Dark Novel

Dark Novel

Nimatus

0

Aku tidak pernah menyangka ternyata sebuah novel bisa menjadi mimpi buruk. Seandainya waktu bisa diputar kembali akan kupastikan aku tidak akan pernah membaca novel itu. Tidak akan pernah! 

Novel itu adalah novel terkutuk dan tak pantas untuk dibaca oleh siapapun. Tidak seharusnya novel itu diterbitkan. Aku bersumpah novel itu adalah satu-satunya novel yang tak akan pernah kubaca lagi meski dibayar ratusan juta sekalipun. Hanya cukup sekali saja aku membacanya. Dan akan kuanggap itu adalah sebuah kebodohan yang tak akan kuulangi.


Beberapa hari yang lalu.


Dok! Dok! Dok!


Anak-anak seketika terdiam ketika aku mengetuk whiteboard menggunakan penggaris panjang. Suasana yang semula riuh langsung senyap, bahkan suara AC pun bisa kami dengar. Aku melangkah dan berdiri di depan meja panjang perpustakaan. Kuletakkan penggaris kayu di atas meja dan kutumpukan kedua tanganku pada tepinya. Kutatap satu per satu wajah murid kelas XII-IPA 1 yang kini merundukkan kepala tanpa bersuara.

“Ibu menyuruh kalian mencari novel untuk dibaca dan diresensi bukan untuk bermain-main!”

“Kalau ada yang masih bermain-main silakan keluar dan jangan kembali sampai pelajaran saya selesai!”

Sepertu kerbai yang dicocok hidungnya mereka langsung menurut. Tidak ada lagi yang berani berbicara. Anak-anak yang sudah mendapatkan novel yang mereka cari langsung membacanya dengan kikuk, tampak jelas dari cara mereka membuka lembar berikutnya dengan hati-hati. Beberapa yang lain masih sibuk mencari novel yang sesuai dengan selera mereka dan beberapa yang lain masih menimbang antara novel A dan B, melihat tebal halaman yang kutebak untuk memudahkannya dalam meresensi. Hal tersebut jelas dilakukan oleh anak-anak yang malas membaca, Arion contohnya.

“Arion!” Kuhampiri murid berambut acak-acakan yang masih berkutat di depan rak novel tersebut.

“Kamu ini sebenarnya cari novel apa? Ibu perhatikan dari tadi kamu hanya membuka novel untuk melihat halamannya saja. Kalau kamu mau cari novel yang tipis biar bacanya cepet mending kamu nggak usah baca aja. Atau nggak usah ngerjain tugas sekalian biar kamu nggak pusing-pusing ngeresensi novelnya.”

Arion menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lantas menampakkan cengirannya sepertia biasa. “Hehe ... iya-iya, Bu. Saya bakalan kerjain kok tugasnya, tapi ibu jangan galak-galak sama saya. Sebentar lagi saya lulus loh, Bu. Harusnya tuh disayang-sayang bukan digalakin,” ujarnya mencoba menggodaku.

“Arion!”

“Iya, Bu. Iya! Ini loh saya udah pilih novel. Sampulnya bagus, halamannya juga lumayan; nggak tebal-tebal banget.”

Setelah memastikan semua muridku mendapatkan novel untuk ia resensi, aku kembali ke meja depan. Membaca novel terjemahan yang baru saja kubeli pekan lalu. Namun, belum sempat kubaca karena kesibukan mengajar dan menjadi ibu rumah tangga. Berangkat pagi pulang sore kemudian mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk juga memasak untuk suami dan anak-anakku membuat aku hampir tak punya waktu untuk hobiku membaca dan menulis. Terkadang aku harus begadang demi menyelesaikan novel yang kubaca maupun yang tengah kutulis. Karena jika tidak kusempatkan maka kedua hobiku itu akan benar-benar tak mendapatkan tempat. Terlebih ketika aku harus membawa pulang tugas murid-muridku untuk kukoreksi.

Meskipun menjadi seorang guru dan ibu rumah tangga itu begitu melelahkan, tapi aku menyukainya. Ada perasaan bangga ketika aku mendengar anak-anakku ingin menjadi seperti diriku. Apalagi ketika mereka mengungkapkan kekagumannya terhadapku. Kekaguman mengenai kehebatanku dalam membagi waktu. Selain itu, orang-orang disekitarku juga sangat menyeganiku. Mereka pernah bilang guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang harus digugu dan ditiru. Untuk itu mereka selalu menghormati dan menghargaiku.

“Wah, itu novel karya alumni yang kamu ceritain kemarin ya, Mir?”

“Gimana? Gimana? Bagus nggak ceritanya?”

“Eh, bukannya nggak boleh resensi novel dari luar ya? Kan harus yang ada di perpus yang udah dipastiin aman buat dibaca sama anak sekolah.”

“Nah iya, biar nggak kecolongan kayak tahun kemarin yang ternyata novelnya ada plus plusnya.”

Kututup novel yang kubaca. Fokusku teralihkan tapi bukan pada kehebohan kecil yang diciptakan murid-murid perempuan di meja depanku, melainkan percakapan mereka. 

Aku berdiri dan kuletakkan novelku di atas meja. 

Aku penasaran apa benar ada alumni sekolah ini yang berhasil menjadi penulis? Siapa dia? Apa aku mengenalnya? Kenapa aku tidak tahu padahal alumni yang berbakat di dunia tulis menulis semasa sekolah dulu, sampai saat ini mereka masih berhubungan baik denganku. Kami bahkan membuat grup kepenulisan untuk saling berbagi ilmu. Apa dia bukan salah satu dari mereka yang berada di dalam grup?

Melihat aku yang berdiri mereka langsung kembali pada novel masing-masing, kecuali satu murid yang malah menampakkan deretan gigi putihnya padaku. 

“Ibu mau baca novel ini? Penulisnya alumni sini loh, Bu. Mungkin Ibu kenal sama dia.” 

Aku menerima novel yang ia sodorkan padaku. “Kamu mau meresensi novel ini?” tanyaku sambil membaca nama pena yang tertera pada sampul novel. Iris. Ternyata dia menggunakan nama bunga sebagai nama pena.

“Enggak kok, Bu. Saya cuman bawa itu buat dibaca pas istirahat. Minggu kemarin saya beli karena blurb-nya menarik, tapi nggak tahu kalau ternyata penulisnya itu dulu juga sekolah di sini.”

“Kamu sudah selesai bacanya?”

Anak itu mengangguk dengan penuh semangat. “Udah, Bu. Malah selesainya cuman satu hari. Soalnya emang senagih itu sih novelnya, Bu. Bikin penasaran terus sama kelanjutannya sampe saya nggak bisa berhenti buat baca. Pokoknya seru banget deh, Bu.””

“Dark Novel.” Novel kelam? Judul yang menarik. Tapi, apakah isinya akan semenarik judul dan sampulnya?

“Emm ... kalau begitu apa ibu boleh pinjam novelnya?” Aku sungguh penasaran dengan isi dan siapa penulis novel ini.

“Boleh, Bu. Malah rencananya tadi saya mau ngerekomendasiin ke ibu pas tahu ternyata penulisnya alum sini.”

“Tapi, saya bacanya lama lo. Soalnya saya bacanya harus nyari waktu senggang dulu.”

“Nggak papa kok, Bu. Asal jangan lupa aja buat ngembaliin. Soalnya udah banyak koleksi novel saya yang dipinjem temen tapi nggak balik. Hehe....”

“Iya, nanti Ibu kembaliin kalau sudah selesai.”

Kubawa buku itu kembali ke meja dan kubuka halaman terakhir novel tersebut. Aku ingin tahu siapa sebenarnya penulis novel ini? Apa benar dia seorang alumni? Dan kenapa dia tidak memberitahuku atau pihak sekolah bahwa ia telah sukses menjadi penulis yang novelnya bisa terbit juga dijual di toko buku? Jika kami tahu dia pasti akan diundang ke sekolah untuk melakukan seminar kepenulisan juga menceritakan perjalanan karirnya selama ini. Selain bisa mendongkrak popularitas sekolah hal itu juga bisa membuatnya lebih dikenal. Atau paling tidak dia bisa menyumbangkan karyanya ke perpustakaan agar seisi sekolah tahu bahwa ada alumni sehebat dia.

Deg. Mataku sontak melotot. Memastikan bahwa aku tidak salah lihat atau salah baca nama yang tertera pada biografi penulis. Ternyata penulis novel ini adalah ... anak itu.


MAHDA IMATA ANINDIA. Lahir dan tinggal di Jakarta sejak 1998. Gadis bernama pena Iris ini sangat menyukai warna hitam dan tidak menyukai keramaian. Dia merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Alumni SMA JELITA angkatan 2017. Bermimpi menjadi seorang penulis sejak duduk di bangku SD. Seorang hamba Tuhan yang mudah memaafkan kejahatan orang lain, namun tidak akan pernah melupakannya seumur hidup!