‘Sya, inyong dilamar. Gimana nih? Cepat balas!’
Belum ada tanda balasan dari Eisya. Pesanku masih centang abu-abu. Barangkali murid-muridnya sedang mengerubuti dia. Namun, sungguh aku tidak sabar menunggu jawaban dari Eisya.
Selagi menunggu, kuedarkan pandangan ke area salah satu taman kota Purwokerto yang dulunya terminal. Di sini selain tersedia kursi-kursi taman terdapat pula kafe-kafe kecil yang menyediakan aneka makanan. Permainan untuk anak kecil berupa perahu kora-kora berkepala naga ikut menyemarakkan taman yang menurutku cukup terik di siang hari. Maklum, pohon-pohonnya masih remaja, belum sanggup memberi keteduhan area taman.
Bagi yang hobi selfi, tersedia berbagai background keren. Latar belakang paling nge-tren adalah dinding bergambar Menara Eifel. Banyak yang berswafoto, di bagian itu karena bisa membuat pengunjung terlihat seperti sedang di Paris sungguhan dalam versi gambar.
Tempat favoritku adalah pendopo joglo bertingkat yang sejuk dan selalu berhasil membuatku mengantuk. Sangat cocok buat leyeh-leyeh, duduk santai mengusir lelah setelah berputar dari SD ke SD. Namun, yang paling asyik adalah fasilitas wi-fi-nya. Lumayan menghemat kuota data. Apalagi saat ingin melihat video MXGP, atau lomba motocross lokal lainnya.
Ponsel yang kupegang bergetar. Aku langsung membuka isi pesan.
Eisya: Tenang, girl! Pikir pakai otak jangan perasaan. Memang sudah berapa lama kamu kenal dia? Baru sebulan, kan? Kenalan lewat online pula. Kamu harus belajar dari banyak kasus perkenalan online yang berakhir menikah. Mungkin banyak yang sukses. Tapi banyak yang tertipu mentah-mentah. Memangnya kamu sudah tahu dia itu seperti apa? Menurutku sih, selidiki dulu sampai keakar-akarnya.
Aku: Rasanya luar biasa ditembak langsung nikah! Tahu, kan, jam terbang pacaranku nyaris nol. Jadi terpikir pacaran setelah nikah saja, sepertinya asyik.
Eisya: Memang berapa umurmu? 24 aja belum genap. Ngebet kawin amat. Gini, deh. Ajak dia ketemuan dulu.
Aku: Lagi musim kawin muda, mbok? Ok, Miss Echa, thanks sarannya. Btw, nanti pulang kerja aku ke tempatmu, ya, buat pemantapan.
Eisya: Sip, aku tunggu.
Aku menghela napas lega. Eisya memang selalu bisa diandalkan bila berkaitan dengan masalah cowok dan hati. Menurutku, dia itu seorang penasihat percintaan yang baik sekaligus seorang teman yang asyik. Ibarat botol dengan tutupnya. Persahabatan kami mirip seperti itu. Saling melengkapi. Eisya yang feminin, manja, melakukan sesuatu menggunakan perasaan, perhatian serta memiliki rasa peduli yang tinggi. Sangat bertolak belakang denganku yang cuek, apa adanya, to the point, grasa-grusu alias tergesa-gesa dalam mengambil keputusan dan kadang tidak tahu malu.
Eisya sering meredam semua sifat burukku. Pun sebaliknya, aku sering membuat Eisya agar lebih santai dan cuek dalam menghadapi suatu keadaan.
Awal pertemuan kami pun cukup unik. Saat hari pertama ospek fakultas ekonomi, aku datang terlambat. Tiba-tiba seseorang berlari kecil mengejarku, terdengar dari derap tapak kakinya, dan memanggilku,
“Mas, tunggu!” Saat aku menyahuti sembari menoleh, seorang gadis tertangkap mengerjapkan mata, lalu tersenyum antara malu dan merasa bersalah. Tampaknya suara sopranku penyebabnya. Dia pun mengucapkan kata maaf.
Aku sendiri yang telah terbiasa dianggap laki-laki, sih, slow bae, dengan mengatakan, “Santai, aja.”
Akibat datang terlambat, kami mendapat hukuman. Tidak murni berdua sih, ada beberapa yang lain. Sejak saat itu, apalagi ternyata kami satu kelompok di ospek, dan satu kelas juga di ruang perkuliahan, kami menjadi semakin akrab dengan sendirinya.
Malahan di kelas kami mendapat julukan pasangan romantis sepanjang masa. Di mana ada Gevani, di situ pasti ada Eisya. Namun, jangan salah paham, kami asli hanya berteman. Tidak ada kisah percintaan yang salah. Meski Eisya kalau jalan denganku selalu menggelayut di lenganku.
Aku sih, tidak tahu dengan cewek tomboi yang lain. Tetapi aku, terus terang kalau melihat cowok ganteng mataku masih akan bersinar dengan sinyal simbol cinta. Meski tentu saja tidak mengubah gerak lagu perilaku menjadi kemayu, alias genit-genit manja. Spontan saja mungkin aku sudah ternganga.
Dan bisa kupastikan si cowok ganteng itu bakal lari ketakutan ketika melihat casing-ku. Dikira sosis mau makan sosis, kali. Atau yang terparah dia justru memanggil teman-temannya karena mengira aku mau mengajaknya berkelahi.
Sangat berkebalikan dengan Eisya yang justru akan dikejar banyak cowok. Sampai kadang, kalau Eisya merasa tidak suka dan terganggu dia akan menyuruhku untuk menghadapinya. Berasa jadi bodyguard Sang Tuan Putri, aku tuh. Tetapi tak apa, demi kedamaian telingaku dari rengekannya. Apapun akan kulakukan.
Itulah kisah tentang aku dan Eisya. Aku bersyukur pertemanan kami tetap awet hingga sekarang, meski pertengkaran acapkali mewarnai. Justru itu seperti bumbu penyedap yang makin membuat lezat suatu ikatan persahabatan.
Aku memandang berkeliling. Jantung masih terasa berdegup tidak karuan. Hanya tampak satu dua pengunjung di taman. Maklum bukan hari libur. Dan waktunya juga jam efektif orang bekerja.
Setelah menghirup napas dalam-dalam, aku segera membalas pesan Zaka. Tentu setelah merangkai untaian kata di kepala. Pokoknya harus bisa melakukan manuver yang cantik agar dia bersedia datang ke kotaku ini, alih-alih aku yang menghampirinya ke sana.
Oh ya, tentang Zaka ini. Akan kuceritakan secara singkat padat dan tidak menye-menye. Zaka, dia memperkenalkan diri sebagai Zakaria Permana. Orang Jakarta. Rambut model belah samping, yang mana terdapat poni pada bagian sisi kiri belahan itu. Hidungnya lancip. Matanya memiliki sinar di sudut terluar, seiring senyum yang menyabit rembulan. Itu gambaran dari fotonya. Aslinya belum pernah ketemu.
Lah, kok bisa?
Bisa dong. Zamannya sekarang kan, memang serba daring. Bahkan nikah saja bisa via video panggilan.
Lalu kenapa belum pernah bertemu?
Kalau soal ini, mungkin karena kami sama-sama enggan keluar dari zona nyaman. Maksudnya dia tidak mau datang ke Purwokerto dengan alasan tidak ada libur. Pun demikian denganku yang beralasan waktunya mepet kalau harus memburunya sampai Jakarta.
Kupikir ini yang menyebabkan Eisya khawatir bila aku langsung memutuskan untuk menerima pinangannya. Bagaimanapun aku memang buta tentang dia.
Sekilas tentang sifat Zaka, selama berinteraksi melalui telepon atau obrolan di Whatsapp. Menurutku asyik-asyik saja. Kami bisa menyambung dan tertawa-tawa kalau sudah berbicara melalui sambungan nirkabel. Cukup membuatku nyaman, dia tipe orang yang suka bicara.
Memang riwayat percakapan itu tidak bisa untuk menentukan sifat asli seseorang. Dan benarlah lagi kata Eisya agar aku ketemuan dulu dengannya. Jangan sampai kejadian seperti yang pernah viral tentang wanita jadi-jadian yang menikahi perempuan.
Demikian pemirsa, identitas pria yang katanya ingin langsung melamarku itu. Cowok kenalan lewat dunia maya. Iseng ikut-ikutan Eisya mencari pacar di media sosial. Siapa sangka dia tiba-tiba mengajak menikah.
Kalau kabar ini langsung kuberitakan pada orangtua, bagaimana reaksi mereka. Menangis bahagiakah? Atau justru khawatir seperti Eisya.