Apa arti bahagia bagimu?
Jawabannya adalah, aku tidak tahu. Namun sebelum ini aku pernah bertanya pada mereka tentang apa arti dari bahagia menurut mereka, dan mereka bilang bahagia itu adalah perasaan membuncah yang membuatmu melayang, bahkan hingga kamu sulit untuk menjabarkan perasaanmu sendiri. Iya, itu definisi bahagia menurut mereka.
"Hah! Bahkan setiap hari saya selalu bertanya, kenapa tuhan mengirimkan kamu pada hidup saya? Kamu tahu? Kamu begitu menyusahkan!"
Sudah dengar bukan? Sudah kubilang juga, aku tidak tahu apa arti bahagia sesungguhnya.
Jika diluaran sana kalian adalah sosok yang sangat dinanti, maka disini aku adalah makhluk yang paling dienggani.
"Kenapa kamu harus terlahir dari jalang itu? Ha?!" Tangan kekar itu mencengkram erat rahangku, hingga aku merasakan kesakitan yang luar biasa. Aku terdiam, bahkan enggan menatap mata yang sayangnya mirip dengan warna mataku.
"Kamu adalah anak haram yang membuat hidupku menderita!"
Jika diluar sana kehadiran kalian adalah hal yang sangat diidamkan maka aku adalah sosok yang paling tidak diinginkan.
"Kamu terlalu menjijikan! Anak haram!" Ucapnya tanpa perasaan.
Pria yang kini usianya masih diawal tiga puluh tahunan itu kini menatapku nyalang, jelas kebencian itu sangat kentara dari matanya. Aku menatap wajah tampannya, yang sayangnya begitu menurun padaku, hidung mancung, kulit putih, bulu mata yang lentik dan bola mata yang indah, semua menurun padaku. Mereka bilang aku adalah fotocopy dari pria ini.
"Maaf Ayah, aku salah" dengan tubuh bergetar aku memohon pengampunan, rasanya akan sangat menyakitkan jika aku harus kembali menerima cambukan darinya, itu terlalu perih jika harus kembali menimpa luka yang sebelumnya yang bahkan belum mengering.
"Kamu memang salah! Kehadiranmu memang salah! Sangat salah! Lihat bukan? Aku kehilangan banyak uang hanya karena tiba-tiba kamu muncul dari sana!" Laki-laki itu menunjuk arah pintu yang masih terbuka lebar. Aku mengangguk, mengakui kesalahan fatalku, harusnya aku tidak menampakkan diriku dan mengakui jika aku adalah putrinya.
"Sekali murahan, tetap saja murahan!"
Sakit, seharusnya kata itu tidak datang dari mulut seorang yang seharusnya menjadi pelindungku, menjadi pahlawanku.
"Ayah, aku salah" aku berusaha menangkupkan kedua tanganku di depan dada, sekali lagi memohon belas kasih pengampuannya, aku tahu ini tidak akan mudah. Namun aku tidak boleh menyerah, ini masih terlalu awal.
Selanjutnya aku melihat wajah pria itu tersenyum menyeringai, ini terlihat menakutkan bagiku.
"Ibumu telah menghancurkan masa depanku, lalu kenapa aku juga tidak menghancurkan masa depanmu juga?" Pria itu terlihat santai, meneliti tubuhku dengan seksama.
Aku meremas kuat rok sekolah berwarna abu dengan panjang selutut yang hari ini aku gunakan, perasaanku menjadi was-was, hatiku cemas, tubuhku bergetar, aku harap pria ini masih bisa bertahan untuk tetap waras.
"Salah seorang clientku menyukai gadis muda, aku selalu melihatnya berganti pasangan, dan kebetulan aku ingin bekerja sama dengannya, kenapa aku tidak menggunakanmu saja? Bukankah seharusnya kamu memiliki sedikit saja manfaat untukku yang sudah susah payah membesarkanmu seorang diri?" Ekspresi wajahnya berubah menjadi tidak terbaca.
"A ayah, aku mohon jangan lakukan it …. Akh!" Ucapanku terpotong kala kurasakan sebuah benda memecut tubuhku, rasanya terlalu perih, sepertinya luka baru itu menindih luka lama yang bahkan masih belum sembuh.
"Siapa yang menyuruhmu untuk bicara sialan?!" Matanya menatap nyalang padaku, aku kian merasakan ketakutan.
Ctas!
"Ayah, aku mohon hentikan"
Ctas!
"Ayah … tolong"
Ctas!
Rintihan ini sungguh memilukan, seluruh tubuhku rasanya sudah terlepas dari tempatnya, bahkan rasanya jika bisa aku lebih memilih kematian dibanding harus terus menerima kesakitan ini.
"A ayah …" bahkan air mataku sudah tak mampu lagi menetes.
"Tutup mulutmu, dan jangan pernah memanggilku dengan sebutan menjijikkan itu lagi, aku bukan Ayahmu! Aku menolakmu! Kamu hanya kesialan dalam hidupku!" Teriaknya lantang, jelas saja semua kata-katanya bagai belati yang siap menusuk jantungku.
Duk!
Pria yang kupanggil Ayah itu sempat menendangku satu kali, lalu pergi meninggalkan tubuh lemahku begitu saja, dari atas lantai yang dingin ini, aku menatap kepergiannya dengan nanar. Darah segar mengalir dari tubuhku, menodai atasan kemeja putih yang aku gunakan. Sudah lihat bukan? Aku tidak pernah tahu apa arti bahagia yang pernah mereka tanyakan padaku. Bagiku, bahagia itu artinya adalah mustahil.
Bukan salahku, jika aku terlahir dari benihnya, bukan inginku juga jika aku hadir tanpa mereka mau, aku hanyalah seorang korban disini, korban dari keegoisan mereka, orang-orang yang menganggap dirinya sebagai orang dewasa, namun justru sikap mereka begitu kekanakan, mereka tidak bisa bijaksana menerima takdir dan lebih memilih meluapkan kekesalannya dengan cara menyakitiku.
Aku ini hanya korban, aku bahkan tidak ingin terlahir dari perempuan hina seperti Ibuku, jika bisa memilih maka pilihanku tidak akan jatuh pada kedua orang tuaku sekarang. Sungguh. Melewati hari berat seperti ini, membuatku bertanya-tanya setiap harinya.
Tuhan … sungguhkah dia ada? Jika iya, lantas kenapa Ia biarkan aku hidup menderita hingga sedemikian rupa.
Mereka bilang, Tuhan itu maha adil, lantas kenapa di seumur hidupku, tidak sekalipun aku mendapatkannya? Aku lelah, sangat. Namun, tidak ada yang bisa aku lakukan selain memeluk tubuhku sendiri untuk menguatkan hati.
Aku pernah berharap, jika esok mentari terbit, mataku akan terbuka lebar dengan harapan indah yang baru. Aku harap, besok ketika aku terbangun, maka aku tengah berada dalam sebuah kenyataan yang aku impikan, yaitu berada dalam keluarga harmonis yang sangat menyayangiku.
Jika Tuhan itu ada seperti yang mereka katakan, maka bolehkan aku memintanya untuk demikian?