Cinta Berdarah Biru

Cinta Berdarah Biru

NDilla

0

"Perkenalkan nama saya Rijal, Pak. Saya datang ke sini dengan tujuan ingin berkenalan lebih jauh dengan putri bapak, Himma. Jika Allah hadirkan kecocokan diantara kami maka in syaa Allah saya akan datang membawa orang tua saya ke sini untuk melamar Himma, Pak."

"Nak Rijal ini sukunya apa?"

"Ayah dan Ibu saya orang asli Melayu, Pak. Jadi, saya ini orang Melayu. Hanya saja, saya tidak memiliki gelar Raja seperti bapak dan Himma".

"Maaf, Nak. Bapak hanya akan menikahkan Himma dengan lelaki melayu keturunan Raja. Untuk itu, proses taaruf ini tidak perlu dilanjutkan lagi."

"Maafkan saya, Pak. Kalau begitu saya undur diri dulu. Semoga Allah ridhoi perjumpaan kita hari ini. Assalamu'alaykum warohmatullahi wabarokatuh".

"Wa'alaykumussalam warohmatullahi wabarokatuh".

Lelaki itupun pergi dengan menjabat tangan Abah penuh takzim. Pemandangan ini sudah kesembilan kalinya aku saksikan. Sedih? Tentu. Diusia yang sudah kepala tiga, aku sudah sangat mendambakan untuk hidup berumah tangga seperti teman-temanku lainnya. Apalagi ada yang menyebutkan jika seorang perempuan terlambat menikah, bisa jadi ia akan sulit untuk memiliki keturunan. Na'udzubillah. Dan yang lebih menakutkan lagi dari itu, aku tidak ingin lagi dilangkahi oleh adik bungsuku. Suatu kenyataan yang sangat menyakitkan ketika adikku, Hanna, menikah diusia yang bagiku sangat muda, 25 tahun. Ya, waktu itu ia baru lulus kuliah Megister Hukum Keluarga dan secara tiba-tiba ada laki-laki sholeh, anaknya teman Abah waktu sekolah dulu, yang datang melamar Hanna. Selain sholeh, tampan, mapan, dan yang paling penting dari semua itu ia adalah lelaki Melayu berdarah biru. Namanya, Raja Rafiq As-Salim. Tentunya aku yang waktu itu masih berusia 29 tahun sangat bahagia melihat Hanna mendapatkan laki laki yang bisa menjadi pemimpinnya di dunia dan di akhirat kelak. 

"Kakak, maaf. Hanna izin untuk menikah terlebih dulu. Mungkin inilah bagian dari takdir Allah yang harus Hanna jalani. Hanna senantiasa berdoa semoga kakak segera Allah pertemukan dengan lelaki yang tepat". Begitulah ucapan Hanna kepadaku saat sungkeman di acara pernikahannya.

"Terimakasih adikku. Kakak ikut berbahagia bersamamu. Semoga engkau menjadi istri sholehah. Sekarang surga atau nerakamu ada bersamanya maka bijaklah dalam bersikap kepadanya jika ingin bahagia di dunia dan selamat di akhirat. Semoga keberkahan selalu membersamai kalian," ucapku sambil memeluk tubuh mungilnya. Tidak terasa air mata membasahi netraku. Bahagia dan sedih bercampur jadi satu di dalam hatiku. Oh, ya Allah kuatkan aku.

Aku memiliki 2 saudara perempuan. Jarak kami masing masing hanya terpaut 4 tahun saja. Pertama, Raja Hanna. Ia adalah adikku yang sangat pintar, berbadan mungil, cantik dengan gigi ginsulnya yang akan terlihat jika ia tersenyum, dan lemah lembut. Maa syaa Allah, wajar saja jika banyak yang ingin menjadikannya istri. Kedua, adik bungsuku, Raja Habibah. Ia juga gadis yang cantik, pintar, dan lebih energik dibandingkan kami berdua. Saat ini ia bekerja sebagai guru teknik disalah satu sekolah kejuruan yang ada di kecamatan tempat tinggal kami. Maa syaa Allah. Kami bertiga saling menyayangi satu dan yang lainnya. Sejak kecil Abah dan Ibu selalu menasihati kami bahwa berbuat baik terhadap saudara kandung merupakan bagian dari ibadah yang bisa mendapatkan pahala. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah menyebutkan bahwa berbagi terhadap saudara sendiri itu mendapatkan dua pahala; pahala sedekah dan pahala silaturrahim. Maa syaa Allah. Karena itulah kami bisa dikatakan hampir tidak pernah bertengkar. Kami selalu berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan. Bahkan kami lebih mengutamakan saudara-saudara kami dibandingkan diri kami sendiri. Karena itulah ketika Hanna menyampaikan bahwa ia ingin menikah, aku tidak mungkin menghalanginya. Aku sangat menyayanginya. Aku takut jika suatu saat nanti Habibah juga akan meminta hal yang sama kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa menolak permintaannya. Ya Allah, mudahkanlah segala urusanku.

"Himma," panggilan Abah membuyarkan lamunanku.

"Iya Abah,: jawabku sambil bergegas menemui Abah dan Ibuku.

"Himma, untuk kesekian kalinya abah katakan bahwa Abah tidak bisa menerima laki-laki kebanyakan. Laki-laki yang boleh menikahi putri-putri Abah hanyalah laki-laki melayu berdarah biru. Abah berharap kamu bisa lebih mengerti lagi," ucap Abah penuh penekanan.

"Tapi Abah, apakah salah jika Himmaingin menikah dengan laki-laki sholeh yang baik agama dan akhlaknya meskipun ia bukan keturunan Raja seperti kita Abah?" ucapku sambil terisak. Sungguh aku tidak kuat lagi menahan kesedihan ini.

"Himma, sudah ya Nak. Ikuti saja perkataan Abah," Ibu mencoba menenangkanku.

"Himma, ini adalah wasiat dari kakek-kakek buyutmu agar gelar Raja ini tetap melekat pada anak keturunannya. Takkan melayu hilang di bumi. Apapun yang akan terjadi," ucap Abah sambil berlalu pergi meninggalkan aku dan Ibu.

"Sabar ya, Nak. Banyak-banyak berdoa. Ibu yakin kamu akan mendapatkan laki-laki yang tepat." Ibu berkata sambil memeluk dan mengusap punggungku.

"Himma sudah berdoa, Ibu. Tapi proses taarufan Himma selalu gagal lagi gagal lagi dengan alasan yang sama," batinku berucap.