Sore itu, Seulgi berencana menyambut kepulangan suami dari dinas luar kota dengan menyajikan menu favorit bersama, nasi goreng pete. Rasanya sudah tak sabar menangkap satu keceriaan hari itu. Penantiannya terjawab ketika suara derit pintu masuk ke telinga. Segera Seulgi berlari kecil keluar dari dapur menyambut pujaan hati.
“Mas, sudah pul—“
Kalimatnya terputus kala mendapati tangan sang suami memegang sesuatu. Sayangnya, itu bukan oleh-oleh melainkan tangan seorang wanita. Seulgi menatap paras wanita itu. Cantik. Ribuan prasangka berputar di kepalanya. Namun, ia masih berusaha berpikiran positif, mungkin tukang galon.
Tapi kok digandeng?
“Seulgi, ini Eunji. Aku akan menikah dengannya.”
Bak tersambar petir kemudian diseruduk rombongan pawai tujuh belasan di siang bolong, Seulgi terhenyak dengan pernyataan suaminya.
“Ma-maksud kamu apa, Mas? Kenapa?”
“Aku sudah bosan denganmu.”
Seulgi terbelalak. Bulir air matanya mulai menetes tak mampu menahan kenyataan.
Lalu, secara dramatis sebuah lagu berkumandang,
Ku menangiiiiiis… membayangkan
Di luar layar televisi, malam itu Kim Jisoo mengambil tisu terakhir untuk menyeka air mata. Perempuan itu lalu mencomot gorengan terakhir guna menyumpal lambungnya yang masih meminta asupan nutrisi. Padahal, sebelumnya ia telah menghabiskan satu porsi siomai ikan sapu-sapu.
“Gue paling enggak bisa nih diginiin! Seulgi kurang apa coba? Dia baik, cakep, lemah lembut, dikit-dikit berdoa. Dasar suami komodo!” Jisoo mulai mengumpat.
Perempuan yang satu ini adalah sampel pecinta FTV tingkat akut. Sebuah stasiun televisi secara konsisten menyajikan tayangan tersebut dari siang hingga malam tanpa jeda, seolah memanjakan kebutuhan Jisoo. Kamar indekos menjadi saksi kalau sehari saja tak menonton, ia bisa koma.
“Jisoo, hihihi.”
Konsentrasi Jisoo berantakan setelah sahutan mirip salah satu varian kuntilanak menyeruak bersamaan dengan kepala yang menyembul dari balik jendela kamar. Kepala Jennie, sahabat sekampus sekaligus tetangga kamar Jisoo.
“Lo bisa enggak sih nongol dengan cara wajar?”
“Enggak.” Jennie melangkah masuk. “Eh, kenapa lo nangis? Kelinci lo diculik?” “Ini ftv-nya sedih banget tauk.”
“Dasar lemah!”
“Kalo lo ke sini cuma mau ngeledek gue, mending lo minggat ke Uganda sono.” Jennie nyengir.
“Jis, jajan mie ayam yuk. Mau curhat.” “Yah, gue udah makan, Jen.”
“Kalo gitu kita ke kafe belakang aja gimana? Minum bandrek sambil main catur.”
***
“Jen, kuda tuh jalannya zig-zag ya?”
“Iya, kalo kuda lo mabok.”
Seumur hidup Jisoo tak pernah menyentuh papan catur. Satu-satunya papan yang akrab dengannya adalah papan tulis.
“Mau curhat apa lo?” tanya Jisoo setelah memutuskan untuk berhenti bermain karena sadar telah dicurangi.
“To the point aja ya. Comblangin gue dengan Jin dong.”
Alis Jisoo terangkat. “Wah, kalo itu bukan ranah gue, Jen. Tapi gue punya om yang sering komunikasi ama demit. Mau gue kasih nomornya?”
“Bukan Jin yang itu, bebek. Kim Seok-jin! Anak akuntansi.” “Lo serius?”
“Serius. Tolong dong, Jis. Gue pengin paling enggak sekali seumur hidup punya pacar ganteng. Menurut lo dia ganteng enggak?”
“Lumayan sih. Tapi keteknya bau, Jen.”
“…”
Jennie terkejut kala mendengar fakta bahwa makhluk sebombastis Jin ternyata memiliki kekurangan yang signifikan. Namun, Jennie tak ambil pusing sebab bau badan bukanlah penyakit tanpa obat.
“Biarin dah. Tapi lo mau bantu gue kan, Jis?”
Jisoo menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sejatinya ia tak memiliki kompetensi dalam jodoh-menjodohkan manusia. Satu-satunya makhluk hidup yang berhasil ia jodohkan adalah kelinci.
“Gue coba deh.” Mau tak mau, Jisoo mengabulkan permohonan Jennie. Selain karena mereka bersahabat, Jennie sangat berjasa dalam menunjang finansial Jisoo. Ia kaya. Jika Jennie adalah putri raja, maka Jisoo adalah ulat bulu. Positifnya, Jennie sangat royal berbagi harta dengan teman-temannya, khususnya Jisoo.
“Makasih, Jis! Lo emang sahabat gue yang baik. Mau camilan lagi enggak?” “Boleh.”
“Mas! Sukun goreng lima ya!”
***
Jisoo dan Jin telah berteman lama walau berbeda jurasan. Mereka sama-sama berkecimpung di Divisi Humas BEM Fakultas Ekonomi di sebuah kampus daerah Jakarta Barat. Siang itu, Jisoo mendapati Jin sendirian di dalam sekretariat dengan wireless earbud tertancap di telinga. Kepalanya mengangguk-angguk dan dari gerakannya, Jisoo menerka ia sedang menikmati alunan musik hip-hop terkini.
Boleh juga selera musik si Jin, pikir Jisoo. Dan, asumsi Jisoo berantakan setelah Jin bernyanyi pelan, ‘Cendol-cendol… dawet-dawet…’
Sebelum syaraf otak Jisoo semakin berantakan, ia mencolek Jin.
“Hai. Ada apa?” jawab Jin sembari melepas perangkat yang ada di telinga.
“Karena kita udah temenan lama, gue mau blak-blakan nih sama lo. Tapi sebelumnya gue minta maaf, mungkin ini akan nyakitin,” ucap Jisoo membuka forum.
“Si-silakan, Jisoo.” Jin berusaha menyiapkan mental. “Ketek lo bau.”
“…”
Jin melongo.
Bagi Jisoo, ini adalah langkah awal mengeksekusi amanah dari Jennie. Ia tak ingin menjodohkan sahabatnya dengan pria beraroma gas pemusnah masal. Ia ingin ketika Jin dan Jennie bertemu, tidak ada risiko infeksi pernapasan.
“Masa sih?” Jin tak percaya.
Jisoo teringat satu artikel yang pernah ia baca bahwa sebagian orang memang tak sadar akan aroma tubuhnya sendiri. Kini, Jin seolah memaparkan fakta bahwa artikel tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
“Iya. Sorry, Jin. Tapi ini demi kebaikan lo.”
“Pantesan setiap rapat gue disuruh beli gorengan ke Purwakarta,” ujar Jin seperti menemukan jawaban atas pertanyaan hidupnya selama ini.
“Tapi tenang, gue ada solusinya. Sekarang udah ada teknologi yang namanya deodoran.” Jisoo lalu mengambil satu deodoran dari dalam tas dan memberikannya pada Jin. “Oles tiap hari ya.”
Mata Jin berbinar menerima pemberian Jisoo. Setidaknya, ia senang akan dua hal; pertama, seseorang telah jujur sekaligus menolongnya. Kedua, perhatian Jisoo terasa tulus.
“Besok malam lo kosong?” tanya Jisoo. “Kosong. Kenapa?”
***
Malam itu, duet Jennie-Jisoo telah berada di restoran bakmi Jawa bernama “Bojo Loro” untuk menunggu kedatangan Jin. Walau namanya memicu sentimen negatif dari beberapa kalangan, kelezatan masakannya cukup kondang di kalangan masyarakat sekitar. Jisoo memutuskan bertemu di tempat itu dan Jennie segera melayangkan gugatan.
“JEN, LO KOK MILIH TEMPAT INI SIH?”
“APA?”
Selain menyajikan bakmi jawa, restoran Bojo Loro secara berkesinambungan memutar tembang campur sari dengan volume suara setara konser dangdut pantura. Hal tersebut membuat pengunjung – termasuk Jennie dan Jisoo – sering mengalami disorientasi informasi kala berkomunikasi. Walhasil, mereka harus mengeraskan suaranya hingga beberapa desibel.
“KITA NGOMONG KERAS-KERAS GINI BERASA KAYA OPERATOR MESIN
BUBUT DI PABRIK BAJA ENGGAK SIH?” keluh Jennie lagi. “HAH? OPLET BUTUT?”
Sebelum Jennie berubah menjadi beruang dan memangsa Jisoo, ia segera menggeret sahabatnya untuk migrasi ke tempat lain yang lebih manusiawi. Jin yang baru muncul di pintu masuk, segera ditarik keluar sebelum mengalami gangguan pendengaran.
Tak jauh tampak sebuah warung kopi yang sepi. Jennie usul untuk mengobrol di sana. Bukan tempat yang sempurna memang, tetapi setidaknya mereka tidak dihadapkan dengan suara bom atom. Jisoo dan Jin mengangguk setuju setelah membayangkan semangkuk mi instan rebus dengan potongan cabai rawit.
“Jin, ada request khusus untuk mi rebusnya?” tanya Jennie. “Request?”
“Yah, kadang kan orang suka kuahnya dibanyakin, cabenya dibanyakin, atau perasaannya dibanyakin. Ehehe.. becanda,” jawab Jennie genit sambil menyibak rambut panjangnya.
Jin tersenyum sopan.
“Jadi, sekarang Jin sibuk apa nih?” Jennie berbasa-basi sekembalinya dari memesan makanan. Ia memandangi Jin yang terlihat begitu perlente malam itu. Relief wajahnya lebih muda dari usianya, rambutnya terlihat halus karena rajin perawatan, membuat detak jantung Jennie memainkan salah satu lagu rock and roll.
“Sibuk gini-gini aja kok, Jen,” jawab Jin singkat lalu beralih ke Jisoo. “Jisoo, udah liat desain poster seminar yang gue email? Gimana menurut lo?”
“Bagus kok, keren.” Jin tersenyum lebar.
“Ooh, Jin jago desain ya? Belajar di mana? Kapan-kapan Jennie mau dong diajarin,” sambar Jennie lagi.
“Autodidak aja. Boleh,” jawab Jin singkat tak begitu antusias. Kontras dengan hal tersebut, ekspresinya berubah segar setelah kembali beralih ke Jisoo.
Jin ternyata bukan pria pendiam. Ia cukup banyak bercerita, mulai dari hal ringan seperti selera musik, hingga hal rumit semacam konflik timur-tengah. Terlihat positif, tapi tidak untuk Jennie. Kata demi kata yang terlontar dari mulut Jin lebih merupakan reaksi dari obrolannya dengan Jisoo, bukan Jennie. Padahal, Jennie telah berupaya mencari perhatian lebih dengan menceritakan kisah-kisah hidupnya sekaligus mengobral pujian terhadap Jin.
“Jennie ini keren lho, Jin. Dulu waktu kecil dia pernah menang lomba bakiak tingkat kecamatan! Keren kan? Dia juga jago main catur.” Jisoo yang paham akan ketidaknyamanan sahabatnya mencoba berpromosi walau secara konteks tidak relevan.
“Oo gitu,” jawab Jin garing.
Dan, acara mengobrol berlalu tanpa adanya perubahan atmosfer. Jennie merasa harapannya mengecil, bahkan cenderung menghilang. Ia merasa Jin justru menaruh rasa pada Jisoo. Di lain sisi, Jisoo tak enak hati.
***
Seminggu berlalu, ekspektasi yang dicanangkan Jisoo berputar arah. Jennie dan Jin semakin menjauh layaknya pengutang dan pemberi utang. Sebaliknya, justru Jisoo yang semakin dekat dengan Jin. Menurut indikator keberhasilan sebagai mak comblang, Jisoo berada di titik minus sepuluh setelah melanggar kode etik dilarang menyukai target klien.
Pertahanan gadis itu runtuh setelah seminggu ini kehadiran Jin membombardir hari- harinya. Beribu curhat melayang melintasi udara maupun frekuensi digital. Bersamanya, Jisoo merasa cocok. Seperti malam ini, kala Jin menceritakan sudut pandangnya dalam sebuah sambungan telpon mengenai tipe wanita yang didamba.
“Baik doang?” tanya Jisoo memastikan bahwa kalau sifat baik menjadi satu-satunya kriteria, berarti dia termasuk di dalamnya. “Walau jalannya ngesot? Walau bulu idungnya keluar jalur?” tanya Jisoo lagi.
“Iya. Lagian sisi fisik seperti itu bisa direnovasi, kok.”
Direnovasi? Emangnya ruko?
Satu bunga baru di hati Jisoo mekar. Ternyata, Jin tak cuma tampan. Tidak menilai seseorang dari fisiknya menambah nilai positif pria itu.
“Jisoooo…” sebuah suara bernada seriosa mendadak muncul memecah fokus Jisoo. Ia menoleh dan menemukan kepala Jennie – seperti biasa – muncul dari balik jendela kamarnya. Jisoo terkejut dan sontak tanpa pamit mematikan ponsel.
Jennie lalu masuk dan bertanya, “Abis nelpon siapa? Jin ya?”
Itu bukan pertanyaan yang diharapkan Jisoo. Ia bukannya tak punya hati. Ia sadar betul telah mengkhianati kepercayaan sahabatnya dengan “mencuri” pria yang disukai. Atas nama persahabatan, mau tak mau Jisoo harus jujur.
“Lo enggak marah, Jen?”
“Ngapain marah? Lagian gue lagi ditahap ngegebet aja kok, jadi Jin masih milik masyarakat. Santai…”
Jisoo lega luar biasa. Ia bersyukur Jennie menanggapinya dengan lapang dada.
Artinya, kini dirinya dapat melaju tanpa hambatan menuju Jin. “Thanks ya, Jen. Trus sekarang ada yang bisa gue bantu?”
“Enggak, Jis. Gue cuma mau ngajak lo main gaple sambil minum STMJ. Yuk!” “…”
Belum sempat mengiakan ajakan Jennie, sebuah pesan dari Jin mendarat di ponsel Jisoo. Pria itu mengajaknya bertemu besok untuk membicarakan sesuatu. Secara naluriah Jisoo yakin,
Wah, gue bakal ditembak nih!
***
Malam itu, Jisoo dan Jin tengah berada di bawah naungan cahaya temaram kafe dengan aroma kopi yang menyegarkan. Alunan musik jaz pelan menyusup ke telinga, menambah romantisme. Mungkin satu-satunya hal negatif dari tempat itu adalah harga makanan yang mampu membuat Jisoo terjerembab di garis kemiskinan. Namun, malam itu ia selamat sebab Jin secara bertanggung jawab mentraktirnya.
Sebagai wujud dari betapa pentingnya malam itu, Jisoo telah berdandan habis-habisan hingga menyentuh level kecantikan paripurna. Rambut panjangnya sengaja digerai untuk memancarkan sisi feminim. Sentuhan eyeliner mengikuti lekukan mata mungilnya, membuat semakin bercahaya. Terakhir, aroma parfum mahal – yang ia pinjam dari Jennie – menambah percaya diri. Bagi Jisoo, itu sempurna, sesempurna Jin yang tak kehilangan kulit putih bersih penopang wajah tampan ala baby face.
“Lo cantik banget hari ini,” puji Jin tanpa melupakan senyum. Pipi Jisoo memerah malu sekaligus bahagia. “Lo juga, Jin.”
“Cantik juga?”
“Eh, cakep maksudnya,” ralat Jisoo penuh kekikukan. Jin tertawa, Jisoo meleleh.
“Hmm, Jisoo…” ucap Jin membuka topik. “Terima kasih waktu itu lo udah berani jujur dan ngebantu gue mengatasi masalah itu dengan deodoran.” Jin memberi gestur tanda kutip pada kata itu.
“Oh, gue cuma coba membantu.”
“Tapi itu berarti banyak buat gue, Jisoo. Di antara semua teman, cuma elo yang apa adanya membantu gue untuk masalah itu. Dan semakin ke sini gue ngerasa kalau lo bisa jadi sahabat yang baik untuk gue.”
Hah? Sahabat?
“Gue bisa cerita apapun ke elo, Jisoo. Benar-benar membuat gue nyaman bersahabat dengan lo. Thanks ya.”
Jisoo mengangguk.
“Untuk itu gue mau share sebuah rahasia sekaligus minta bantuan lo.”
“A-apa itu?” Perasaan Jisoo semakin tak enak.
“Lo kenal Lisa?”
“Lisa yang mana nih?” Ada dua Lisa yang Jisoo kenal. Pertama, Lisa tukang parkir jurusan, bernama asli Liswanto dan secara brutal teman-teman memanggilnya Lisa. Lalu, Lisa yang ke dua adalah,
“Lisa temen jurusan lo, Jisoo. Yang kalo jalan anggun banget kaya model Rusia, yang suka bantuin nenek-nenek nyebrang itu.”
“…”
“Gue suka ama dia. Comblangin gue, dong, Jisoo.”
“…”
Dada Jisoo sesak. Di titik itu, ia seperti hanyut terbawa ombak tsunami entah ke mana beserta harapan-harapan palsu yang menyoraki kemalangannya. Di titik itu pula, ia menandai kata comblang sebagai kata paling haram sedunia.
***
TAMAT