Ciao Bella

Ciao Bella

riris.wn

0

Aku mendatangi CD player berbentuk box warna silver yang terletak di pojok ruangan begitu masuk kamar. Beberapa detik kemudian suara Sia yang menyanyikan lagu Never Give Up memenuhi kamarku dengan volume yang cukup keras. Volume CD player itu tidak pernah beranjak dari angka maximal.

'I’ve battled demons that won’t let me sleep’ ~~

Ya, aku tidak suka suasana sepi. Suasana yang justru selalu aku dapatkan ketika pulang ke rumah. Bahkan mulai dari aku memasuki gerbang perumahan, kesunyian sudah langsung bisa aku rasakan. Tidak ada yang menyambutku. Tidak ada yang perlu aku beritahu kalau aku sudah pulang.

Pandanganku teralihkan pada rak buku yang ada di kamar, ketika aku sedang melepaskan anting berbentuk pita hitam dari telinga. Aku mulai menjelajahi rak buku kayu kecil untuk menemukan sesuatu yang bisa menghilangkan pikiran sepiku barang sebentar. Badanku terlalu malas untuk bergerak ke kamar mandi.

“Buku itu bisa membuatmu merasa berada di dunia lain walaupun sebentar,” mungkin kalimat itu yang membuatku berniat untuk mengambil salah satu buku sekarang ini. Kalimat itu adalah ucapan nenek beberapa tahun yang lalu. Beliau selalu mengatakannya agar aku senang membaca juga sepertinya. Nenek adalah wanita yang sangat berbeda dari Mama. Beliau jarang meninggalkan rumah. Lebih senang menunggu kakek yang melakukan perjalanan bisnis. Nenek suka sekali bercerita. Cerita favoritku adalah dongeng tentang dunia peri, putri raja dan kastil-kastil indah. Setiap malam seperti ini beliau mendongengiku yang masih kecil dengan suara merdunya.

Aku merindukannya.

Setahun yang lalu, ketika kakek masih ada. Kita sama-sama merindukannya. Beliau akan mengatakan bahwa nenek tersenyum bahagia melihat dari surga. Namun, sekarang ini aku sendirian. Tidak ada nenek yang selalu menelpon untuk menyuruhku pulang cepat. Tidak ada kakek yang menungguku pulang di kursi goyangnya sendirian setelah nenek meninggal.

Air mataku jatuh. Lagi-lagi aku menangis.

Ya, terkadang aku ingin menemui mereka di surga.

‘No, I won’t never give up no, never give up, no, no’ ~ ~

* * *

Seteguk Green Tea Latte dimanapun dan buatan siapapun bisa membuat moodku menjadi lebih baik. Minuman hijau pekat itu selalu membuat pikiranku menjadi lebih tenang. Terkadang aku merasa lidahku sudah rusak karena tidak ada Green Tea Latte yang terasa tidak enak di mulutku meskipun, itu hanya dalam kemasan botol seperti yang aku minum saat ini.

Mungkin inilah yang disebut sebagai kecanduan. Aku bersyukur tidak kecanduan minuman keras atau obat-obatan lainnya, kerena akhir-akhir ini aku merasa membutuhkan minuman itu lebih banyak dari biasanya.

Distimia. Dysthymic disorder. Gejala depresi yang bertahan hingga 2 tahun dan terjadi hampir setiap hari, lebih banyak hari daripada tidak merasakan kesedihan itu.

Sepertinya aku sudah masuk fase itu. Sekalipun itu hanya diagnosaku sendiri dengan melakukan beberapa pencarian di google. Untuk 2 tahun ini aku hanya merasakan gejala yang ringan. Aku tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri, tidak pernah merasa ingin merasa hilang dari dunia ini atau hal lain seperti yang aku baca tentang tanda-tanda yang menunjukan gejala itu berat. Aku hanya merasa ‘I really hate my life’, ‘I feel lonely’, ‘I want to give up’. Ya, pikiran-pikiran semacam itu.

“Sudah?” seseorang dengan suara baritonnya menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk sambil tersenyum. Senyuman khas Bella yang menurut orang begitu manis. Senyuman tipuan yang aku gunakan sebagai topeng selama bertahun-tahun.

Setelah ke kasir untuk membayar, kami keluar dari mini market itu. Aku membawa 5 botol kemasan green latte dalam plastik dan orang di depanku itu entah kenapa sama sekali tidak pernah bertanya untuk siapa saja dan kenapa aku membeli sebanyak ini. Dia hanya terus berjalan di depanku hingga kita menaiki mobil Lamborghini Gallardo miliknya. Setelah berada di dalam pun aku hanya hanya bisa mendengar suara AC yang berdesis.

Bisa dibilang manusia yang seperti patung ini memiliki andil dalam membuat depresiku tidak bisa terlihat oleh orang lain. Jika orang melihatnya, aku ini adalah sosok wanita yang begitu beruntung bisa mendapatkan seorang Tirta Dananjaya. Pemuda itu mungkin sosok Christian Grey dalam dunia nyata. Perfect. 150 dari nilai total 100.

Aku mengambil cermin kecil dari dalam tas untuk menata rambut ikalku yang beberapa hari yang lalu kubuat menjadi warna golden brown.

“Okee, sampai…” katanya ketika sudah berada di pelataran kampusku. Kalimat pertama yang ia ucapkan setelah dari mini market tadi.

“Tunggu sebentar,” kataku sambil mengeluarkan Diorskin Nude Air Powder shades medium beige dari dalam tas Fendi ‘B bag’ seharga $1,730 milikku. Tenang saja, aku bukan depresi karena aku merasa bersalah telah berhubungan dengan anak seorang miliader dan mengambil hartanya. Aku memiliki semua benda bermerk ini bukan dari dia. Aku membelinya dari gold credit card milik ayahku.

“Nanti dijemput jam berapa?” tanyanya sebelum aku keluar.

“Tidak usah. Aku nanti mau ke kafe The Blossom dulu,” jawabku setelah memastikan wajahku terpulas dengan apik.

Aku keluar dari mobil mewah itu dengan cepat. Tanpa kecupan. Tanpa pamitan sayang. Tanpa apapun.

* * *