Cita & Asa

Cita & Asa

cindy

5

Suara tangis bayi memecah hening di ruangan kecil yang sudah terlihat kumuh itu. Waktu di dinding menunjukkan pukul 18.30. Seorang perawat mencatat waktu yang ia lihat barusan ke dalam buku berwarna hitam yang ia pegang. Perawat lainnya menggendong bayi itu dan mendekatkannya kepada sang ibu.

"Ibu, selamat ya anaknya perempuan" demikian kata sang perawat seraya meletakkan tangan mungil sang bayi mengelus pipi ibunya yang masih setengah sadar akibat pengaruh obat bius.

"Anak saya lengkap, Sus?" kata sang ibu seraya memaksakan matanya untuk terbuka dan mencoba memegang wajah si bayi yang menggeliat.

"Lengkap, Ibu. Sehat dan lengkap semuanya. Saya bawa dulu anaknya ke kamar bayi ya" jawab sang perawat sambil mulai berjalan membuka pintu geser dan meninggalkan ruang itu. Seketika ruang yang tadinya riuh oleh suara bayi menjadi hening kembali. Dokter melanjutkan proses penjahitan agar tertutup kembali, sedangkan sang ibu terlihat sudah tertidur kembali. Mungkin ia lelah, mungkin juga ia sedih. Tidak ada suami yang menunggu di luar ruang operasi. Tidak ada sanak keluarga yang menantikan kelahiran bayi ini. Kelak anak ini diberi nama Cita.

Ratih dan Bimo menikah ketika umur Ratih baru menginjak 18 tahun. Ratih dan Bimo bertemu di desa tempat Ratih tinggal ketika Bimo sedang bertugas membangun sebuah gudang industri pertama di desa itu. Bimo-lah yang menjadi kepala proyeknya. Bimo yang sudah berumur 30 tahun bertemu dengan Ratih yang tidak sengaja lewat di depannya ketika hendak menuju pasar. Bimo jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Ratih. Hanya sebulan berselang sejak pertemuan mereka, Bimo melaksanakan niatnya untuk melamar dan menikahi Ratih. Bimo pergi menemui orang tua Ratih dan meminta ijin untuk membawa putri satu-satunya ke Jakarta. Ratih yang belum pernah menjalin hubungan dengan lelaki manapun langsung terpikat dengan ucapan dan gerak cepat sang pria. Akad nikah diadakan secara sederhana di kediaman Ratih, dan keesokan harinya Bimo langsung memboyong Ratih menuju ibukota. Tidak pernah terbersit sedikitpun di benak Ratih bahwa kehidupan kedepannya akan berliku-liku bak air laut yang diterjang ombak tinggi.

Pada awalnya, kehidupan Ratih dan Bimo begitu indah dan harmonis. Bimo membawa Ratih tinggal di sebuah rumah besar dengan taman yang luas. Setiap hari, Ratih tidak perlu lagi bangun pada dini hari untuk membersihkan rumah dan mencuci baju karena Bimo sudah menyiapkan beberapa asisten rumah tangga untuknya. Yang dilakukan Ratih hanya memasak untuk sang suami. Hidup Ratih bagaikan di film-film yang sering ia lihat dulu dari televisi di rumah kepala desa. Bimo juga bersikap begitu romantis kepadanya. Setiap bangun dan sebelum tidur, Bimo selalu mengecup lembut pipinya dan mengucapkan kata-kata indah yang membuatnya melayang.

Namun, semua itu sirna ketika pada bulan berikutnya, Bimo mendapati Ratih mengandung. Sikap Bimo mulai berubah dan menjadi kasar terhadapnya. Maki dan cacian menjadi sarapan sehari-harinya. Bimo juga menjadi ringan tangan. Muka dan tubuh Ratih sedikit demi sedikit penuh dengan lebam dan bengkak berwarna biru akibat pukulan Bimo. Hingga puncaknya, pada bulan ketujuh kehamilan Ratih, Bimo membawa pulang perempuan lain dalam keadaan mabuk. Ratih yang kaget mengkonfrontasi Bimo, malah mendapat lima tonjokan di pipi dan tubuhnya. Ratih yang sudah tidak kuat lagi memutuskan untuk meninggalkan Bimo. Ia yang hanya mengantongi sejumlah uang yang mungkin hanya cukup untuk makan sehari-hari selama satu minggu pun pergi ke sebuah rumah susun terpencil di sudut kota Jakarta dan menyewanya. Beruntung, sang pemilik rusun mengizinkan Ratih untuk tinggal dulu sementara ia pergi mencari kerja dan membayar sisa sewanya. Ratih pun mendapat pekerjaan menjadi pelayan di sebuah rumah makan di dekat rusun. Begitulah Ratih pelan-pelan mengumpulkan sepeser demi sepeser untuk membiayai kehidupannya dan juga kehidupan sang putri, Cita.