Uniknya ia selalu mengenakan sarung saat bertemu kelompok kkn kami di teras rumah untuk berdiskusi. Katanya nyaman. Seperti saat ini, kami tengah mendiskusikan pengadaan taman baca.
“Ekhem”
Lani pura-pura mendeham sambil menyenggol lenganku, menatapku lalu matanya melirik pemuda itu. Lantas ia tersenyum, sengaja menggodaku. Aku hanya membalasnya dengan gelengan kepala, tanda tak ingin menghiraukan godaannya. Saat ini kami tengah berdiskusi terkait penataan ruang taman baca. Aku dan pemuda itu banyak memberikan saran, atau lebih tepatnya diskusi ini terasa milik kami, sebab aku dan dia adalah manusia yang sama-sama mencintai dunia buku, mungkin ini juga yang membuat godaan Lani menjadi-jadi. Kawan-kawan yang lain juga kudapati ikutan senyam-senyum menggodaku, dasar!
***
“Awas tuh keliatan”
“Apanya?” tanyaku pada Lani saat tengah menunggu pesanan ayam geprek kami, ini jam makan siang, apesnya aku yang diajak Lani membelikan titipan makan mereka semua yang tengah terlibat diskusi.
“Perasaannya lah Ra”
“Heh nggak ya, ngawur”
Lani hanya membalas dengan mencibirkan mulutnya, tidak setuju dengan penuturanku.
***
“Ra, penataan bukunya di rak depan biar kamu yang cek, ya?” pinta Mas Gusti setelah mereka sampai di taman baca, tak jauh dari rumah Mas Gusti. Tempat ini adalah pemberian desa, tak terlalu luas namun cukup. Hanya terdiri dari satu ruangan luas, satu kamar mandi, dan teras kecil. Dindingnya tengah diwarnai cat baru oleh beberapa kawan, cokelat muda, terasa lebih hidup.
“Oh iya mas, tapi itu mas…”
“Kenapa?”
“Separuh bukunya masih ada di posko, motornya lagi dipake semua soalnya, jadi belum diambil”
Mas Gusti langsung mengecek halaman taman baca, memang tak ada motor terparkir di sana, motor teman-teman yang lain sedang digunakan untuk wira-wiri mencari kekurangan yang dibutuhkan.
“Ya udah yuk” Mas Gusti kembali ke hadapanku.
“Hah, yuk?”
“Iya ayuk dianter aku, aku ambil motor dulu sekalian ganti celana” Mas Gusti berlalu meninggalkan taman baca menuju rumahnya, sementara aku menunggu di teras taman baca.
***
“Kita nyari minum dulu ya Ra?” ajak Mas Gusti setelah mengambil buku dari posko.
“Eh, terus ini bukunya gimana mas?” aku menunjuk buku di kardus yang aku tenteng, dan ada buku lain di jok depan.
“Gapapa kita taruh di deket motor dulu”
Aku cuma manggut-manggut bingung, kok tujuannya jadi belok ke kedai kopi. Tapi kalau dipikir lagi nggak ada salahnya, temen-temen yang lain juga paling lagi istirahat setelah salat ashar.
“Sini Ra”
Aku mengekor Mas Gusti, ia memilih tempat duduk persis di sebelah jendela terbuka. Pemandangan dari jendela menghadap sawah dengan isi tanaman padi yang mulai menguning. Ini suasana sore yang hangat, sebentar lagi pasti senja hadir di antara kami.
“Seneng ya? Anak senja, kan?” timpal Mas Gusti dengan nada mengejekku yang tengah menikmati suasana syahdu di depan mata kami
“Aku anaknya bapak ibuku di rumah kok mas, bukan anak senja” kataku dengan nada tak suka.
“Hahaha iya deh Ra. Eh bentar lagi selese dong kkn nya?”
Aku menjawab dengan anggukan kepala, sementara tanganku ikut membenarkan posisi minum yang baru disajikan.
“Padahal asik loh punya kawan diskusi soal buku”
“Temennya Mas Gusti kan banyak, ajakin mereka biar suka sama buku, nanti jadi ada temen diskusi soal buku”
“Yahhh, susah ngenalin buku ke orang-orang yang nggak ada minat”
“Hehehe, iya sih bener”
“Tetep lanjutin obrolan kita ya Ra” pinta Mas Gusti
“Maksudnya mas?”
Mas Gusti hanya menjawab dengan senyum lesung pipitnya sambil menatapku. Aku mulai terperangkap, sial!
***