“Mamak? Kenapa lagi dia menelepon sepagi ini? Seperti nggak tahu aja dia aku sedang sibuk-sibuknya,” omelku saat melihat gadget di hadapanku terus bergetar.
Merasa nggak ada yang penting, sebab hari Minggu kemarin Mamak sudah menelepon selama tiga jam sampai-sampai kupingku hampir meleleh, kubiarkan saja benda pipih itu bergetar terus-menerus. Sementara itu, aku tetap fokus pada kertas-kertas yang ada di hadapanku.
“Angkat, Ra!” perintah Sasa yang ada di kubikel sebelahku.
“Kemarin Mamak sudah telepon lama kali, Sa, sampai tiga jam itu."
Mendengar ucapanku, akhirnya Sasa hanya bisa mengangkat bahu sambil tertawa pelan dan kembali bekerja.
Namun, lama-kelamaan, naluriku sebagai seorang anak tergerak juga. Nggak tega juga aku membayangkan Mamak memarahi telepon di tangannya karena nggak mengeluarkan suaraku. Maka dengan berat hati kutekan juga tanda hijau di gadget itu.
"Aa apa, Mak?" tanyaku saat sambungan telepon itu sudah terhubung.
"Eh, ketus kalilah sapaan kau ini. Macam tak boleh Mamak kau menelepon. Padahal macam nak patah tangan Mamak ini menunggu kau bersuara. Kau tahu Mora, kata Bapakmu, ini telepon pintar. Tapi, Mamak tengok, bodoh kalilah dia. Berualang kali Mamak katakan padanya untuk menghubungkan Mamak dengan kau, tapi tak dilakukannya pula. Setengah gila Mamak melihat benda ini. Kalau saja ada benda lain yang bisa Mamak gunakan untuk melihat wajahmu, tak mau Mamak menggunakan benda tipis ini." Langsung panjang lebar Mamak bicara, bikin kupingku langsung bengkak dibuatnya. Jadi, aku jauhkan saja benda pipih itu dari telingaku.
Setelah dia terdengar diam, aku langsung bersuara, "Mamak masih mau ceramah? Kalau iya, mending Mamak pergi ke surau dekat rumah. Mamak kumpulkan ibu-ibu di sana, lalu Mamak ceramahlah panjang lebar! Sekarang aku sedang sibuk tak bisa dengar ceramah Mamak. Aku sedang di kantor, Mak. Lagian, semalam kan, Mamak sudah menelepon, sudah ceramah panjang lebar dan bikin kupingku nyaris meleleh karena kelamaan diceramahi."
Dari jauh kudengar embusan napas yang berat sekali di seberang sana. Aku yakin Mamak pasti sangat jengkel karena nggak bisa melanjutkan omelannya. Beginilah nasib anak tunggal, jika Mamak ingin berbagi, tak ada tempat lain untuk menumpahkan uneg-unegnya selain diriku seorang. Nasib, nasib!
"Ah, sudahlah. Kemarin itu Mamak lupa tanya, kapan kau bisa kasi kami cucuk?"
Macam ada bom besar yang tiba-tiba meledak di hadapanku dan bikin hidupku berantakan layaknya orang-orang di Palestina sana. Dengan segera, aku mengumandangkan kalimat istighfar.
"Astagfirullah, pertanyaan macam apa ini, Mak? Aku ini manusia, bukan kucing yang asal bisa kawin tanpa perlu pergi ke KUA."
Sekarang, fix mood-ku jadi berantakan.
"Kalau begitu, cepatlah kau ke KUA!" Perintahnya. Kalau saja aku ada di hadapannya saat ini, aku yakin sudah ditendangnya aku biar segera meluncur ke KUA.
"KUA, Mamak. Kantor urusan agama," jelasku sambil mendekatkan mulutku ke depan telepon.
"Ah, terserahlah apa namanya itu. Yang penting sekarang Mamak mau kau segera berikan kami cucu. Bukan apa-apa, Nang (Nak), Mamak dan Bapak kau ini sudah tua. Takut kami mati sebelum sempat melihat cucu." Kulihat wajah Mamak serius kali saat mengatakan ini.
Apakah ini benar-benar tulus dari lubuk hati Mamak? Namun, aku hanya bisa menarik napas panjang. Mamak seperti nggak mengerti posisiku saat ini. Jangankan memberinya cucu, cowok saja aku nggak punya.
"Sudahlah, Mak, lain kali saja kita bahas masalah ini. Sekarang aku sedang sibuk bekerja. Lagian, sekarang aku belum punya calon yang bisa diajak ke KUA." Kali ini, sengaja aku tak melihat layar, aku pura-pura sibuk menulis dan membolak-balik kertas di hadapanku.
"Kalau begitu ...."
Ah, nggak mengerti sekali orang tua ini. Jadi pura-pura saja aku bersuara.
"Siap, Pak. Saya segera ke sana. Ah, sudah dulu ya, Mak. Aku dipanggil bos. Assalamualaikum, Mamak."
Dengan segera kumatikan sambungan telepon dari Mamak tanpa peduli protes atau menunggu jawaban salam darinya.
"Kualat lo, Ra, gituin bokap lo," ucap Sasa.
Namun, aku nggak mengubrisnya. Kupijat saja kepalaku yang tiba-tiba terasa pusing.
"Lo kenapa? Kusut banget tu muka, udah kayak keset kaki aja,” tanya Sasa sambil tertawa lebar.
“Terus saja kau hina aku. Puas kau bahagia di atas penderitaan orang lain,” balasku kesal.
“Oke, oke, sorry. Lu kenapa?”
“Mamakku minta cucu.”
Kali ini, Sasa nggak bisa lagi menahan diri. Dia tertawa terbahak-bahak, saking besar suaranya, orang-orang di sekitar langsung menoleh ke arah kami. Karena kesal, kucubit saja perutnya.
“Aduuuuh,” keluhnya.
“Makanya, jangan tertawa terus kau.”
“Oke, oke.” Dia mencoba berhenti tertawa. Meskipun, harus menyumpal mulutnya dengan telapak tangan. “Nyokap lu tahu nggak sih kalau lu itu jomlo akut. Jadi, gimana caranya lu mau punya anak? Punya pacar aja nggak.”
Sebenarnya kesal juga mendengar ucapan Sasa. Namun, apa yang dikatakannya memang ada benar, bukan? Jadi, mending aku terima saja semuanya dengan pasrah hinaan ini. “Nah, itu masalahnya, Sa. Ah, tapi sudahlah. Mungkin saja Mamakku baru saja selesai mimpi buruk ketemu setan, makanya dia telepon minta cucu.”
“Mora, Mora, lagian nyokap lu ada benarnya. Sekarang sudah saatnya lu mikirin jodoh. Sekarang kamu sudah 29, kan?”
Karena kesal sama Sasa yang jadi ikutan Mamakku membahas masalah jodoh, kuabaikan saja pertanyaannya.
“Ra, kalau lu mau, suamiku punya teman kantor yang masih jomblo, loh. Katanya, anaknya sudah mandiri,” bisiknya.
Nggak kuhiraukan kembali ucapan ibu satu anak itu. Biasanya kalau sudah pusing dengan pekerjaan seperti saat ini, dia memang suka kumat gilanya dan menggoda orang lain. Dari pada bikin emosi sampai jambak-jambakan seperti biasa, kali ini aku memilih untuk fokus pada pembuatan akta notaris berapa klien yang belum selesai.
“Ra,” Sasa menarik kursinya agar lebih dekat denganku.
“Apa kau?”
“Mau nggak?”
Makin ngelantur saja tampaknya kawan aku ini.
“Ra!” Kali ini dia menarik lengan kemejaku dan bikin aku mau nggak mau jadi menoleh padanya. “Lagian, kenapa sih, lu, Ra, nggak mau punya pacar? Apa lu kena santet dan perlu mandi kembang tujuh rupa baru mau nikah? Lu tu cantik. Lihat! Pipi lu cubby dan ngegemesin.” Dia berdiri dan melihatku dari atas sampai kebawah. “Meskipun kulit lu kuning sawo gitu, tapi mata hitam lu yang sipit bikin tetap cantik seperti Fatin Shidqia Lubis.”
Aku tersenyum menoleh ke arahnya. “Ah, baru sadar kau kalau aku cantik?” tanyaku sambil menggerakkan alis penuh percaya diri.
“Mulai, mulai. Gue serius Mora Nasution. Gue mau cariin lu suami dan memenuhi keinginan nyokap lu.”
“Nggak butuh aku,” jawabku sambil kembali bekerja. Apalagi hari ini aku harus mengerjakan banyak sekali pekerjaan. Mulai dari membuat daftar klapper untuk penghadap, legalisasi, waarmerking dan pengarsipan dokumen.
Namun, konsentrasiku buyar saat tiba-tiba Sasa panik setengah mati seperti orang kebakaran jenggot setelah menerima telepon.
“Kenapa kau, Sa?” tanyaku mencoba menenangkan.
“Gue balik sekarang . Gue izin dulu ke Pak Adit.” Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung menyambar tas tangannya dan pergi begitu saja.
Karena penasaran, kuiikuti saja perempuan yang tingginya kira-kira hanya sampai telingaku.
“Tapi, kenapa kau pulang? Ini masih jam kantor. Kerjaan kau juga belum selesai? Meja kau pun belum dirapikan.”
“Anak gue sakit, Ra.” Air matanya langsung mengalir. “Gue harus dampingin anak gue.”
“Tapi kau belum dapat izin dari Pak Adit.”
“Gue nggak peduli, Ra. Gue pergi sekarang. Nanti gue kabarin Pak Adit lewat telepon aja. Semoga dia bisa ngerti.”
Melihat wajah panik dan sedih Sasa, aku hanya bisa termenung. Ini yang bikin aku nggak mau nikah. Rasanya belum siap aku. Namun, apakah akan seperti ini aku sampai tua? Lalu, bagaimana dengan keinginan Mamak?