak

aquarisve

5

Ayuna membulatkan matanya mendengar permintaan Pak Rozak, mulutnya terganga tak percaya.

"Yuna, menikahlah maka Emakmu bisa kunaikkah Haji juga tahun ini" sekali lagi Pak Rozak mengulangi ucapannya.

Rasanya tak percaya, jika Pak Rozak yang sudah dianggap sebagai Bapak sendiri, mengucapkan itu. Ayuna beristigfar dalam hati, batinnya memberontak, bagaimana Pak Rozak yang selama ini menjadi tempat curhatnya seolah mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Pak Rozaklah yang paling tahu keluh kesah Yuna selama ini. Pak Rozak yang sudah dikenalnya selama 5 tahun belakangan ini adalah kepala sekolah swasta tempat Yuna mengajar. Di pulau terpencil ini, hanya sekolah Pak Rozak yang ada dan Yuna dengan senang hati bergabung menjadi guru kontrak di sana, walau dengan gaji yang tidak terlalu besar. 

Pak Rozak memiliki figur seorang bapak yang selama ini Yuna cari, cara bicaranya lemah lembut dan sangat bijaksana, beliau juga turut aktif mengajar murid di sekolah, maklum saja di sekolah "Harapan Baru" tempat Yuna mengajar cuma ada 4 guru termasuk Pak Rozak sendiri. Empat guru lainnya juga sudah berumur, mereka adalah pensiunan guru yang kembali lagi ke kampung pulau untuk mencari ketenangan.

Tidak ada lagi pemuda pemudi lain yang mengajar di sana selain Yuna, pemuda pemudi pulau banyak yang pergi ke kota untuk mencari pengidupan yang lebih baik.

Berkali-kali Yuna berusaha memejamkan mata, tetapi matanya urung terpejam. Di ambilnya air dari gelas di sebelah kasurnya, setelah dahaganya terpuaskan Yuna memilih keluar rumah dan berjalan-jalan di sekitar rumahnya yang berada di pesisir pantai pulau.

Suara deburan ombak, turut bersaing dengan deburan hari Ayuna. Usia Yuna sudah 27 tahun dimana di kampungnya merupakan usia kategori perawan tua. Bahkan Nining anak bekas anak didiknya yang tinggal di sebelah rumah Yuna sudah menikah di usia belia.

Bukannya tak cantik, Yuna termasuk kategori kembang desa, kulit kuning langsat berpadu dengan hidung mancung serta badan yang tinggi semampai membuat Yuna tampak sempurna sebagai seorang wanita. Beberapa pemuda sudah melamarnya, tetapi Yuna menolak mereka, Yuna tak tega membiarkan emak sendirian di Pulau, sementara para pemuda yang melamarnya selalu saja mau membawa Yuna ke kota.

Di bawa ke kotapun Emak tak mau, kata Emak tinggal di Pulau membuat Emak merasa dekat dengan almarhum Bapak. Biarlah, Yuna sendiri sudah memutuskan untuk mengabdikan hidupnya untuk Emak dan sekolah tempatnya mengajar walaupun itu artinya Yuna harus melajang seumur hidupnya.

Bintang nampak bertaburan di langit,  Yuna bersyukur, salah satu yang membuatnya betah di pulau ini adalah keindahan alamnya yang tiada tara. 

Tetapi menikah dengan Pak Rozak sama sekali tidak ada difikiran Yuna, selain perbedaan usia yang sangat jauh, sekitar 40 tahunan, Yuna telah menganggap Pak Rozak sebagai bapak sendiri.

Yuna sudah memutuskan, lusa hari senin di sekolah, dia akan menolak tawaran Pak Rozak, walaupun resikonya Yuna akan mengundurkan diri, Yuna merasa tak enak hati jika terus di sekolah setelah menolak lamaran Pak Rozak. 

Untuk kehidupan kedepannya Yuna, akan menggantungkan sepenuhnya pada usaha kelong miliknya saja (kelong=pondokan di tengah laut untuk menangkap ikan teri).

"Bu guru lagi apa?"

Yuna menoleh, Nining si tetangga sekaligus mantan anak didiknya sudah berdiri di sebelahnya.

"Lho Ning, baliklah ke dalam rumah, banyak angin" aku mengelus perut Nining yang membuncit.

"Ndak bisa tidur bu guru, si Rahmat lagi ke laut" bibir gadis itu mengerucut

"Besok sore katanya baru pulang, kapalnya di sewa pemancing" lanjutnya lagi

Yuna mengangguk angguk, teringat bahwa Rahmat suami nining tadi pagi memang izin padanya untuk membawa pemancing yang menyewa kapalnya, sekaligus menitipkan Nining yang sedang hamil padanya.

"Lumayan bu guru, uangnya bisa untuk tambah-tambah biaya persalinan" ucap pemuda itu

"Iya, nanti biar ibu temani si Nining" Yuna tersenyum pada pemuda yang walaupun masih sangat muda tetapi pemikirannya sudah dewasa.

"Ning tidur sama ibu yuk, biar ibu bantu gosok pinggangnya, kayaknya pegal benar ya pinggangnya" Yuna memperhatikan Nining yang terus-terusan memegang pinggangnya.

"Boleh bu??? Yuk buuuu!" Gadis itu berseru riang.

Lumayan untuk teman malam ini, fikir Yuna. Setidaknya adanya Nining yang bawel akan mengurangi fikiran Yuna soal lamaran Pak Rozak.

***

Pagi minggu cerah, dari subuh Yuna sudah sibuk menurunkan ikan teri dari kapal Mang Udin. Selepas itu Yuna mengidupkan perapian dan merebus ikan teri yang diperoleh dari kelong. Mang Udin sudah pamit dari tadi setelah menerima upahan angkut teri dan membawa sekeresek cumi-cumi segar yang tidak sengaja terperangkap dalam jaring ikan teri.

Yuna segera membentang plastik dan menghamparkan terinya agar terkena sinar matahari secara merata, biasanya jika hari cerah dalam waktu 3 sampai dengan 5 hari ikan teri sudah bisa dijual ke pengepul terdekat. Walau cuma dihargai 30 ribu perkilo Yuna sudah sangat bersyukur, biasanya 10 kilo terinya laku akan segera dibelikan obat untuk emak dan mencicil biaya operasi almarhum bapaknya yang masih belum lunas. 

Untuk makan sehari-haripun Yuna bisa memperolehnya gratis dari laut di Pulau Pelapis ini, asal memancing saja di dermaga biasanya Yuna sudah mendapatkan seember ikan untuk dijadikan lauk.

Bahkan jika musim ikan teri seperti ini Yuna bisa memperoleh cumi-cumi segar dengan mudah. Hanya kadang untuk membeli beras saja dan bumbu dapur lainnya Yuna perlu mengeluarkan uang. 

Yang jadi masalah di Pulau ini jika musim selatan tiba, akan banyak badai. Sehingga Kelong tidak bisa menghasilkan ikan teri yang berarti tidak ada pemasukkam bagi Yuna. Antisipasi yang biasa Yuna lakukan adalah membuat ikan asin untuk stok musim selatan serta membeli beras yang banyak.

Dengan niat Yuna berhenti dari sekolah otomatis akan membuat Yuna kehilangan salah satu sumber penghasilannya yang biasanya Yuna gunakan untuk membeli beras.

"Sudahlah, nanti pasti ada jalan" batin Yuna menghibur dirinya. 

"Yun..." 

Yuna menoleh, emak melambaikan tangan dari teras rumah. 

"Sarapan nak.."

Yuna tersenyum, buru-buru Yuna membersihkan tangannya yang masih belepotan air ikan teri dengan air pegunungan yang mengalir di samping rumah.

Yuna naik ke teras rumah yang merupakan rumah panggung berukuran 5 x 8 meter, rumah yang dibuat bapak sendiri dengan susah payah, sehingga sungguh maklum bagi Yuna, bahwa emak sangat menyayangi rumah itu sebagai kenang-kenangan dari Bapak.

Nasi hangat dan ikan pindang ikan sengarat telah siap di meja. Si Nining juga sudah bangun dan pamit pulang untuk memasak makanan bagi suaminya dan tamu penyewa kapalnya.

"Enak nak?" Emak tersenyum memperhatikan Yuna yang makan dengan lahap.

"Tidak ada yang bisa menandingi masakan emak" puji Yuna, sambil terus mengunyah ikan pindang segar yang sudah masuk dalam mulutnya.

"Ehmmm nak" emak tampak ragu

"Kenapa mak?" Disuapan terakhir Yuna menyelesaikan sarapannya dengan menghirup teh manis buatan emak

"Bukannya emak mau ikut campur..." emak berucap perlahan.

Yuna mengernyitkan dahinya, bingung akan arah pembicaraan emak.

"Apakah tidak sebaiknya, diterima saja lamaran Pak Rojak nak????"