Crazy Rich Lora

Crazy Rich Lora

AliciaPerth

0

Crazy Rich Lora.

Chapter 1.

Chapter : ONE.

Suara musik keras yang dimainkan seorang disk jockey asal Swiss, Rocket, membuat semua pengunjung di Beverly Club senang. Bola lampu warna-warni yang menyinari seisi ruangan, juga denting botol alkohol yang bersahut-sahutan lantas memenuhi indera pendengaran Lora.

Wanita itu memegang tiang pole di atas meja, sebelum meliukkan tubuh seksinya dengan penuh gairah di sana. Beberapa pria yang mengelilinginya berteriak senang, sebagian bahkan memberikan uang. Lora menyeringai kala mengibas rambut brunetnya yang sedikit ikal, membuat pria-pria hidung belang semakin merasa tertantang dengan hiburan yang mereka dapatkan.

"Lora, time is over!"

Sampai suara itu terdengar dan Lora pun turun dari area pole dance di dalam kelab. Wanita bertubuh tinggi itu memunguti uang yang diberikan pengunjung dan membawanya masuk ke dalam ruang ganti. Ia mendesah kesal kala Kevin menyambutnya dengan cengiran lebar.

"Well done, Lora!" Kevin bertepuk tangan. "Semua tamu benar-benar puas dengan penampilanmu itu!"

Lora memutar kedua bola matanya malas dan menyerahkan tip yang didapatnya kepada Kevin. "Jangan terlalu memujiku, aku hanya seorang paruh waktu di sini," katanya, kemudian duduk di salah satu kursi. Lora sedikit mengatur napasnya ketika pantulan Kevin di cermin terlihat sedang sibuk menghitung lembaran dollar di tangan. "Berapa yang bisa aku dapatkan malam ini?"

"Semuanya."

Kening Lora berkerut. Ia memandangi pria bertubuh tinggi yang kini mengulurkan lembaran dollar yang sudah dirapikannya tadi, kepada wanita itu. "Apa maksudmu?"

"Anggap saja ini bonus, karena kamu berhasil memberiku seribu dollar kemarin malam." Kevin menyeringai. "Ambillah, kau berhak menerima uang ini. Lagipula, kapan lagi aku akan berbaik hati begini, bukan?"

Tanpa menunggu apa-apa lagi, Lora segera menerima pemberian dari Kevin dan memasukkan semua uang di tangannya ke dalam tas. "Terima kasih."

"Sampai bertemu besok malam. Aku akan membelikanmu seragam baru, jadi bersiaplah. Oke?"

•••

Lora menarik jaket denimnya lebih kuat ketika meninggalkan ruang ganti. Sayangnya, semua mata mengenalinya. Para pria mabuk berusaha mendekatinya, tetapi Lora berhasil menepis. Sampai kemudian, seorang pria berdiri dengan sangat tiba-tiba di depan Lora dan menghalanginya.

"Permisi, bisa kau menyingkir?" usir Lora dengan sopan awalnya.

Namun pria itu justru menyodorkan sejumlah uang di hadapan Lora sambil tersenyum kecil, mungkin beberapa ratus dollar.

Lora melihat uang itu dengan bingung, tapi kemudian instingnya bergerak cepat. Wanita itu lantas menyilang kedua tangannya di dada dan berkata, "Maaf, aku tidak tidur dengan siapapun. Kau bisa ambil uangnya."

"Bagaimana kalau uang ini hanya sekadar untuk tantangan?" Pria itu menawarkan. Ia lantas menggeser posisi tubuhnya dan menunjuk ke arah lain, ke arah seorang pria yang duduk terpejam di area meja VVIP. "Ratusan dollar ini akan menjadi milikmu kalau kau bisa mencium pria yang duduk di sana."

"Pria dengan jaket hitam itu maksudmu?"

Satu anggukan dari pria itu membuat Lora gugup. Terutama ketika dia berbalik dan menyodorkan tumpukan dollar di tangannya untuk kedua kalinya. "Take it, or leave it?"

Lora berpikir sejenak. Ia sedang butuh banyak uang saat ini. Ibunya sedang berjuang di meja operasi, sementara para rentenir terus datang dan menagih hutang ibunya di masa lalu. Bukankah ratusan dollar terlihat menggiurkan hanya untuk sekadar mendaratkan ciuman? Itu hanya ciuman, batinnya.

"Jadi, bagaimana?"

"Aku ambil." Lora langsung menarik uang yang diulurkan pria itu dan menyimpannya ke dalam tas. "Lagipula itu hanya sebuah ciuman."

Pria itu menyeringai senang. "Silakan. Take your time."

Lora menarik oksigen sebanyak-banyaknya sebelum kemudian berjalan menuju pria di meja VVIP yang ditunjuk oleh pria random tadi. Dilihat dari dekat, wajah pria itu bisa dibilang cukup tampan. Bahkan ketika memejam, Lora bisa langsung merasakan pesonanya yang memikat. Ia mendekat, membuat wajah mereka tak berjarak. Sampai akhirnya, Lora memberanikan diri untuk mendaratkan bibirnya yang merah muda di bibir milik pria itu. Satu kecupan singkat, tapi mampu membuat pria itu tersentak dan membuka mata.

Pria itu tak refleks menghindar, sehingga Lora yang sengaja memejamkan matanya itu berhasil menyelesaikan tantangan.

Lora membuka mata. Netra birunya yang seperti laut sontak membulat kaget ketika pria di hadapannya memandanginya datar. "I-itu ... maaf, aku harus pergi!"

Namun tangan kokoh milik pria itu mencegahnya cepat. Lora berbalik dengan panik, terutama ketika mata kecokelatan milik pria itu tertuju lurus ke arahnya. "Apa kau tahu siapa aku?"

"Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu!"

Setelah berhasil menepis tangan pria itu, Lora pun menerobos kerumunan orang-orang yang ada di depannya. Ia melarikan diri dengan berbaur di antara keramaian yang ada. Namun pria itu menyeringai kecil di tempatnya. Ia mengingat semuanya, wajah polos dan nada ketus yang diucapkan wanita itu, dia mengingat semuanya.

"Hampir saja aku mati muda karena dia bangun! Kupikir dia mabuk tadi." Lora melambai-lambaikan tangannya ke jalan, ketika sebuah taksi melintas. Taksi itu berhenti dan mengangkut Lora. "Tolong antar aku ke Avenue Park, blok dua."

"Baik, Nona."

Pemandangan kota New York di malam hari memang indah. Dipenuhi lampu-lampu yang menerangi jalanan, kota ini seperti tak ada matinya. Netra biru Lora berkeliling, beberapa restauran dan kelab masih sangat ramai meski hari sudah menjelang pagi. Kebanyakan dari mereka yang keluar dari tempat itu pergi bersama pasangan mereka. Mereka dipenuhi cinta, sesuatu yang Lora tidak punya.

Lora berdeham dan menepuk pundak sang supir taksi. "Maaf, Pak. Bisa kita berputar dan pergi ke rumah sakit?"

"Golden Hospital?"

"Iya."

"Tentu, Nona."

Karena cinta yang dimiliki Lora, kini tengah di ambang ajalnya.

Setelah melewati sekitar dua puluh menit perjalanan, taksi yang ditumpangi Lora akhirnya tiba di sebuah rumah sakit. Dari luar, tak banyak yang bisa orang lain lihat. Selain beberapa mobil ambulans yang terparkir rapi, bersiaga menangani pasien gawat darurat di luar sana.

"Terima kasih, Pak."

Lora turun dari taksi dan berjalan melewati lorong yang sepi pada pukul tiga pagi. Ia bahkan tak peduli dengan udara dingin yang terasa seperti menusuk sampai ke tulang belikat di tubuhnya. Lorong ini sudah seperti jalan kedua menuju rumah, hampir setiap malam wanita itu melewatinya.

Sampai tiba-tiba, dering ponsel di dalam tas membuatnya tersentak. Ia berhenti dan menerima panggilan sejenak.

"Halo?"

Tak ada nama di layar, itu hanyalah nomor baru yang tidak dikenal.

[Apa benar ini dengan Nona Lora Pennington?]

Lora sempat mengernyitkan kening sebelum kembali bersuara. "Iya."

[Nona, saya Anna. Asisten pribadi Anda yang diutus oleh Mr. Bennedict. Saya hanya ingin menyampaikan berita duka tentang ayah kandung Anda. Pagi ini, dia ... ditemukan meninggal dunia di kamarnya.]

"Tapi... saya tidak punya ayah. Ini pasti salah sambung."