THE LAST HOPE

THE LAST HOPE

Fiona Angeline

5

Kuharap semua ini hanyalah bagian dari imajinasi liarku.
Kuharap semua ini hanyalah sisi negatifku.
Kuharap semua mengerti apa yang ingin kukatakan. .

Tapi Tuhan selalu menunjuk ke jalan yang rumit. Tuhan tidak pernah membiarkanku memilih jalanku. Jika aku memilih... Tuhan akan mengubah segalanya. Seakan tidak pernah memberiku kesempatan.

Serakah. Orang tua ku bilang aku serakah. Aku tidak punya mimpi, aku tidak punya masa depan yang pasti.. seakan aku tidak akan pernah sukses di mata mereka. Tetapi mereka tidak pernah tahu.. bahwa aku sebenarnya tidak pernah mendapatkan apa yang kuinginkan.

Inikah yang namanya takdir? Takdir yang Tuhan rencanakan sejak aku lahir?

Karena jika benar, aku lebih memilih untuk mati.


Namaku Min Yoongi, sebut saja Yoongi. Lahir di Daegu pada tahun 1993. Lahir dengan nama yang diharapkan membawa sinar berkilauan. Tetapi layaknya matahari, ia hanya bersinar beberapa jam saja. Posisinya tergantikan oleh bulan, yang disukai oleh banyak orang karena membawa kedamaian.

Dengan penuh harapan, orangtua ku membesarkanku. Sayangnya, mereka membuat jalan hidupku menjadi rumit. Mereka menjatuhkanku hingga aku menjadi seorang anak yang tidak berguna bagi mereka.

Layaknya kompas tanpa jarum, aku hanya bisa berdiam diri. Tidak tahu arah yang membawaku ke jalan yang benar.

"Aku tidak melahirkan anak buruk rupa sepertimu. Kau bukan anakku"

Ayah membenciku. Ayah tidak pernah membiarkanku untuk bebas.

Teman-temanku selalu memuji kesopanan dan kemahiran ayahku dalam berbicara. Mereka terang-terangan membicarakan kebaikan ayahku di depan semua orang. Guru-guruku memintaku untuk menjadikan ayahku sebagai panutan. Kemahiran ayahku dalam berbicara memang patut diacungi jempol.

Sayangnya semua itu busuk. Semua perkataan manisnya hanya untuk menutupi kebusukan dibalik wajah tampan nan polosnya.

Aku muak. Aku murka. Tidak jarang aku dibuat menangis karenanya.

Hanya ada seseorang yang menyayangiku.

Dia adalah nenekku.

Ketika orang tuaku bertengkar, aku akan bergegas keluar dari rumah dan berjalan puluhan kilometer menuju rumah nenek.

Untuk nenek.. aku rela.

"Nenek bikinin nasi goreng ya"

"Teh hangat nya cepat diminum! Gak enak kalo dingin"

Aku menyukai senyuman nenek. Senyuman yang ia tunjukkan ketika aku terlihat lebih berisi. Senyuman yang tidak akan pernah hilang dari memoriku.

"Kalau berisi gini kan nenek jadi lega ya"

Aku bisa mendengar pujian nenek setiap kali aku mampir. Kalau hidupku terus seperti ini, aku bisa hidup dengan bahagia walaupun tersiksa oleh ekspektasi orang tuaku yang tidak ada batasnya.

Sekali lagi, setiap kali aku berharap..

Tuhan akan menjatuhkanku disaat itu juga.

"Nenek mau tidur sebentar ya.. nenek ngantuk sekali"

Nenek meninggalkanku.. untuk selamanya.

Nenek bilang nenek akan tidur sebentar, tapi Tuhan membiarkan nenek untuk tidur sepuasnya hingga aku tidak akan pernah melihat senyuman nenek yang kukagumi. Hingga aku tidak akan pernah lagi.. mendengar pujian dari orang disekitarku.

Angin kencang menerpa wajahku seakan ingin menjatuhkan air mata yang kubendung sejak aku menginjakkan kaki di atas perahu. Hatiku sesak. Air mataku turun begitu saja bersamaan dengan taburan abu yang mulai menjauhiku.

Sejak saat itu.. entah apa yang membuatku bertahan hingga sekarang. Dalam jangka waktu dua tahun, tidak banyak yang berubah. Kalau boleh jujur, ini semakin menyakitkan.

Menatap wajahku yang pucat didepan cermin. Melihat wajah buruk rupa ini membuatku ingin menyerah. Kehidupan seperti ini bukanlah kehidupan yang kuinginkan. Kalau seperti ini, mengapa aku dilahirkan?

Kuhempas badanku diatas tempat tidur. Meringkuk kedinginan. Salju mulai menutupi atap rumah tetangga. Menandakan musim dingin yang resmi telah datang.

Kupejamkan mataku berharap semua ini hanyalah bayangan. Halusinasiku.  Tetapi semakin lama aku memejamkan mata, semua memori menyakitkan itu terputar kembali. Memori itu tidak pernah memberiku jeda.

Kubuka mataku perlahan. Mata sembabku menangkap sosok wanita dari kejauhan. Wanita itu menatapku dari jendela kedai kopi di seberang jalan.

Pandangan kami bertemu.

Entah apa yang membuatku merasa nyaman melihat wanita bertubuh mungil itu. Wanita itu seakan.. memanggilku dari kejauhan.

Ia menggerakkan jemari mungilnya kepadaku. Ia tersenyum manis. Senyuman yang membuat air mataku menetes begitu saja.

Bersamaan dengan butiran salju yang mulai menyelimuti kota Daegu, seorang Min Yoongi akhirnya menemukan senyumannya yang sempat hilang. Semua ini berkat wanita di kedai kopi itu.

‘Lama tak jumpa’

Dia, cinta pertamaku.

●  ●  ●

Seorang remaja pasti pernah berkeinginan untuk memiliki hubungan lebih dari sekadar berteman.

Hal itu terjadi padaku. Orang itu adalah temanku. Aku menyukai senyum manisnya yang jarang ia perlihatkan.

Dia pintar. Dia cantik. Lucunya, ia tidak begitu populer.

Dia pintar bergaul sedangkan aku tidak.

Kami berbeda dan aku menyukainya. Dan aku.. tidak akan bisa memilikinya. Salahkan aku yang terlalu berharap.

Ini adalah kisahku. Kisahku dengan si dia.

Orang yang paling kusayangi.

Aku bisa melihat diriku dua tahun yang lalu dibalik jendela diatas tangga ini. Tangga yang membawaku ke masa lalu.

Masa lalu yang sedikit lebih cerah dibanding sekarang.

Diriku yang berumur 13 tahun terlihat sedang mengantri untuk mengambil foto buku tahunan sekolah. Diriku beberapa kali mengumpat melihat rambutku yang berantakan.

Kumiringkan kepalaku untuk melihat siapa yang sedang difoto.

Mataku membulat ketika melihat seorang perempuan bertubuh mungil itu. Ia terlihat berbeda dari biasanya.

Oh.. ia tidak memakai kacamatanya.

Hatiku luluh ketika perempuan itu menyunggingkan senyuman manisnya. Sungguh, ia terlihat sangat manis tanpa kacamatanya itu.

Namanya? Panggil saja Kim.

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan tetapi aku ingat, sejak saat itu.. aku memiliki keinginan untuk mendekatinya.

Kim merupakan teman dekat dari Hancheol. Teman baikku.

Kupikir, apa salahnya jika aku mendekat?

Tidak. Aku tidak langsung berbicara kepadanya.

Aku masih ingat ekspresiku yang terkagum-kagum dengan hasil foto nya yang terpampang dibuku tahunan sekolah.

Aku menyukai foto itu.

Aku sangat menyukainya.

Dua bulan sebelum hari kelulusan. Masa-masa dimana aku menjadi sangat dekat dengan orang yang awalnya aku kagumi karena parasnya yang cukup manis.

Lucu memang. Cantik sekali juga tidak.  Tapi ada sesuatu yang menarik dari wajahnya itu yang masih susah untuk dijelaskan hingga detik ini.

Kami mulai dekat sejak ia mulai berani untuk mengejekku. Saat itu aku sadar, dia bukan lagi Kim yang kukenal. Maksudku, dia menjadi Kim yang jauh lebih menyenangkan.

Dibalik kepintarannya terdapat sifat lemah lembut. Dia peduli. Dia jujur dan selalu membantuku. Dari semua itu, aku paling suka suaranya yang cenderung keibuan. Suara yang membuatku nyaman setiap kali mendengarkan nya.

Aku suka mendengar setiap kata yang ia lontarkan.

Di umur yang masih muda, aku memiliki banyak harapan. Termasuk harapanku untuk disukai olehnya. Tetapi takdir berkata lain, selama ini ia menyukai laki-laki lain. Temanku sendiri.

Hancheol.

Yang jauh lebih diatasku dalam hal akademik maupun non akademik.  Laki-laki yang pintar dan perempuan yang pintar. Bukankah itu sempurna?

Sejak saat itu, aku merasa bahwa duniaku ini tidak pernah adil. Tuhan tidak pernah berpihak denganku. Dan aku disini, bertemu kembali dengan dia setelah dua belas tahun lamanya.

Kembali.. terjerat dalam pesonanya.

●  ●  ●

Kalau Tuhan sudah lelah untuk menambah beban hidupku, aku yakin itu akan menjadi hari keberuntunganku. Hari itu akhirnya datang, ia membawa seseorang yang kurindukan tepat di hadapanku. Sungguh, aku tidak pernah sebahagia ini.

Paras cantiknya tidak pernah hilang, senyuman khas nya pun masih ada. Ini sudah kurang lebih lima menit sejak ia mengajakku untuk masuk. Kami tetap bergeming seakan sulit untuk mencari topik yang sesuai.

“Jadi..”

“Sudah berapa lama sejak kita terakhir kali bertemu?”

’12 tahun’

“Ah.. lama sekali ya, hahah”

Aku tidak bisa menatap matanya. Entah mengapa aku merasa sakit seakan ada sesuatu yang tidak beres. Mataku menangkap sesuatu yang melingkari jari manisnya. Ribuan jarum seakan menusukku saat itu juga.

Napasku mendadak sesak. Kurasa asma ku kambuh, tetapi aku tidak ingin terlihat lemah dihadapannya. Aku memutuskan untuk menahannya. Tetapi wajah ini tidak dapat menyembunyikannya.

“Yoongi? Hey..”

“Kau butuh air? Kau terlihat pucat”

“Yoongi?”

Saat itu juga ia menyodorkan inhaler asma yang langsung kutolak.

‘Tidak usah’

Ia tidak mau mendengarkanku. Sebaliknya, ia malah memasangkan inhaler itu dan menyuruhku untuk mengikuti perintahnya.

Ia mengelus punggungku lembut saat aku berusaha untuk mengatur napasku. Kumohon, biarkanlah seperti ini.

“Mungkin lebih baik jika kau pulang saja, kuantarkan ya?”

Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mengangguk.

Malam itu, kuhabiskan waktuku bersama dia. Berbagi kisah yang terlewatkan karena perpisahan yang begitu lamanya. Melihat kembali seberapa kekanak-kanakannya sifat kita dulu ketika masih remaja.

Saat itu juga, kau memberikan kehangatan bagiku. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan sejak kecil dan kau membawanya untukku.

●  ●  ●

Untuk Kim Dalbit,

Seorang wanita yang membuatku bangkit dari depresi yang telah menjangkitku selama belasan tahun. Seorang wanita yang membuatku merasa beban hidupku hilang dalam sekejap. Seorang wanita yang berani berbicara denganku tanpa merasa takut.

Kuucapkan terima kasih atas segala hal yang kau lakukan padaku. Tidak ada kata ‘kecewa’ dalam kamusku setiap kali kita bertemu. Kau tidak pernah berubah, aku berterima kasih akan hal itu.

Kau tahu berbicara denganku bisa membuatmu menjadi buah bibir semua murid. Mereka melihatku sebagai orang rendahan. Kau tahu itu dan kau masih bersikukuh untuk menyapaku. Tidak lupa dengan senyum manis mu itu.

Kau belajar bahasa isyarat agar dapat berkomunikasi denganku. Kutanya, mengapa?

“Aku tidak ingin Yoongi merasa sendirian”

Aku bungkam. Tangisku pecah. Jangan khawatir, ini tangisan bahagiaku.

Entah sudah berapa lama sejak aku menunggu saat Tuhan mengarahkanku ke jalan yang penuh bunga. Aku sadar Tuhan tidak sejahat itu ketika aku menemukanmu.

Seakan tidak peduli dengan perkataan orang tuamu, kau terus menjadi temanku. Kau tepis segala olokan yang tertuju padaku. Aku sangat berterima kasih, Kim.

Akhirnya aku tahu, inilah yang Tuhan rencanakan untukku. Walaupun sekarang kau milik orang lain, kau masih menaruh rasa pedulimu padaku dan anehnya pasanganmu membantuku ketika aku kesusahan. Kau telah menemukan lelaki yang baik, Kim.

Apa kau ingat?

Dulu aku sering memainkan piano di ruang musik ketika jam pulang sekolah. Kau duduk disebelahku, memperhatikan jemariku yang menari diatas tuts piano berwarna coklat itu. Kau selalu memujiku, membuatku merasa lebih baik dan selalu membuatku tersenyum.

Kau genggam jemari mungilku setiap kali aku selesai memainkan satu lagu. Kau pikir jemariku pasti sakit. Bodoh, aku tidak akan pernah merasa sakit jika sedang bersamamu.

Dari pengalaman ini aku tahu, bahwa aku hanya butuh waktu.

Ini bukanlah yang terakhir, jadi jangan lepaskan tanganku.

Biar Tuhan yang mengatur, yang perlu kau lakukan hanyalah untuk menunggu.

Terima kasih, cinta pertamaku.

-Min Yoongi