Dapur Cinta

Dapur Cinta

Adityo

0

"Ibu akan membuat kafe ini menjadi yang terbaik di Seoul. Nanti kamu bakal dipanggil sebagai Nona La Fayatte." 


Senyum ramah ibu ketika mencubit pipi Han Ji He kecil terpatri dalam hatinya. 


.

.

.

Sepuluh tahun kemudian.


Suara gemercik air di wastafel kafe mendominasi dari lantai bawah. Padahal, Matahari baru saja naik, tapi ayah telah sibuk mencuci buah.


Han Ji Er melangkah turun sambil menguncir rambut hitamnya dengan kunciran kepang kuda. "Ayah, berangkat dulu, ya." pamitnya, mempercepat langkah setelah mendapat senyum dari ayah. 


"Hati - hati di jalan. Jangan lupa sarung tanganmu, di luar dingin."


Dia memakai mantel tebal sembari bergegas keluar dari kafe La Fayatte dan langkahnya terhenti sejenak di depan kafe. Sambil mengawasi ayah yang terlalu fokus dengan sayur mayur, dia mengendap ke samping bangunan berlantai tiga itu.


Bangunan tua manis dengan patio di bagian depan dan berdinding bata itu adalah bangunan kafe sekaligus tempat tinggal keluarga Han. 


Dia memeriksa tong sampah besar di sebelah pintu samping. Sama seperti kemarin, banyak buah dan sayur, serta berbagai macam masakan juga saus yang terbuang. Lagi - lagi dibuang karena tidak laku.


Ji He melangkah lemas seperti robot mainan nyaris kehabisan baterai. Dia menghela napas panjang nan berat, selagi kedua telapak tangannya bersembunyi ke saku mantel panjang cokelat-tanah yang bagian bawahnya nyaris menyentuh trotoar. 


Semenjak ibu tiada beberapa tahun yang lalu, ayah mengajukan cuti panjang. Dia adalah pegawai senior di perusahaan multinasional dan memiliki gaji lumayan besar. 


Demi mempertahankan kafe peninggalan mendiang ibu, ayah menghabiskan uang simpanan dan Ji He dengar, dia memundurkan diri dari kantor supaya bisa fokus bekerja di kafe.


Sayang sekali kerja keras belum tentu menghasilkan. Terutama di bidang rasa lidah.


Kafe semakin sepi. Beberapa bulan yang lalu para pegawai dirumahkan lantaran ayah tidak bisa membayar gaji mereka. 


Bahkan beberapa minggu terakhir Ji He sengaja menyuruh temannya membeli makanan di kafe masakan Perancis La Fayatte memakai uang Ji He, sekedar membantu perekonomian kafe yang nyaris kolaps.


Jika langsung memberi uang untuk ayah, ayah yang egonya selangit bakal marah dan Ji He tidak mau ribut dengan orang yang sedang tidak stabil emosinya dan juga dia sayangi.


Ji He naik bus menuju tempat kerja di Moonlight Entertainment. 


Bukan, dia bukan artis. Dia hanya tukang rias junior di sana. Ya pekerjaan itu memang impian Ji He. Dia ingin menjadi penata rias berkelas dunia. 


Di sana dia menjadi asisten perias dan membantu merias wajah para member boy band, girl band, aktor, artis, dan beberapa orang penting yang menjadi bintang tamu dalam acara Moonlight Channel. 


Dia bekerja sampai malam dan beruntung punya teman yang searah pulangnya. Mereka selalu naik bus bersama di malam hari.


"Ji He, apa tidak sebaiknya beritahu ayahmu, jika dia tidak bisa mempertahankan kafe?" tanya gadis di samping, sambil membenarkan kacamata bacanya.


Ji He yang pelipisnya bersandar pada kaca jendela bus, menghela nafas pendek dan membuat embun di sana. "Aku tidak tega Sohe."


"Ya daripada terus - terusan begini," ujar Sohe yang duduk di sebelah Ji He. Gadis berbadan tambun itu menawarkan segelas teh panas untuk sahabatnya, yang ditolak pelan. Sohe lanjut berucap, "Obat memang pahit, tapi manjur. Aku tahu Paman ingin mewujudkan impian mendiang Bibi, tapi ayolah, Bibi memang koki handal dan tahu cara berbisnis restoran. Sementara Paman?"


"Aku sudah berusaha mencoba mengatakan, tapi kamu tahu ayahku, kan? Dia keras kepala. Katanya, kalau ada kemauan pasti ada jalan."


"Jalan ke kehancuran. Aku serius prihatin." Sohe menyeruput teh panasnya lalu kembali berkata, "Dia bahkan berhutang pada rentenir, kan. Aku takut jika nanti bukan hanya rumah, tapi kamu juga bakal tidak sengaja tergadaikan ke rentenir." 


"Bagaimana kalau kamu saja yang memberitahunya untuk berhenti?"


"Ah, aku siapa, sih, hanya bocah yang selalu dia cubit kala masih SMP dulu."


Ji He menyikut lembut perut di balik mantel tebal sahabatnya itu. "Tidak apa - apa, kan kau tinggal menghilang jika ayah marah."


"Ah, malas, kau kan anaknya, kenapa aku?"


"Karena aku anaknya, aku harus melihatnya setiap hari. Sementara kau …" Ji He sadar suaranya meninggi dia terlalu lelah untuk berdebat. "Maaf."


Mereka tidak bicara lagi selama diperjalanan. Mereka turun dan berpisah sambil melambaikan tangan. 


Ji He mendengus dan menciptakan uap hangat yang keluar dari dua lubang hidungnya. Yang dikatakan Sohe benar. Ini saatnya untuk menyadarkan ayah dari mimpinya. Kafe harus ditutup atau mereka bakal kehilangan segalanya. 


Malam ini Ji He akan menghentikan ayah selamanya. 


Namun, sebelum langkahnya membawa dia masuk ke kafe, Ji He merasa aneh.


"Loh, kenapa lampu kafe masih hidup?" Dia mengintip melalui jendela besar bertulis kafe La Fayette. Ayah sedang bicara dengan seseorang. Sayang sekali dia melihat punggung orang itu, bukan wajahnya.


Terbesit di benaknya, 'Apa itu rentenir? Apa ayah benar - benar tidak sengaja menggadaikan rumah dan … Anak gadisnya?'


"Ah ayah keterlaluan." Ji He berinisiatif mengambil gagang sapu rusak di dekat tong sampah besar samping kafe, lalu hendak masuk kafe melalui pintu utama.