DARI ALAN KITA BELAJAR

DARI ALAN KITA BELAJAR

Mauulanawisnu

0

Seorang pengawal mencoba memasangkan sepatu kaca di salah satu kaki Cinderella.

“Pas, Pangeran,” ujar pengawal.

 “Tidak mungkin!” teriak ibu tiri, kedua kakak tirinya ikut mendengus kesal.

Kemudian datang ibu peri bersayap mengucapkan mantranya, “semriwing semriwing ... semriwing.” Cinderella kemudian berputar, baju lusuhnya dengan cepat berganti menjadi sebuah gaun yang indah. Ibu tiri dan kedua anaknya semakin murka melihat Cinderella. Namun, pangeran takjub dan menggenggam tangan Ciderella dengan lembut. Pangeran setengah membungkuk lalu mencium punggung tangan Cinderella dan berkata, “Kamu wanita yang selama ini aku cari, Cinderella.”

Cinderella nampak senang. Pangeran dan Cinderella kemudian berpelukan dan hidup bahagia. Semua orang di mini teater bertepuk tangan, tak kecuali gue. Saking bangga dan bahagianya bisa main teater bareng, gue langsung berlari menuju Anye yang berperan sebagai Cinderella. Terlalu bersemangat lari, kaki gue tersandung ribetnya kostum pohon yang gue kenakan. Suasana penonton yang riuh dengan tepuk tangan berubah menjadi tawa. Penonton beralih fokus menertawakan gue yang jatuh di tengah panggung. Para pemain menatap gue sinis, mata mereka seolah berkata ‘gue bunuh lo di belakang panggung’. Gawat! Dengan cepat, tirai teater ditutup panitia.

***

“Kita putus!” sebuah kalimat yang hampir membuat gue serangan jantung di usia muda. Bagaimana tidak? Cewek yang selalu menemani gue selama ini minta putus? Kenapa nggak minta ayam Geprek Bensu? Atau bubble yang lagi hits? Atau minta gue bikinin candi dalam satu malam? Apapun itu akan gue lakukan asal jangan putus.

“Putus? Apanya yang putus? Kalung kamu putus?” Menurut buku seribu trik jitu mendapatkan cewek yang gue baca, salah satu cara jitu jika pacar mengajak putus ¬dan kita nggak mau —tapi ingin terlihat elegan— adalah pura-pura bego. Atau pura-pura kesurupan kalau bisa. Asal jangan pura-pura jadi gembel, nanti dikita youtuber lagi.

“Kita.” Tegas Anye.

“Maksud kamu?”

“Kita Alan, hubungan aku sama kamu udah cukup sampai di sini.” Cewek berambut panjang lengkap dengan kostum Cinderella yang berdiri di depan gue ini meminta putus atas hubungan kami yang sudah dibangun dengan pondasi percaya, amanah dan kasih sayang abadi. Padahal kami baru saja selesai tampil di sebuah teater sekolah. Seusai tampil dia nemuin gue di belakang panggung. Gue kira dia bakal muji akting pertama gue kali ini, ternyata tidak seindah yang gue bayangkan.

“Tapi? Salah aku apa?”

“Banyak.”

“Ya dirinci dong. Aku naik motor nggak pake helm juga salah, nyalain lampu sein ke kanan padahal nggak belok juga salah. Jadi, salahnya aku sama kamu apa?”

“Pertama, Kamu udah hancurin teater hari ini. Kamu menghancurkan semuanya, perjuangan latihan keras aku selama ini berujung tawa penonton. Itu karena Kamu!”

“Tapi bukannya bagus? Berarti mereka terhibur.” Gue mencoba mengelak.

“Ini drama Cinderella, Alan. Bukan acara lawak!”

“Ya anggap saja Cinderella versi OVJ.”

“Benar kan? Kamu nggak pernah serius!”

Gue kembali terdiam dengan ucapan Anye. Bisa-bisanya gue malah hancurin salah satu acara paling penting di hidup Anye. Tapi semua itu karena spontanitas gue yang seneng banget bisa main teater bareng sama dia. Ya, meski gue hanya berperan jadi pohon sekalipun.

“Aku minta maaf soal itu. Aku janji nggak akan ulangin lagi. Jadi, revisi ya kata putusnya.”

“Kamu kira hubungan kita makalah biologi? Bisa direvisi? Nggak! Aku nggak bisa.”

“Kenapa Anye? Sebenernya salah aku sama Kamu itu apa? Ini hanya masalah kecil yang masih bisa aku perbaiki.”

“Tapi bukan ini saja masalahnya.”

“Apa lagi?”

“Kamu nggak terkenal-terkenal! Kedua, kamu nggak pernah jadi pemeran utama di teater sekolah. Dan ketiga, ya aku mau udahan,” ucapnya dengan yakin.

“Sayang? Kamu nggak sadar. Hari ini aku pertama kalinya pentas di teater sekolah kita loh, seperti apa yang kamu minta sejak dulu.” Gue berusaha merayu dengan menggengam kedua tangannya. Namun, dengan cepat Anye melepaskan genggaman gue.

“Ya, tapi nggak jadi pohon juga. Aku juga nggak paham kenapa di teater Cinderella ada pohon!” jawab Anye tegas, dia nampak kecewa sekali pada gue hari ini. Apa salahnya sih jadi pohon di teater sekolah? Kalau pohon nggak ada, kita akan kehilangan oksigen. Dan itu sangat penting dalam keberlangsungan hidup ini. Padahal gue sampai ngemis-ngemis ke panitia supaya gue bisa main teater bareng dia. Meski jadi pohon sekalipun, gue nggak masalah.

“Sayang, namanya juga proses. Ya, harus dimulai dari bawah. Hari ini aku jadi pohon, ya semoga besok aku jadi kodok.”

“Kenapa harus kodok?”

“Ya, kan nanti dicium putri, terus aku jadi pangeran.”

“Udah ya, Alan. Kamu emang aneh, pokoknya hubungan kita cukup sampai di sini titik!”

“Pake tanda seru nggak?”

“Nggak usah!” Dia bergegas pergi, berjalan dengan cepat sambil mengangkat roknya yang terlalu panjang. Saking panjangnya dress yang dia kenakan, sampai-sampai Anye kelihatan nggak punya kaki sama sekali.

“Lihat aja, Anye. Aku akan terkenal dan bakal buktikan ke Kamu kalau aku itu berbakat.”

Gue berteriak sekaras mungkin agar dunia mendengarnya. Namun, teriakan gue sepertinya sia-sia. Jangankan didengar dunia, didengar Anye pun tidak karena sudah berjalan jauh meninggalkan gue sendiran di belakang panggung yang masih lengkap dengan kostum pohon berwarna hijau. Entah apa yang dioleskan ke muka gue ini—mungkin bubuk green tea— sampai wajah gue ikut-ikutan berwarna hijau. Setelah gue buka kostum ranting-rantingnya, gue merasa lebih mirip pemeran kolor ijo bukannya pepohonan.

“Udah yang gitu mah tinggalin.” Terdengar suara cowok di samping, gue langsung menoleh dan bisa menebak kalau dia Aldy, adik gue.

“Gue yang ditinggalin.”

Gue berusaha menenangkan diri, duduk di lantai sebari meratapi nasib menjadi jomblo. Dengan semua perjuangan yang telah gue lakukan, semuanya musnah pada hari ini tak bersisa. Bagaimana tidak? Gue masuk ekskul teater supaya dekat dengan Anye, lalu kita jadian. Semua itu sudah terkabul. Namun, akhirnya gue juga harus menerima kata putus darinya. Dia selalu nggak terima kalau gue gagal lolos casting pemeran utama teater, sedangkan dia selalu dapat pemeran utama wanita. Padahal skill akting gue itu udah oke banget.

Kalau aja Om Hanung nonton akting gue, tanpa ragu dia pasti bakal jadiin gue pemeran utama di filmnya. Tetapi Anye, tak pernah melihat perjuangan gue. Yang dia lihat Cuma perkembangan followers Instagram dan peran-peran yang ada di teater sekolah. Sialnya, gue selalu gagal dapetin peran penting itu. Dia nggak pernah lihat usaha gue, dia cuman lihat hasil. Padahal hasil tanpa perjuangan itu tidak ada artinya. Hasil itu bonus, perjuangan dan prosesnya itu yang lebih penting.

Gue jadi ingat pertama kali gue deketin dia. Gue modus DM Instagram-nya, tapi nggak dibalas. Karena kesel, gue spam DM dia. Eh, malah diblok. Tetapi, sebagai lelaki gue nggak nyerah. Gue cari tahu tentang dia hingga akhirnya gue tahu satu info penting kalau dia anak teater. Gue langsung ikut seleksi dan ditolak mentah-mentah. Mereka memang nggak paham seni, nggak paham akting mahal. Masa calon aktor kayak gue ditolak mentah-mentah.

Akhirnya, gue lakuin cara yang cukup kotor untuk masuk ke ekskul ini. Gue rela beresin tempat latihan mereka, beli makanan buat anak-anak teater, cuman biar keterima. Perjuangan keras gue menghasilkan juga, gue diperbolehkan gabung setelah seminggu bantuin mereka ini-itu. Asalkan bisa dekat dengan Anye, bagi gue itu nggak masalah.

Gue mulai bisa lebih dekat sama Anye, kita bercanda dan ngobrol bareng pas latihan. Eemm ya, pas dia latihan tepatnya. Saat dia latihan, gue bawain minum sambil lihatin dia. Nggak pernah meyerah atas nama cinta. Cewek yang didapat dengan cara sulit, gue yakin akan sulit juga untuk melepaskannya. Itu sebabnya gue masih nggak habis pikir kenapa dia bisa bilang putus segampang itu. Yang ada dalam bayangan gue sekarang adalah masa-masa saat gue nembak dia sepulang latihan.

***

“Anye, kamu nggak capek akting terus?” tanya gue di atas motor saat mengantarkannya pulang latihan.

“Maksudnya?”

“Iya, Kamu nggak capek apa akting jadi manusia? Kamu kan Putri yang dikirim Tuhan untuk memberi warna di kehidupan ini.” Dia tersenyum. Ternyata hasil gue baca-baca caption gombalan receh di Instagram ada manfaatnya.

Sampai di depan rumahnya, gue beranikan diri untuk menyatakan cinta —udah kelamaan gue simpen— yang takut nantinya keburu basi. “Anye ... ee sebenarnya ….” Gue tergagap-gagap hanya untuk sekadar mengatakan cinta.

“Iya. Kenapa, Alan?”

“Sebenarnya aku tuh Pangeran, dikirim Tuhan untuk menjaga tuan Putrinya. Jadi, mau nggak meringankan tugas Pangeran untuk menjaga tuan Putri? Dengan cara tuan Putri menjadi kekasih sang Pangeran kesepian.”

Dia tersenyum malu-malu, “Mau,” jawabnya kemudian.

Mungkin karena gombalan gue saat itu membuatnya yakin kalau gue bisa akting dan akan menjadi Pangeran di dalam pentas teater. Tetapi apa daya, kenyataan lebih pahit dari khayalan. Kami berpisah, setelah beberapa bulan melangkah, berbagi kisah dan saling melempar senyum setiap paginya.

“Udah jangan dinget-inget. Move on akan sulit kalau Lo nggak ikhlas, udah ikhlasin aja,” lagi-lagi suara itu membuyarkan lamunan. Suara adik gue satu itu memang menyebalkan. Dia selalu muncul di saat yang tidak tepat.

“Gue nggak ikhlas. Lo kira diputusin pacar kayak Lo numpahin bakso ke lantai? Bisa gitu aja ikhlas.”

“Harusnya Lo tuh berubah, bukan mengalah. Kalau dia minta putus karena Lo nggak bisa main drama, Lo buktiin. Cara membuat mantan menyesal itu cuman satu, buktikan kalau Lo bisa jadi lebih baik dari apa yang dia pikirkan.”

Memang kadang-kadang adik gue ini ada benarnya, tapi kadang-kadang sih. Gue mulai berpikir, hari ini boleh galau. Besok, tak boleh ada tangis yang keluar. Hanya ada harapan dan semangat diri untuk berubah.

“Gue bisa!” jawab gue tegas.

“Nah gitu, dong. Semangat. Kalau Lo semangat, dia nggak bakal ngerasa dirinya bangga. Buat dia nyesel karena udah putusin Lo.” Aldy menggebu-gebu, gue yang putus dia yang emosi.

Tapi benar, ada sisi positifnya kata dia. Gue nggak boleh lama galau, harus segera menatap masa depan. Gue harus mulai menyusun rencana. Apa pun caranya gue harus terkenal dan viral. Dengan itu pangeran akan kembali ke tuan putrinya.

Meski hati teriris, semangat jangan sampai habis. Sembuh dari patah hati bukan dengan cara pura-pura tak kecewa. Tetapi, dengan menatap masa depan dan meyakini patah hati hanya sebuah tragedi dalam kehidupan nyata.

***

Gue keluar dari mini teater lalu turun dari lantai tiga. Entah kenapa sepanjang jalan semua orang menertawakan gue. Mereka seperti bahagia dengan penderitaan hari ini. Tawa mereka seolah mengejek gue yang baru saja putus. Ingin rasanya gue sumpel mulut mereka, cuman nggak berani. Mereka kakak kelas.

Gue berjalan ke taman yang sepi, katanya ketika patah hati sepi adalah temanmu. Sesampainya di taman, ternyata tidak benar-benar sepi. Ada seorang murid cewek tengah duduk di dekat pohon. Gue mendekatinya untuk memastikan jika dia memang manusia, bukan hantu yang banyak digosipkan.

“Kamu kalau berdiri, kaki nyentuh tanah nggak?” tanya gue tanpa basa-basi. Dia menoleh dengan raut wajah yang sedih, matanya terlihat sembab akibat menangis.

“Ada apa, Pak?” jawabnya.

Melihat sorot matanya membuat gue ikut bersedih. Gue duduk di sampingnya. “Kamu kenapa? Dibully?” tanya gue sok tahu.

“Enggak, Pak.”

“Kamu kelas sepuluh ya?”

“Iya.”

“Pantas, berasa baru lihat.”

“Alan ....” Gue tiba-tiba mengajaknya bersalaman. Gue pernah baca sebuah artikel yang isinya ‘jika seseorang tengah bersedih jangan langsung menanyakan masalah apa yang dia hadapi itu akan menambah beban’. Jadi, gue coba mengajaknya berkenalan. Tak kenal maka tak sayang. Yang udah kenal lama aja belum tentu bisa disayang.

“Lula ....”

“Panggil aja, Alan. Jangan bapak, aku juga murid sini.” Entah apa yang merasuki wanita ini, wajah semuda ini dipanggil bapak.

“Murid sini? Kok seragamnya aneh?” Lula menatap heran gue dari atas hingga bawah. Gue baru sadar jika baju hijau dan muka gue masih belepotan serbuk green tea.

“Astaga ... lupa, ini habis main teater lupa ganti baju.”

“Wah, seru tuh main teater? Kakak perannya jadi kolor ijo?”

“E ... bukan kolor ijo sih.”

“Oh, aku tahu! Jadi, Hulk ya? Tapi kok Hulk kurus,” protes dia.

“Bukan-bukan. Aku jadi pohon. Bukan Hulk apalagi kolor ijo.”

“Haha, lucu Kak,” ujarnya tertawa.

“Yah malah ketawa lagi, tadi nangis kenapa?”

“Enggak kak. Biasalah masalah hidup.”

“Emang bener sih, masalah hidup tuh ngeselin banget. Hidup ini itu nggak adil, tahu. Masa aku diputusin gitu aja, coba pikir deh sama Kamu. Aku diputusin gara-gara jadi pohon. Padahal kan tanpa pohon, tumbuhan nggak bisa berfotosintesis nggak akan ada oksigen.”

“Kak?” Lula memotong cerita gue, “Curhat?”

“Hah ... eee ... enggak. Itu tuh naskah drama teater aku yang baru buat minggu depan. Gimana-gimana bagus nggak?” Gue gelagapan karena tak sadar menceritakan semuanya pada wanita yang belum satu jam gue kenal. Emang dasar mulut nggak bisa direm.