Dating Alpha Female

Dating Alpha Female

ekaidr

0

“Aku nggak punya temen buat datang ke nikahan kamu, Man. Masa aku datang sendirian? Nggak niat cariin pacar sewaan gitu?”

Satria meletakkan undangan pernikahan berwarna biru muda itu ke meja. Setelahnya ia kembali menyesap rokok yang tadi ia letakkan di asbak. Pahit rasanya. Seperti perasaannya sekarang.

“Nggak usah sok-sokan ngeluh nggak punya teman. Biasanya juga sendirian, Sat,” cibir Amanda. “Bareng Maul tuh. Gue undang dia juga. Lo nggak ada alasan buat nggak datang ke nikahan gue.”

Menurut Satria, Amanda masih sama. Nada bicaranya masih galak dan nyablak, suka berbicara sesuka hatinya. Terkesan tak ada filter di mulutnya. Sama seperti Satria. Dan itulah yang membuat laki-laki itu menyukai Amanda.

Satria pernah membayangkan bagaimana kalau mereka pacaran. Pasti mereka akan menjadi pasangan yang menyenangkan: beradu mulut sepanjang hari.

Satria akan mendapat pukulan bertubi-tubi dari perempuan itu karena memberikan candaan receh tak bermutu. Ia juga akan dimarahi karena selalu mengganggunya sepanjang hari. Julukan masa kininya adalah hyper bf & angry gf. Satria jadi gemas membayangkannya.

Dan sekarang, Satria harus segera menghapus bayangan itu dari hidupnya. Amanda akan menikah. Tapi bukan dengan dirinya yang tak pernah berani mengungkapkan perasaannya.

“Kamu aja nulis ‘Maulana dan pasangan’. Artinya Maul bakal datang sama pacarnya dong. Kalau kamu niat nyuruh aku datang sama Maul, harusnya ditulis ‘Maulana dan Satria Ganteng’.”

Amanda tertawa lepas. Untung saja kafe tempat mereka bertemu. Jadi, mereka tidak terkejut dengan gelak tawa Amanda. Diam-diam Satria tersenyum melihatnya. Sudah lama ia tak mendengar tawa Amanda. Ternyata, ada sedikit rasa rindu.

“Lo sama Maul itu udah kayak pasangan. Kemana-mana aja bareng. Di acara terakhir gue di kantor, kalian juga dapat julukan best couple dari kita,” ucap Amanda setelah berhasil mengendalikan gelak tawanya. “Siniin undangan lo, gue ambil aja. Lo udah tercantum di undangannya Maul. Sini sini.”

Satria langsung menarik undangannya ketika tangan Amanda hampir menyentuhnya. “Kagak! Aku datang sendirian aja. Ogah banget bareng Maul. Dia pasti ngajak pacarnya kalau kamu nulis gini.”

“Emang Maul punya pacar? Perasaan dulu sebelum gue resign belum ada pacar deh. Malah kayaknya dia ditaksir bocah.”

“Kan kamu resign empat tahun yang lalu, Man. Ya kali empat tahun masih aja nge-jomlo?”

Ya, Amanda sudah resign empat tahun yang lalu. Banyak yang berubah selama Amanda meninggalkan Alexius.

Menurut Satria, semua orang di Alexius mengalami perkembangan yang signifikan, baik dari segi skill maupun kehidupan. Semua orang menjadi leih baik sekarang. Kecuali dirinya.

Tidak ada yang berubah dari Satria. Skill-nya memang mengalami peningkatan. Tapi tidak dengan hidupnya. Satria masih sama. Ia masih seorang laki-laki yang tak punya keberanian dalam hidupnya. Ia pengecut.

“Kalau lo gimana? Empat tahun gue tinggal, lo udah punya pacar belum?” tanya Amanda. Dari nadanya, Satria bisa mendengar kalau perempuan itu sedang mencibirnya.

Satria terdiam. Ia sudah sering mendapat pertanyaan apakah dirinya sudah punya pacar. Biasanya Satria tidak menjawab karena malas. Menurut Satria, pertanyaan itu hanyalah obrolan basa-basi yang tak perlu ditanggapi. Tapi, ia tidak menyangka pertanyaan itu ia dapatkan dari sosok yang pernah ia sukai.

Rasanya aneh saat mendengar pertanyaan itu dari Amanda. Seperti ada sebuah pedang yang menancap hatinya sekarang. Sakit.

Ia ingin menerikai Amanda. Satria akan bilang kalau ia belum bisa melupakan perempuan itu, makanya ia belum punya pacar sampai sekarang. Tapi itu tidak akan terjadi.

Lagi. Satria terlalu takut untuk mengataannya. Jangankan teriak 'belum bisa melupakannya', bilang suka pada perempuan itu saja tidak pernah ia lakukan. Sudah ia bilang, Satria adalah seorang pengecut.

“Nggak ada yang se-asyik dan se-nyablak kamu. Makanya sampai sekarang belum punya pacar.” Bah, bilang apa Satria ini? “Maksudnya, aku pengin punya pacar se-asyik kamu, Man. Nggak menye-menye manja gitu. Tapi belum nemu.”

Lagi-lagi Satria mengelak.

Diam-diam Satria melirik Amanda. Dari dulu Satria tidak berniat menyembunyikan perasaannya. Hanya saja, ia juga tidak berani bilang kepada Amanda. Yang ia lakukan sejak dulu hanyalah menggoda Amanda sambil memberi kode kalau dirinya suka Amanda dengan nada bercanda.

Mana mungkin Amanda tahu kalau Satria hanya menunjukkannya dengan cara seperti itu. Pasti Amanda hanya menganggapnya candaan. Lagipula kenapa Satria tidak menyampaikannya secara langsung?

Bukannya urusan kode adalah urusan perempuan? Seharusnya mereka yang ahli, tapi kenapa Satria tampak yang lebih ahli menyembunyikan perasaannya dengan sebuah kode dibanding si perempuan?

Amanda mendengkus mendengar pertanyaan Satria. “Lo masih aja bilang kayak gitu. Dari dulu lo bilang, ‘lo asyik banget, Man. Pacaran yuk!’ tapi giliran gue iyain, malah lo bilang bercanda. Kualat kalau lo bilang kayak gitu ke cewek lain.”

“Itu bercanda doang kali, Man,” elak Satria. Lagi. “Aku nggak kayak gitu kok sama cewek lain. Sama kamu aja. Soalnya kamu kalau digoda cuma marah aja. Nggak baper.”

“Kalau gue baper gimana?” tanya Amanda sebelum meminum es tehnya. Tatapan dan nadanya sedingin es teh yang ia minum.

Keadaan di sekitar Satria mendadak dingin karena pertanyaan Amanda. Padahal mereka berada di rooftop. Seharusnya Satria merasakan panas yang luar biasa karena suhu Jakarta hari ini mencapai 33 derajat atau lebih.

Tapi masalahnya, kini Satria merasakan dingin yang luar biasa. Bulu kuduknya beridri. Terutama bagian leher dan bahu.

Amanda bilang apa tadi? Satria mendadak kosong.

Biar Satria coba ulangi pertanyaan Amanda.

Bagaimana kalau ternyata Amanda baper akibat candaan Satria?

Mungkin bagi orang lain, pertanyaan itu hanyalah pertanyaan biasa kepada laki-laki yang sering menggoda perempuan. Tapi di telinga Satria, pertanyaan Amanda terdengar sangat serius.

Sekarang giliran Satria yang bertanya kepada dirinya sendiri, bagaimana kalau ternyata Amanda baper dan mengira bahwa Satria benar-benar menyukainya?

Bagaimana kalau semua candaan Satria, yang sebenarnya adalah sebuah kode, dianggap serius oleh Amanda?

Dan bagaimana kalau ternyata Amanda juga menaruh rasa kepada Satria setelah dibuat baper olehnya?

Tapi rasanya tidak mungkin. Amanda mungkin saja memang terbawa perasaan dan menganggap Satria benar-benar menyukainya. Tapi, tidak mungkin Amanda juga menaruh rasa padanya.

Satria berdeham. Mengusir rasa terkejutnya. “Emang kamu baper?”

“Iya. Gue baper. Dan sempat PD kalau lo suka sama gue. Sampai mikir kalau candaan lo itu bukan cuma candaan. Tapi ungkapan hati lo.”

Damn.

Satria terdiam cukup lama. Benar dugaannya. Amanda benar-benar mengira kalau Satria menyukai perempuan itu.

Sebenarnya tidak apa-apa. Tidak masalah. Toh juga benar adanya. Hanya saja, Satria merasa bersalah karena membiarkan Amanda berspekulasi.

Bahkan sampai meniggalkan kantor pun, Amanda tetap tidak mendapat pernyataan yang jelas apakah Satria benar-benar menyukainya atau candaan semata.

Dasar pengecut! Satria tidak bisa berhenti mengumpati dirinya. Kalau saja Satria lebih berani mengungkapkan perasaannya, ia tidak akan membuat Amanda berspekulasi dan kebingungan.

“Maaf.” Satria menyerah. Mengumpati diri sendiri tidak bisa menebus dosanya. Yang bisa ia lakukan hanya meminta maaf.

“Kenapa minta maaf coba? Nggak usah. Udah lama juga. Udah hilang bapernya,” tolak Amanda. Satria tahu kalau Amanda sedang mencoba mengendalikan perasaannya. Nada bicaranya terdengar canggung.

Mendengar nada canggung Amanda, Satria memilih memasang mimik serius. “Kapan tepatnya kamu baper sama candaanku, Man?”

“Waktu lo nyuruh nggak usah ketemu cowok yang gue kenal lewat Tinder,” jawab Amanda.

Satria ingat itu. “Kata lo, pakai muka tengil yang ngeselin itu,” lanjut Amanda sebelum memutar bola matanya untuk mengejek ekspresi Satria kala itu, “mending gue ikut lo aja beli nasi goreng dekat kos-an. Aslinya gue nggak boleh baper sih, tapi gimana ya, Sat? Ini pertama kali ada cowok yang ngelarang gue ketemu sama cowok lain soalnya.”

Satria tersenyum tipis. Ia sedikit lega mendengar cara Amanda yang sudah santai. “Aku takut kamu diapa-apain sama cowok Tinder, Man. Soalnya, muka dia kayak orang mesum.”

“Agak mesum sih, Sat. Dia ngomongin hotel mulu. Jijik gue,” jawabnya dengan menunjukkan ekspresi jijik.

Setelahnya Amanda meminum es tehnya sebelum melanjutkan ceritanya. “Kalau lo ingat. Gue mastiin lo beneran ngelarang gue atau enggak. Terus lo jawab, ‘ngapain cari cowok di Tinder padahal ada gue yang siap jadi pacar lo.’ Gue tambah baper dong. Walaupun lo bilangnya pakai nada bercanda, tapi kalau sering, ya, bakal baper, Sat!”

Satria ingat semua itu. Saat itu Amanda baru saja putus dengan pacarnya. Tentu saja Amanda merasa kesepian. Ia bukan tipe perempuan yang betah menyandang status ‘jomlo’ terlalu lama.

Sebulan menyandang status jomlo, Amanda sudah merasa gerah. Ia bisa rewel seharian. Bilang kalau ia tidak suka sendirian dan butuh pacar untuk sekadar mengajak hangout, makan atau berkeluh-kesah. Dan saat itulah Satria yang mendengar semua keluh-kesahnya.

Saat itu, sebenarnya Satria selalu berusaha mendekat. Satria selalu memastikan dirinya ada saat Amanda membutuhkannya.

Singkatnya, Satria selalu ada di samping Amanda walaupun setelah jam kerja. Bahkan, mereka pernah menghabiskan waktu sampai tengah malam di warung tenda hanya untuk makan capcay kuah dan mendengarkan curhatan Amanda.

Tapi sayangnya, Satria hanya berusaha mendekat. Ia tak pernah mengungkapkan perasaannya. Padahal jelas-jelas ia punya kesempatan. Tapi apa daya, sepertinya rasa takut lebih besar dibanding rasa sukanya.

Satria takut kalau pengakuannya akan mempengaruhi hubungan baik mereka. Satria menduga kalau ia mengaku kepada Amanda, perempuan itu akan menjauh.

Padahal, kalau dipikir-pikir itu tidak akan terjadi. Kecuali, kalau Amanda juga menaruh rasa tapi tidak bisa menerima perasaan Satria. Maksudnya adalah saat Amanda punya pacar dan tidak mungkin menerima perasaannya.

Dan pada akhirnya, perasaan itu tersimpan rapi hingga detik ini. Ia tidak mampu mengungkapkannya. Jadi, lebih bai kia memendamnya saja.

“Tapi, Sat. Lo aslinya beneran suka sama gue nggak sih? Apa gue cuma baper aja sama semua candaan lo?”

Satria menatap lekat Amanda. “Suka,” lirih Satria. Kemudian ia mengalihkan pandangannya. Tidak berani menatap Amanda.

Debaran jantung Satria tak menentu saat mengucap kata ‘suka’. Kata itu muncul begitu saja setelah logika dan hatinya berkonflik cukup lama.

Logikanya bilang, seharusnya Satria tidak perlu mengakuinya karena pengakuannya sekarang menjadi hal yang percuma. Tapi hatinya bilang, ia harus mengakuinya. Setidaknya sekali sebelum semuanya benar-benar menjadi percuma.

Toh, kalau ia pendam selamanya, Satria tidak akan pernah merasa lega, Mungkin selama hidupnya nanti, ia akan dibayang-bayangi oleh rasa suka kepada Amanda dan fakta bahwa ia ditinggal menikah oleh seorang perempuan yang ia sukai tapi rasa itu tak terungkapkan.

Kata hatinya benar. Ia sedikit lega sekarang. Walaupun rasanya seperti ada sayatan di hatinya. Tapi tidak apa-apa. Yang penting ia lega sekarang.

Fakta bahwa perasaannya terlambat ia ungkapkan dan tidak akan terbalas oleh Amanda, bisa ia abaikan. Yang penting, untuk terakhir kalinya, ia bisa mengungkapkannya. Daripada tidak sama sekali?

Andai saja Satria memiliki pemikiran ini empat tahun yang lalu. Pasti mereka sudah hidup seperti bayangan Satria dulu. Hyper bf & angry gf.

Satria menyeruput kopi di depannya. “Kamu gimana? Cuma baper aja atau punya rasa juga?”

“Punya,” jawab Amanda pelan. "Gue juga sempet suka sama lo."