" Kau harus ikut pulang! Pokoknya kau harus ikut pulang bersama Bapa dan Nande mu ini kalau kau masih menganggap kami orangtuamu. Toh kau sudah wisuda kan? Apalagi yang kau kejar disini? Pulang bersama kami besok, biar Bapa pesan tiket kita bertiga ke Medan kita pulang ke Kabanjahe"
" Apalagi Bapa bilang? Ya pekerjaan lah. Tujuan setiap orang kuliah itu supaya bisa kerjalah pa." Ngapain aku capek - capek kuliah, jauh pula harus ke luar kota kalo toh harus kembali pulang kampung ke Kabanjahe. Aku tak mau, aku mau tetap tinggal di sini Pa."
" Berani kau membantah Bapa mu ini? Mau kau dihapus dari kartu keluarga? Tak akan ada harta warisan atas namamu." Sepertinya bapa tak main - main dengan ucapannya. Namun aku tak khawatir karena aku bukan anak manja yang hanya berharap harta peninggalan orangtua.
" Tak masalah jika aku tak dapat harta warisan. Lagian buat apa berharap harta warisan! Aku bisa mencari uang sendiri. Berdiri di kaki sendiri jauh lebih hebat dibandingkan mengharap warisan orangtua."
" Kenapa baru sekarang kau ngomong begitu? Kenapa tidak dari 4 tahun lalu sebelum kau berangkat dan berkuliah di Ibu Kota Jakarta ini? Sudah ku relakan beberapa kebun sayur dan kebun cabeku dijual hanya untuk membiayai hidupmu di perantauan ini supaya kau bisa berkuliah dan punya kehidupan yang enak disini. Tak seperti kami ini yang hanya tamatan SMA saja. Tak pernah menikmati bangku kuliah karena kehidupan bolangmu dulu yang morat - marit. Sekarang saatnya kau membalas kebaikan kami orangtuamu."
" Terus saja Bapa ungkit apa yang Bapa berikan untukku! Tahu begitu lebih baik aku tak usah dilahirkan saja sekalian. Jadi Bapa tidak perlu menjual apapun. Aku juga tak hidup tertekan seperti ini."
Ingin rasanya aku keluar dari kamar kosanku yang berukuran 3x3 meter ini. Berlari kekosan kawanku supaya aku gak mendengar ucapan bapaku yang selalu ingin menang sendiri. Bapa yang Otoriter dan selalu mengungkit apa yang diberikan untuk anak-anaknya.
" Nada! Ngomong apa kau barusan nakku? Tak ada sopan mu berbicara begitu pada Bapamu ya nakku. Harusnya, semakin kau mendapatkan gelar sarjana, sopan santunmu juga semakin bertambah bukan semakin merosot seperti ini. Apa gunanya gelar sarjanamu? Cuma buat cari kerja saja? Atau sekedar menambah panjang namamu nakku?"
Nande tiganku yang sejak tadi hanya diam dan mendengarkan kami berdua beradu mulut, akhirnya angkat bicara juga. Seperti biasa nande tiganku akan berusaha menjadi penengah antara aku dan bapa jika kami sedang beradu pendapat seperti ini.
" Tak ada niatku untuk bersikap kurang ajar pada Bapa! Tapi Bapa selalu saja ingin menang sendiri. Bapa tak pernah mau mendengarkan pendapatku. Buat apa membesarkan dan menyekolahkan anak kalau ujung-ujungnya diungkit seperti ini? Tak ada anak yang mau dilahirkan! Orangtua yang menginginkan anak. Kalau Bapa mengungkit-ungkit apa yang sudah Bapa berikan untukku, hanya akan menambah dosa Bapa saja.
" Aku tak butuh nasehatmu! Kau yang butuh nasehat Bapa karena kau anak dan aku Bapamu. Patuhi dan dengarkan aku."
" Tapi Pa? Aku?"
" Masih berani kau cakap? Dasar anak durhaka."
BRAKKK...
Bapa memukul meja belajarku hingga terbelah dan terbagi dua.