Dahulu aku berlari dan tak berharap untuk kembali, dahulu aku sendiri dan selalu mandiri. Namun, kini dia menarikku kembali, membuatku di bawah kendali dan tak bisa hindari lagi. Kata pulang selalu bawa perasaan tak terdefinisikan, bukan bahagia, bukan gembira, tak juga ada rindu di sana, hanya hampa. Pria di sampingku tetap mengeratkan tautan jemari kami, seakan-akan aku bisa terlepas kapanpun. Nyatanya sudah tak ada cara untukku kabur, sosoknya terlalu mendominasi. Bukan dengan cara keras dan tegas namun sebaliknya, dia menggunakan senyum semanis madu dengan ditaburi gula sehingga membuatku luluh seketika dan mengganggukan kepala menyetujui rencana busuknya.
Sepuluh tahun yang lalu semua dimulai. Kepergian kedua orang tuaku dalam kecelakaan tragis membuatku ingin membuang segala kenangan pahit yang nyatanya tetap mendekam tanpa mau pamit. Pergi sejauh yang aku bisa menjadi pilihanku kala itu, menempuh berjam-jam perjalanan, memasuki dunia baru yang selama ini hanya bisa ku dambakan. Hingga tanpa sengaja bertemu dengannya, bagaikan kisah klasik berawal dari teman berujung jatuh cinta. Tak perlu banyak kata, namun dia selalu ada. Bahkan sekalipun tak bertanya. Kini setelah tahu semuanya, dia malah menjadi semaunya.
“Genggam tanganku kalau kau takut.” Dia tak mau repot-repot menatapku, namun aku tahu semuanya benar. Dia di sampingku, jari kami bertautan, semua terasa amat benar. Setidaknya saat ini.
Aku melepas tautan jari kami dan ganti memeluk lengan kekarnya, di atas ketinggian, ditemani oleh seorang pria yang amat ku cinta, tak ada hal lain lagi yang aku inginkan saat ini. Sebuah usapan lembut tiba-tiba mendarat di rambutku membuatku memejamkan mata dan menikmati kehangatan yang mengalir lewat sentuhannya. “Apa kau masih merasa takut?”
“Mengapa aku harus takut? Kita hanya datang untuk bekerja kemudian kita akan pulang.” Usapan itu seketika berhenti, dengan berat aku mulai membuka mata dan memandangnya kembali, “ada apa?”
“Aku sudah berjanji akan mengajakmu pulang, pekerjaan hanyalah alasan agar aku bisa membawamu pulang ke tanah kelahiranmu.” Aku melengos malas dengan jawabannya, tentu
saja aku tahu, diriku tak sebodoh itu sampai tak mengetahui trik busuk yang sedang dimainkannya.
Namaku Danisa, seorang gadis keturunan Bali yang telah menghabiskan bertahun-tahun merantau di negeri orang. Tak melulu tentang lari, namun aku pun memiliki mimpi yang sudah berhasil aku gapai di negeri ginseng. Kini namaku cukup diperhitungkan di dunia modeling korea, mengandalkan tubuh ramping serta tinggi yang mumpuni, serta wajah asia yang menawan membuatku mampu sampai di tahap ini meski dengan tertatih, namun kini semua terbayarkan.
Sedangkan lelaki yang selalu setia mendampingi dan selalu di sisiku ini bernama Kim Dongjun. Kami pertama kali bertemu 10 tahun yang lalu di saat aku masih sangat asing dengan negara yang baru ku tempati itu. Kini dia telah sukses, kami berjuang bersama, tertatih hingga bisa sampai di tempat ini. Namun semua itu tak penting lagi. Ada hal lebih penting yang harus ku hadapi kini. Pulang.
“Apakah terlalu sakit walau hanya dengan membayangkan?” perkataannya seketika menarikku dari kegamangan yang ku rasa.
“Tak ada yang lebih menyakitkan daripada luka menganga yang tak pernah temukan obatnya.”
“Apa aku terlalu berlebihan dengan menarikmu kembali ke dalam lubang kenangan yang telah susah payah kau tutup?” aku menatapnya dan memberikan senyum terbaikku, walau aku tahu dia melihat kilat luka di mataku.
“Luka itu tak pernah sembuh, meski ku bebat dengan erat, ku tutup dengan rapat. Dalamnya tetap meradang dan bisa menganga kapan pun itu. Tak ada gunanya menutup tanpa mengobati.”
Tidak ada lagi percakapan di antara kami sampai pesawat kami mendarat dengan selamat di Bandara Ngurah Rai Bali. Tour guide sudah menjemput dan mengarahkan kami untuk masuk ke sebuah mobil yang akan membawa kami ke hotel tempat menginap selama liburan ini. Aku lebih suka menyebutnya liburan karena aku tahu tak ada pekerjaan yang harus kami selesaikan sampai di sini.
“Kau harus mengajakku berjalan-jalan ke tempat-tempat yang indah sekaligus mengunjungi makam orang tuamu.”
Aku menatapnya dengan malas, sungguh aku sangat kesal dengan akal-akalan pria di sampingku ini. “Bagaimana aku bisa mengingat tempat wisata di daerah ini kalau nyatanya sudah sepuluh tahun aku tidak pernah menginjakkan kaki di sini. Dan apa katamu? Makam? Bali tidak sama seperti Korea asal kau tahu.”
“Jadi kedua orang tuamu tidak dimakamkan?”
“Bukan tidak dimakamkan. Tradisi di sini bernama ngaben, di mana jasad orang meninggal akan di bakar kemudian abunya akan di sebar ke laut, bukan di simpan seperti di Korea, jadi tidak ada tempat untuk berkunjung seperti katamu.”
Kenangan yang telah memburam kini kembali terulang, segala keindahan pulau ini sama sekali tak memudar. Mungkin memang tidak ada salahnya sesekali untuk pulang, meresapi segala luka yang terkenang, mengikis perlahan ketakutan akan kenangan buruk di masa lalu. Membangun kembali fondasi kekuatan untuk jiwaku yang pernah terkoyak.
Jiwaku mengambang dan hatiku terasa mengembang, pulau ini yang diam-diam selalu ku rindukan, namun tak ingin kembali ku kenang.
“Tujuan pertama kita adalah Tanah Lot.” Aku seketika terlonjak dengan perkataan Dongjun, bagaimana bisa dia membaca pikiranku. Ah tidak, bagaimana bisa pilihannya sangat tepat dengan semua yang tertuang dalam pikiranku.
“Apa kau keberatan? Atau ada tempat lain yang ingin kau kunjungi?” semua ini benar benar tidak mudah bagiku, kembali menelusuri semua jejak yang tertinggal dengan luka yang masih menggenang. Namun, satu hal yang bisa aku rasakan. Semua tidak semenyakitkan itu lagi, memang belum pulih, tapi tak lagi perih.
“Aku rasa kali ini kau benar, aku tak bisa selalu berlari untuk ingkari. Kali ini akan aku hadapi.” Dia tersenyum dan mengeratkan pelukannya, selama menempuh perjalanan tak banyak kata yang terucap di antara kami. Aku yang sibuk mengamati jalanan yang kami lewati dan dia yang sibuk mengamati diriku.
“Berhenti melihatku Oppa.”
“Kau tadi memanggilku apa?” Aku hanya tersenyum tanpa sedikit pun niat untuk membalas. Biarlah, biarlah ini menjadi bagian kecil dari ungkapan terimakasihku padanya.
“Sejak 10 tahun yang lalu aku memintamu memanggilku Oppa, dan baru sekali ini kau mau mengatakannya. Wow, apa membawamu pulang bisa membuatku dapat peluang?”
Tanah Lot merupakan sebuah Daerah Tujuan Wisata sekaligus sebuah pura yang terletak di pantai selatan Pulau Bali. Lokasi ini tak pernah sepi pengunjung, bahkan saat matahari sudah hampir pulang ke peraduannya tempat ini masih penuh sesak. Kami memilih duduk menikmati sang senja yang mulai menyapa, indahnya buatku lupa, bahwa masih ada setumpuk luka yang mengaga.
“Bagaimana cara kalian bila ingin pergi ke sana?” Dongjun tiba-tiba membuyarkan segala lamunanku, dia menunjuk ke sebuah pura yang berdiri kokoh di atas sebuah karang dan dikelilingi oleh lautan. “Apa kalian harus menyeberang?”
Aku menatap lurus, segala kenangan kembali berputar bagai sebuah film. “Iya kami harus menyeberang, namun harus menunggu air surut.”
“Kenapa tak menyeberang menggunakan perahu? Atau lebih mudahnya kalian seharusnya membangun jembatan.”
Aku hanya tersenyum menanggapi, Dongjun bukan orang pertama yang mempertanyakan hal itu, aku pun pernah menanyakan hal yang sama kepada kedua orang tuaku. “Semua sudah pernah dicoba, membangun jembatan, namun sebelum rampung jembatan itu roboh, kembali di ulang, roboh kembali. Begitu pun dengan perahu, semua cara sudah ditempuh. Namun tetap saja, cara yang direstui untuk sampai ke sana hanyalah dengan berjalan kaki. Tahukah Oppa? Ada mitos yang mengatakan apabila sepasang kekasih datang bersama ke tempat ini, maka mereka akan berakhir putus.”
Dongjun mendelik menghadap ke arahku, seakan tak percaya dengan kata-kata yang barusan terlontar dari mulutku, “kenapa kau baru mengatakannya sekarang?” aku tertawa geli melihatnya panik, aku tak pernah tahu dia juga bisa takut akibat sebuah mitos.
“Ayo kita pergi dari tempat ini, aku tak mau lebih lama lagi di sini.” Dengan cepat dia menarik tanganku hingga aku terbangun, namun aku berusaha menghentikannya, “aku masih ingin di sini. Boleh ya?”
Dia nampak melunak, tatapannya kembali menghangat. Kami kembali duduk menikmati senja yang mulai berubah gelap. Pertama kalinya aku kembali merasakan ketenangan, bukan sekadar hampa, perasaan hangat seperti saat kembali menemukan tempat untuk pulang. “Oppa..”
“Hm..”
“Di bawah sana ada sebuah goa, di dalam goa itu terdapat banyak sekali ular. Tapi sayang hari ini laut sedang pasang, kita tak bisa melihatnya kesana. Dan di sana, tepat di bawah pura itu, yang saat ini sedang direndam air laut yang pasang, terdapat sebuah mata air tawar. Bukankah itu merupakan keajaiban?”
Aku menoleh karena tidak berhasil mendengar suaranya, dia membisu dan aku terhanyut dengan nyaringnya debaran ombak.
“Aku ingin mengetahui lebih banyak tentang tempat ini, tapi kenapa kau selalu lebih menarik untuk di amati? Saat ini, di tempat ini, kau terlihat sangat bersinar meski dalam gelap. Bahagiamu nyata terpancar. Apa sedasyat itu efek dari pulang?”
“Entahlah, hatiku merasa tenang, walau masih banyak yang aku kenang namun aku tak lagi merasa gamang. Apakah luka itu sebenarnya telah memudar? Atau selama ini luka itu adalah wujud dari ketakutanku pulang?”
“Kau tak perlu lepaskan kenangan, cukup terima bila semua telah terbang bersama angan. Jalanmu masih panjang, jangan biarkan hatimu menjadi pajangan di tempat yang berlubang. Jangan lagi tengok ke belakang, cukup ingat ada aku di depan. Aku akan menjaga dan menemanimu hingga masa mendatang.”
“Tahukah Oppa, ini adalah tempat terakhir yang aku kunjungi bersama kedua orang tuaku. Dan kini, di tempat ini pula akan aku ikhlaskan lukaku. Akan ku bangun masa depanku. Bersamamu.”
“Tak perlu terburu-buru. Kita akan lakukan bersama, dirimu dan diriku. Lepaslah luka lalu, bangkitlah demi masa depan.”
Entah apa saja yang telah aku lewati, dahulu hatiku rasanya masih saja terkunci, di tempat yang tak ku tahu pasti. Tiba di sini bagai sebuah takdir, sebuah rasa tiba-tiba mengalir, hangatnya menjalar hingga buatku berpikir, apakah semua ini adalah akhir dari sebuah tabir? Beban yang menghimpit hilang begitu saja tanpa pamit.
“Apa kini masih terasa berat? Atau malah hatimu menghangat? Melihat dari auramu nampaknya hatimu jadi meghangat. Akhirnya aku melakukan sesuatu yang tepat dengan membawamu kembali ke tampat ini.”
Tanpa banyak kata kami mengakhiri perjalanan hari ini dengan hati yang lebih ringan, bukan kami, mungkin lebih tepatnya diriku. Diriku yang telah mampu terlepas dari jerat luka tak kasat mata yang membelenggu jiwaku.
“Hari ini cantikmu memancar lebih cerah dari hari-hari lainnya. Teruslah bahagia, karena kau pantas bahagia, dan aku pun akan selalu bahagia bersama denganmu.”
Sisa perjalanan kami diisi dengan napak tilas perjalanan masa kecilku. Kami berdua mengunjungi Taman Soekasada Ujung di mana terdapat bangunan peninggalan Kerajaan Karangasem yang dahulu digunakan sebagai tempat peristirahatan, selanjutnya kami mengunjungi Tirta Gangga yang juga merupakan peninggalan kerajaan yang dahulu dipergunakan sebagai lokasi pemandian. Serta kami mencoba berbagai kuliner khas Pulau Dewata. Kami mengakhiri perjalan kami kali ini dengan indah.
Aku berjanji, akan membuka peluang lagi untuk pulang, aku tak akan izinkan luka kembali datang. Meskipun belum hilang, jiwaku telah siap kembali bertualang, dengan dia si pejuang yang telah berhasil memenangkan hatiku serta mengembalikan jiwaku. Menghadapi luka tak selamanya berujung petaka, kau malah akan terlepas dari belenggu sengsara.