Until I Found You

Until I Found You

ekaidr

0

“Minimal kalau ngundang, sekalian cariin pacar sewaan dong, Man. Masa iya datang ke nikahanmu sendirian. Nggak ada temen lho aku.”

Satria meletakkan undangan pernikahan berwarna biru muda itu ke meja. Ia sesap rokok yang sedari tadi ia letakkan di asbak. Pahit. Seperti perasaannya sekarang. 

“Nggak ada ya lo nggak ada temen! Bareng Maul aja lo dateng. Gue undang dia juga kok. Jadi, lo nggak ada alasan buat nggak dateng ke nikahan gue.”

Menurut Satria, Amanda masih sama seperti empat tahun yang lalu. Nada bicaranya masih galak dan nyablak. Kadang sesuka hati, kayak tidak ada filter di mulutnya. Tapi justru itulah yang membuat laki-laki itu menyukainya. 

Satria pernah membayangkan kalau mereka pacaran. Pasti menyenangkan. Maksudnya… pasti ribut sepanjang hari. 

Satria akan mendapat pukulan bertubi-tubi dari Amanda karena candaan konyolnya. Belum lagi kalau Satria bertingkah dan mengganggunya di kantor. Julukan mereka pasti hyperactive bf & angry gf. Gemas sekali kan?

Tapi sayangnya, bayangan itu harus segera Satria hapus. Walaupun seingatnya, bayangan itu pun sudah memudar sejak Amanda tidak lagi di Alexius. Tapi kini, ia harus benar-benar menghapus bayangan itu. 

Amanda akan menikah.

Tapi bukan dengan dirinya. Satria tidak pernah pantas untuk Amanda. Dia terlalu pengecut untuk sekadar bilang suka di hari terakhir Amanda dulu. 

“Lah, kamu aja nulisnya ‘Maulana dan Pasangan’, ya dia bakal datang bareng pacarnya dong.” Satria menunjuk nama di undangan Maulana. “Harusnya ini ditulisnya ‘Maulana dan Satria Ganteng’ baru deh aku mau dateng bareng dia.”

“Orang gila!” ujar Amanda tertawa akibat candaan Satria. 

Satria sudah lama tidak mendengar tawa lepas Amanda. Sudah empat tahun. Tawa itu masih menular. Dan tiba-tiba saja ia dilanda rasa kangen. 

“Nggak usah ditulis juga semua orang udah tahu. Kalian kan best couple di kantor,” ucap Amanda setelah ia berhasil mengendalikan tawanya. “Siniin undangan lo. Gue ambil aja. Lo satu undangan sama Maul. Siniin cepet!”

Dengan sigap sebelum Amanda mengambil undangannya, Satria langsung menarik undangannya. Hampir saja tangan perempuan itu menyentuh undangannya. 

Ya kali Satria merelakan bukti patah hatinya. 

“Nggak-nggak. Aku dateng sendiri aja. Maul juga pasti sama pacarnya. Kalau belum putus sih.”

“Maulana beneran punya pacar? Perasaan sebelum gue resign tampilannya kayak jomblo abadi gitu.”

Satria terkekeh mendengar kekagetan Amanda. Mode bergosipnya menyala sekali. “Ya kali empat tahun masih jomblo, Man. Udah punya pacar dia.”

Banyak perubahan sejak Amanda meninggalkan Alexius empat tahun lalu. Klien Alexius yang dulunya itu-itu saja, kini sudah lebih banyak yang skalanya nggak main-main. Mas Rajendra yang dulu ragu mau nikah, kini sudah menikah dan punya anak. Maulana yang jomblo dari lahir juga kini sudah punya pacar.

Semua orang berhasil naik tangga, kecuali Satria yang masih terjebak di tempat yang sama. Jabatannya naik, sih. Tapi hidupnya tidak banyak berubah. 

Ia masih pengecut untuk kehidupan yang kejam ini. 

Amanda tak memberi tanggapan serius soal Maulana yang sudah punya pacar. Matanya kini menatap Satria dengan agak serius. “Kalau lo sendiri gimana? Empat tahun gue tinggal, lo udah punya pacar belum?”

Satria diam. Dalam banyak pertemuan dengan teman lama, Satria sering mendengar pertanyaan ini. Biasanya Satria ogah menjawab. Baginya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi yang tidak perlu untuk ditanggapi.

Tapi Satria tidak pernah menyangka pertanyaan itu bisa dilempar oleh perempuan yang pernah ia sukai diam-diam. Rasanya aneh, kayak ada pedang yang tiba-tiba menusuk jantungnya. Sakit.

Tapi, Satria tidak menyangka kalau sekarang pertanyaan itu dilontarkan oleh perempuan yang pernah ia sukai. 

Aneh rasanya saat mendengar pertanyaan itu dari Amanda. Rasanya aneh, kayak ditusuk pakai pedang. Walaupun, Satria tidak tahu persis rasanya, tapi yang pasti rasanya sakit. 

Hm… bagaimana bisa punya pacar kalau Satria belum bisa melupakan Amanda?

“Hampir pernah. Tapi nggak jadi. Orangnya nggak seasyik kamu soalnya.” Bah! “Maksudnya, aku kan pengen punya pacar yang asyik kayak kamu. Tapi belum nemu aja.”

Dan lagi-lagi Satria mengelak seperti pengecut. 

Satria tidak berani melihat Amanda, ia hanya meliriknya. Dari dulu Satria tidak pernah berniat menyembunyikan perasaannya. Semua ia tunjukkan dengan tingkah laku dan ucapannya saat bersama Amanda. Kesalahannya memang satu: ia tidak pernah bilang secara langsung.

Amanda kemudian berdecak. “Bilang aja, lo maunya yang jadi pacar lo itu gue kan?”

Pukulan telak. Satria jelas kalah dengan ucapan Amanda ini. 

Satria cuma bisa diam melihat Amanda yang menatapnya tajam. Mulutnya kadang ingin membuka untuk mengiyakan ucapan Amanda. Tapi logikanya, lagi-lagi logika busuk itu, memilih untuk mengelaknya. 

Menutup mulut adalah pilihan yang tepat. Ia kemudian bersandar di kursi sambil menyesap rokoknya. “Kenapa lo mikir gitu?” 

“Lo pernah suka kan sama gue? Tingkah lo, ucapan lo, sampai candaan lo yang nggak jelas itu, lo tunjukin ke gue karena lo suka sama gue” Damn! Satria cuma bisa diam menunggu Amanda melanjutkan rentetan faktanya. “Tapi karena lo takut hubungan kita bakal berubah, lo akhirnya nggak pernah bilang kan? Ngaku deh. Lo nggak mau pacaran karena gue terlalu sempurna kan. Sampai lo nggak bisa nemuin cewek kayak gue?”

Benar. Semua yang dikatakan benar. Satria tidak punya pembelaan. Maka lebih baik ia diam saja. 

“Kalau lo pengin tahu kapan gue sadar. Adalah saat lo larang gue ketemu sama cowok dari Tinder. Nada lo cuma bercanda, Sat. Tapi gue bingung parah saat itu. Gue bingung lo lagi ngelarang gue sebagai temen atau gimana. Nada lo tuh bikin gue takut, posesif banget, tahu nggak? Bikin baper anak orang lo tuh!”

Satria ingat semua itu. Ia pun tersenyum samar. Mendengar Amanda yang frontal dan agak ngamuk seperti ini membuat Satria seperti kembali bertemu dengan Amanda yang lama. Akhirnya, ia memilih menggunakan gaya bahasa santainya. Sumpah, sebelum ini Satria rasanya canggung sekali, sampai tidak berani menggunakan gaya bahasa biasanya. 

“Gueemang nggak mau lo ketemu sama dia. Gue takut lo suka sama dia. Lagian mukanya mesum juga. Selain takut lo suka sama dia, gue juga takut lo diapa-apain sama dia.”

Amanda mengangguk setuju saat meminum es tehnya. “Lo nggak salah sih. Emang dia agak mesum. Ngomongin hotel mulu. Jijik gue kalau inget.”

“Tapi lo tahu nggak kapan masa di mana gue baper-sebaper-bapernya? Saat lo bilang, ‘ngapain lo cari cowok di Tinder, kalau ada gue yang siap jadi pacar lo’. Lo bilang gitu ke gue. Nada lo kayak bercanda, Sat. Tapi sialnya mata lo tuh nggak pernah bisa bohong.”

Semua kejadian itu terjadi sebulan setelah Amanda putus dari pacarnya. Satria tahu, Amanda tidak pernah betah menyandang status jomblo. Katanya kesepian parah. 

Saat itulah, Satria mengambil peran sementara dan menemani Amanda ke mana-mana layaknya sebagai pacar. Seharusnya ia bisa mengambil kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya. Tapi malah ia menyia-nyiakan kesempatan itu.

Bukannya mengaku, tapi malah mengucapkan candaan konyol basi itu. 

Saat itu, Satria takut pengakuannya akan merusak hubungan baiknya dengan Amanda. Dan pada akhirnya, perasaan itu tersimpan rapi sampai sekarang. 

“Jadi gimana, Sat?” tanya Amanda

“Bener. Apa yang lo bilang semuanya bener,” jawab Satria tanpa menatap Amanda. “Gue suka sama lo. Tapi gue takut ngerusak hubungan kita aja. Sampai akhirnya lo keluar, gue tetep nggak ambil kesempatan buat bilang suka ke lo, Man.”

Rasanya lega sekali. Akhirnya pernyataan itu keluar setelah logika dan hatinya berkonflik cukup lama. Hari ini, logikanya bilang mengaku percuma, karena nggak akan mengubah apapun. Tapi hatinya bilang, setidaknya sekali, sebelum Amanda resmi jadi istri orang, Satria harus mengaku walaupun sia-sia. Biar semuanya nggak benar-benar percuma. 

Satria mengembuskan napasnya panjang. Rasanya lega sekali mengungkapkannya.

“Gue udah jujur nih. Lo gimana?”

“Gue pernah suka sama lo juga. Gue baper, gue bingung. Tapi karena lo nggak pernah bilang bahkan sampai gue resign, akhirnya gue hapus pikiran gue. Biar gue nggak baper dan bingung sendirian lagi.”