Dazey Dreamy

Dazey Dreamy

Tara Lee

0

DARI LUAR, rumah vintage di ujung jalan itu tidak terlihat aneh, sama seperti rumah-rumah yang lain, juga sama tenangnya. Perbedaannya mungkin baru bisa dirasakan ketika membuka pintu rumah tersebut. Di dalam rumah nyaris tidak ada tanda-tanda kehidupan kecuali getar ponsel di meja kayu, dan perapian yang meretih.

Yup, ponsel tersebut sudah bergetar sejak beberapa menit yang lalu. Benda tersebut terus bergetar seperti kesurupan meski si empunya barang tidak memedulikannya, atau lebih tepatnya, tidak sadar dengan interupsi yang tak diundang. Sebenarnya, Sam lah yang sedang dalam mode kesurupan bukan ponselnya—kesurupan mengetik di laptop—tapi, mungkin kesurupan pun bukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan situasi Sam saat ini.

Nah.

Kalau ada yang bertanya-tanya, apa yang menyebabkan Sam dalam mode seperti ini, jawabannya sederhana. Wanita itu sedang sibuk mengerjakan buku barunya—manuskrip untuk buku baru, lebih tepatnya.

Apakah Sam sudah punya buku lama?

Sayangnya belum.

Bahkan baru kemarin siang Sam mendapatkan surel penolakan dari Reverie Remedy—salah satu penerbit impiannya.

Sakit?

Jelas, tapi untuk apa tenggelam dalam kesedihan dan kekecewaan karena ditolak penerbit? Lebih baik menyelesaikan manuskrip baru. Toh penerbit tidak hanya satu—

Apa sebaiknya dia mencari agen literasi, ya? Jadi dirinya tidak perlu repot-repot menawarkan manuskrip ke penerbit. Hm.…

Jemari Sam berhenti mengetik, lalu ia mengetuk-ngetuk bibir bawahnya.

Mungkinkah Anne bersedia untuk menjadi agennya?

Dengan cepat Sam mengambil bolpoin dan sticky-notes, menulis memo untuk menelepon Anne, dan bertanya mengenai kemungkinan untuk menjadi agen literasi.

Begitu selesai menulis, dan menempelkannya di pinggir layar laptop, perhatian Sam kembali pada tugas yang sempat terhenti sejenak. Saat Sam sedang menulis, jangan harap ada yang bisa mendapatkan perhatiannya—kecuali interupsi tersebut datang dari otaknya sendiri. Tidak juga saat ponselnya tidak henti-hentinya bergetar, atau bahkan, si setan yang tengah membersut. God forbid, tapi besar kemungkinan jika rumahnya kebakaran pun, Sam tidak akan menyadarinya.

Dan semoga, siapapun yang sedang berusaha menghubungi Sam tidak ikut kehilangan kewarasannya.

“SAM!”

Oh no….

May, adik ipar Sam menerobos masuk rumah seperti tentara yang siap untuk maju ke medan perang. Dagu terangkat tinggi. Perut hamilnya menonjol ke depan. Kedua mata memancarkan kejengkelan, bahkan mungkin, asap keluar dari lubang hidung dan telinga si adik ipar.

Si setan menyeringai, seperti mendapat angin segar ketika menyadari ada kemungkinan bagi Sam untuk menderita.

“Samantha West, are you still alive?!” seru May.

“Hei, May,” jawab Sam, namun perhatiannya masih berada di layar laptop di pangkuan. Benar-benar tidak menyadari bahaya yang mengancam.

Hening.

Hanya suara ketikan dari keyboard, dan retih perapian yang terdengar di ruangan tersebut. Sam mengangkat satu alis, keningnya sontak berkerut dalam ketika ia mengangkat wajah mengalihkan perhatian dari layar laptop.

May berdiri di depan sofa dengan kedua tangan nangkring di masing-masing pinggulnya. Kedua matanya menatap Sam tajam dan mencela. Sebenarnya Sam ingin tertawa melihat rupa adik iparnya, tapi untuk beberapa alasan, Sam tahu jika May tidak terima jika ia tertawa.

“Yes?” tanya Sam

May diam.

“Kau marah?”

May masih diam.

“All right,” Sam menyimpan dokumennya, lalu menutup laptop. “Just spit it out.”

May menggelengkan kepala. “Aku tidak pernah mengerti dirimu, Sam.”

“And why is that?” satu alis Sam terangkat tinggi mendengar ucapan adik iparnya.

“Kau benar-benar tidak ingat hari ini hari apa, kan?” tanya May.

Satu alis Sam kembali terangkat, namun kali ini ia berusaha mengingat sesuatu. Sayangnya tidak ada ingatan yang bersedia mengunjungi otaknya.

“Hari?” tanya Sam akhirnya.

“Fitting baju.”

Ah!

Ah!

Sam menepuk dahinya keras-keras sampai nyaris terjengkang.

“OH MY GOD! I’m sorry!”

Sam meletakkan laptopnya ke samping lalu bangkit, mencoba meninggalkan sofa ketika kakinya keserimpet afgan dan terjerembab ke karpet.

“Ouch!”

Sekali lagi, May menggelengkan kepala menyaksikan kelakuan Sam.

Sementara itu, Sam bergedebukan menyiapkan dirinya sendiri agar paling tidak terlihat rapi dan enak dipandang.

Satu jam kemudian, Sam menatap sebuah rolling garment rack tanpa perasaan. Di sana tergantung masing-masing gaun yang sudah selesai dibenahi sesuai ukuran pemiliknya. Hanya gaun milik Sam dan May yang berbeda, baik secara model maupun pilihan warna. Memang, secara teknis, mereka berdua bukan bridesmaid ataupun maid of honor. Mungkin lebih tepatnya matron of honor, karena baik Sam maupun May sama-sama lebih tua, May bahkan sudah menikah. Hanya saja, kalau kau satu-satunya kakak perempuan si pengantin pria, dan secara sukarela membayar semua gaun-gaun tersebut, bukankah masuk akal kalau mereka bergabung dengan bridesmaid dan maid of honor?

Yep. Bukan Sam namanya kalau tidak nyentrik dengan segala urusannya. Maid of honor dan bridesmaid jelas tidak keberatan. Hanya orang bodoh yang menolak dibelikan gaun baru, kan?

“Kau memang cerdas memilih model baju,” komentar May ketika tiba giliran Sam menjadi maneken.

Cerdas? Kalau yang dimaksud May adalah kecerdasan Sam menyembunyikan perut buncitnya—nope, the happy tummy—tanpa pusing dengan korset.

Si setan terkikik.

Gaun yang disebut cerdas tersebut sebenarnya justru hanya sebuah maxi dress super lebar tanpa jahitan pinggang tanpa model sama sekali. Tapi di situ lah letak kecerdasannya karena gaun tersebut hanya diikat untaian mutiara sebagai ikat pinggang.

“Kau tidak perlu repot menyembunyikan bantal di perutmu,” imbuh May sambil menepuk perut hamilnya sendiri.

Benar, kan?

Kini si setan tergelak hingga terbungkuk-bungkuk.

Sam hanya mengangkat jari tengahnya sebagai jawaban.

May terbahak.

Sam merengut. Ia benar-benar harus serius dalam berkomitmen lebih rutin berolahraga. Bukan karena mengejar standar kecantikan, tapi lebih untuk kebugaran dirinya sendiri. Plus, tubuhnya pun terasa berat. Huft.

Pekerjaan menuntut Sam untuk duduk diam berjam-jam. Kalau ada bagian tubuhnya yang berolahraga ketika bekerja, mereka tidak lain hanyalah jemari—atau mulut saat Sam mengunyah camilan. Ha!

She sounded like a sloth.

“Setelah ini jadwalnya apa?” tanya Sam.

Lega ketika si petugas melepas untaian mutiara dari pinggangnya, sontak rok sifon jatuh di sekeliling tubuh Sam seperti voile. Tidak cukup sebagai maneken, kini ia pun menjadi gantungan voile. Menyamakan dirinya memakai gorden transparan? Yeah, why not.

“Besok malam rehearsal dinner,” jawab May.

Groan.

May terkekeh melihat reaksi Sam. “Kau tidak bisa skip. Lagipula, yang menikah itu adikmu, mana ada kakaknya malah ogah-ogahan. Beruntunglah kita bukan bagian dari wedding party.”

Sam mengangguk setuju sambil melirik maid of honor dan bridesmaids yang sibuk di ujung ruang ganti. Benar kata May, dirinya lebih suka jika kartunya yang bekerja dibandingkan jika otaknya ikut pusing dengan segala urusan upacara. Some people just couldn't handle that much, and she was some people.

“Kau benar soal itu,” tunjuk Sam. “Masalahnya, pekerjaanku tidak mengenal jam kantor dan libur. Kau, sih, enak, suka dandan cantik. Aku malas.”

“Memang sedang sibuk, ya?” tanya May, lagi.

“Lumayan.”

May mengangguk-angguk, seolah ia mengerti arti lumayan bagi Sam.

Sam sendiri tidak pernah berharap orang lain—terutama keluarga—mengerti dengan profesi pilihannya. Sepuluh tahun ia menggeluti dunia tulis-menulis, tidak ada seorangpun dari anggota keluarganya menanyakan apa yang sebenarnya ia kerjakan. Apalagi membaca hasil karyanya.

Pfft … that’s more like a dream in broad daylight.

She lived though.

Terkadang, jika ditanya, bagaimana dengan dukungan keluarga? Apa mereka mendukung? Sam selalu bingung bagaimana menjawabnya. Kalau dukungan yang dimaksud adalah membiarkan Sam melakukan apa yang ia mau, maka jawabannya tentu keluarga mendukungnya. Tapi jika membaca hasil karyanya, berkomentar, atau semacamnya, maka jawabnya tidak. Sam paham kalau hampir semua keluarganya tidak mengerti kenapa ia memilih menjadi penulis. Dirinya punya semua yang hal yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan pekerjaan tetap dengan jabatan yang membanggakan di hotel-hotel ternama.

Yes, itulah latar belakang pendidikan dan pengalaman Sam, hospitality business. Pekerjaannya sebagai ghost writer? Not so much as a glittering job. Tapi bagi Sam, apapun yang membuatnya senang dan menghasilkan uang, terutama yang berhubungan dengan merangkai kata. Ahaha.

“Kau tidak pernah berpikir untuk mengirimkan manuskrip ke penerbit?” tanya May.

Sam menoleh, kedua matanya membulat mendengar pertanyaan May.

“Kenapa? You don’t think I really have no clue about your job, do you?” May tersenyum penuh kemenangan ketika melihat raut muka Sam yang keheranan.

Sam tidak menjawab karena si asisten bridal stylish memerintahkannya untuk melepas gaun. Fitting pun usai. Yes!

“Selama ini kulihat kau lebih banyak menulis untuk Anne. Pernahkah kau coba untuk mengirimkan tulisanmu sendiri ke penerbit?” ulang May.

“Nah, tidak semudah itu, Sis. Yang suka tulisanku itu klien-klienku bukan penerbitnya bahkan terkadang klienku menulis bukan untuk diterbitkan. And I don’t regret it,” Sam mengangkat bahu. Andai May tahu, tidak jarang dirinya membuat surat cinta, surat permintaan maaf, bahkan pernah hampir enam bulan pekerjaannya hanya menulis obituary.

“Aneh, mereka mau tulisanmu untuk orang lain tapi tidak mau menerbitkan karyamu?”

“Karena penerbit lebih suka tipe tulisan yang diberikan klienku?” Bahkan Sam sendiri tidak yakin dengan jawabannya.

May mengangguk-angguk. “Kenapa kau tidak menulis seperti tulisan klienmu?”

“I don't want to?”

May melengos. “Kau dan idealismemu.”

“Sebenarnya, kemarin siang aku mendapat email balasan dari Reverie Remedy,” ujar Sam.

May menatap Sam penuh semangat dan perhatian ekstra.

“Mereka menolaknya,” imbuh Sam sebelum May berpikir yang bukan-bukan

“What?!” jerit May, sukses membuat seisi bridal shop menoleh ke arah mereka.

May mengangguk dan tersenyum canggung sementara Sam memutar kedua bola matanya. May hendak membuka mulutnya ketika petugas toko menghampiri mereka dengan tab di tangan.

“Silakan tanda tangan di sini,” kata si asisten bridal stylist sambil menyerahkan tab pada Sam. “Semua gaun akan dikirimkan besok pagi.”

“Very well. Terima kasih semuanya,” kata Sam pada rombongan.

Ketika proses pembayaran selesai, Sam dan May berpamitan pada para bridesmaid yang merupakan teman-teman pengantin wanita alias calon adik ipar keduanya.

Beginilah kalau dirimu berada di pihak pria, and you're the one funding the dresses.

Sam langsung mengerang penuh drama begitu mereka berada di mobil. Bukan karena kartu kreditnya yang menjerit, tapi dengan segala tetek bengek pesta pernikahan ini. Sementara May hanya terkikik melihat kelakuan si kakak ipar.

“Kau senang melihatku menderita?” tanya Sam dengan alis terangkat tinggi.

“Nah, not that wicked, me. Ayolah, tinggal beberapa hari setelah itu kau bebas.” May mengusap perut besarnya lalu menambahkan. “Saat Little Bean lahir, tenggatmu selesai, kan? Tugasmu babysit Oka.”

Pandangan Sam beralih dari wajah May ke perut besarnya. “Kurang berapa lama lagi?”

“7 atau 8 minggu lagi.”

Sam mengangguk, lalu memutar kunci mobil, menghidupkan mesin dan meninggalkan pelataran bridal shop.