Gadis dengan rambut sebahu itu mempercepat langkahnya. Terlihat ia berlari-lari kecil melewati satu dua pejalan kaki di depannya. Matanya sesekali menoleh ke lengan kirinya yang sengaja diangkat untuk melihat waktu.
Elina Hanania Prakoso, gadis muda belia dengan balutan kemeja dan celana kulot hitam, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ia mengembus kasar ketika akhirnya berdiri di depan lift. Tangannya bergerak cepat menekan tombol lift bersamaan sebuah tangan lainnya menyentuhnya. Kepala gadis itu berputar ke kanan sedikit, menoleh ke pemuda yang ia taksir mungkin sebaya dengan dirinya. Sayang, Elina tak bisa melihat jelas wajah pemuda tersebut. Sebuah masker, persis yang ia kenakan, menutup wajah pemuda itu dengan sempurna, hanya sepasang mata dengan kornea berwarna hitam yang tampak.
Elina tak bersuara, pemuda itu juga diam seakan-akan tidak terjadi sesuatu. Keduanya menunggu dalam hening sampai terdengar suara pintu lift yang terbuka. Tanpa membuang waktu Elina bergegas masuk, begitu juga pemuda yang tadi menyentuh tangannya.
Lift bergerak naik perlahan dan beberapa kali berhenti karena ada yang masuk atau keluar di lantai tujuan mereka. Mulut Elina terus komat-kamit di balik masker yang ia kenakan. Sebentar-bentar matanya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Hari ini adalah hari pertama ia masuk kerja. Tentu saja Elina tak ingin memberi kesan buruk pada hari ini. Namun, bukan Jakarta kalau tidak macet. Meski sudah berusaha mengantipasinya, Elina tetap tak kuasa menghindari keruwetan pagi. Mulai dari air yang mengalir kecil tak seperti biasanya sehingga gadis berwajah manis itu harus menunggu cukup lama untuk bisa mandi. Tukang ojek yang tidak tahu jalan dan sekarang waktunya semakin mepet untuk absensi.
Elina mendengkus. Pintu lift kembali terbuka dan dua orang wanita keluar. Masih ada 5 lantai lagi untuk sampai di lantai 8, tempat di mana Elina akan bekerja. Kini dalam lift itu hanya tinggal Elina dan pemuda tadi. Elina mencuri-curi pandang pemuda di samping kirinya dari pantulan pintu lift. Rambut si pemuda mengingatkannya kepada sosok artis Korea yang sedang ngehits saat ini. Meski Elina bukanlah Army, tetapi pengetahuan musiknya tidak buruk. Apalagi parapersonil BTS tak dipungkiri memiliki wajah-wajah yang tampan dan menggemaskan. Tentu saja para wanita muda seperti dirinya sangat menyukai hal tersebut. Sayangnya Elina tidak bisa melihat wajah pemuda tersebut, sehingga ia tak bisa memastikan apakah wajah si pemuda juga mirip dengan salah satu personil BTS. Tanpa sadar bibir tipisnya melengkung membentuk senyum di balik masker. Kepalanya menggeleng geli mengingat betapa konyol dirinya saat ini.
Sempat-sempatnya sih, aku mikirin kalau pemuda ini mirip Tae Hyung, Elina membatin lirih. Ia baru saja akan mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam ketika tiba-tiba lift berguncang dan lampunya berkedip-kedip dan padam.
“Aaarggh, tolong!” Elina berteriak histeris. Sesaat ia merasakan pandangannya gelap pekat. Gadis itu tak dapat melihat apa pun. “Tolong! Tolong!” Elina berteriak lebih kencang. Tangannya bergerak sembarangan, meraba-raba. Ia memukul-mukul dinding lift ketika tangan halusnya berhasil menyentuh permukaan dinding lift tersebut. Gadis itu seperti terlempar kembali ke masa kecilnya.
“Paapaa … tolong buka pintunya, Elina janji akan menuruti Mama. Papaaa tolong keluarkan Elina.” Tangan mungilnya menggedor pintu kamar mandi sekencang mungkin. Ruangan berukuran 3 x 2 itu terasa begitu menakutkan bagi Elina kecil. Ia tak dapat melihat apa pun dalam ruangan itu. Tak ada jawaban atas permintaannya. Pintu ruangan masih tertutup rapat tanpa cahaya.
Elina meraung, menangis, memanggil papa dan mamanya, tetapi kedua orang tuanya seperti raib ditelan bumi tak jua muncul. “Papaa, tolong keluarin Elina. Papaaa!” Elina terus memukulkan tangannya ke pintu dan kakinya juga tidak berhenti menendang pintu. Napasnya mulai sesak karena menahan rasa takut yang amat sangat. Elina memang sangat takut gelap.
“Tolooong! Buka pintunya, bukaaa pin- ….!” Elina tak menyelesaikan kalimatnya. Gadis itu merasakan dadanya begitu sesak, napasnya menjadi tersengal-sengal sekarang. Tubuhnya bergetar dan keringat dingin mengalir deras. Makin lama, napas Elina makin memburu. Pikirannya membawa dirinya kembali pada masa beberapa tahun yang silam.
Elina kecil tak sengaja menjatuhkan vas bunga kesayangan Carmila, mamanya. Buru-buru ia membersihkan pecahan vas tersebut. Baru saja ia mengutip kepingan terakhir dan menarik napas lega ketika sebuah teriakan mengejutkannya.
“Maaaa! Lihat, Elina memecahkan vas kesayangan Mama!” Claudia berdiri tak jauh dari Elina. Lengkung bibir gadis kecil itu memperlihat senyum kemenangan. Elina panik ketika mendengar langkah kaki yang mendekat.
“Elinaa! Dasar anak kurang ajar! Kamu ini kenapa selalu membuat emosi!” Terikan keras dan jeweran singgah di telinga Elina kecil. Gadis itu mengaduh kesakitan, tetapi ia tak mampu melawan. Ia diam saja ketika tangan kecilnya ditarik Carmila ke kamar mandi. Begitu pintu ditutup, lampu kamar mandi juga dipadamkan oleh Carmila. Seketika itu juga Elina menjerit ketakutan. Sementara di balik pintu Carmila dan Claudia justru terkekeh-kekeh senang. Keduanya bahkan saling memberi hi-five seakan memenangkan undian berhadiah.
“Hhhgg … hhhggff ….” Tubuh Elina hilang keseimbangan. Dadanya sesak dan nyeri, kepala gadis itu terasa begitu berat. Tangannya bergerak merogoh ke dalam tas mencari inhaler miliknya. Namun, karena terlalu panik, gadis itu justru menjatuhkan semua isi tas ke lantai lift. Suara napasnya yang kasar memecah keheningan lift yang gelap. Elina bingung harus bagaimana, untuk bersuara, ia tidak mampu. Mulutnya kering.
Ia ingin pingsan dan kini tubuhnya terasa seringan kapas dan hanya bisa pasrah ketika kakinya benar-benar kehilangan kekuatan untuk menopang tubuhnya. Tiba-tiba ada tangan yang menahan tubuh Elina agar tidak terjatuh.
“Kamu ini bikin susah saja! Lain kali gak perlu teriak-teriak begitu!” Nada ketus begitu kentara terdengar oleh Elina dari orang yang telah menopangnya barusan. Perlahan ia teringat pemuda yang sedari tadi di lift bersama dirinya sebelum lift macet. Pandangan Elina mulai terbiasa dengan kegelapan dalam lift. Seberkas cahaya muncul seiring pemuda itu menyalakan ponselnya setelah mendudukkan Elina di lantai lift. Elina bisa melihat dengan jelas sekarang tangan kekar itu mengambil inhaler miliknya yang tadi berjatuhan dari tasnya. Pemuda itu menyorongkan inhaler tersebut ke mulut Elina dan gadis itu segera menghirupnya.
Pintu lift tiba-tiba terbuka. Beberapa petugas muncul dan masuk. Pemuda itu bergegas keluar membiarkan Elina diurus tim medis yang juga sudah ada di sana. Elina hanya bisa menatap punggung si pemuda yang kian menjauh tanpa sempat mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.
“Nona, Anda sudah aman.” Suara lembut seorang tim medis membuat Elina segera mengalihkan perhatiannya kembali kepada para petugas. Ia mengangguk lemah. Ketakutannya perlahan sirna bersama bayang-bayang kejadian masa kecilnya dulu. Benaknya kini dipenuhi tanda tanya mengenai pemuda misterius tadi. Siapa dia?