
Hari yang paling tidak kami harapkan adalah hari yang bersandingan dengan kliwon. Kliwon sendiri merupakan nama hari yang biasa dipakai oleh orang jawa terdahulu. Untuk saat ini pemakain julukan kliwon dan sejenisnya sudah mulai memudar di kalangan masyarakat jawa, khususnya yang tinggal di daerah transmigrasi seperti kami.
Dalam hitungan jawa, hari itu dimulai dari pahing, pon, wage,kliwon, legi,nama hari tersebut dijuluki dengan pasaran atau pancawara. Untuk bertemu dengan kliwon, maka hanya selisih lima hari. Hari inilah yang menjadi sangat mistis bagi kami, bukan hanya Jumat kliwon saja, namun setiap hari yang bersandingan kata kliwon membuat kami harus mempersiapkan jiwa mau pun raga. Semua bermula sejak kedatangan santri baru, sekitar satu bulan yang lalu.
Sejak kedatangan Sengkuni di pesantren ini, ada rutinitas baru setiap 5 hari sekali, yakni setiap hari kliwon ia akan kesurupan dan membuat kami melewatkan proses belajar di pesantren. Kesurupan adalah dimana saat si pemilik raga hilang kesadaran dan digantikan oleh makhluk ghaib yang disebut jin. Di pesantren, fenomena santri kerasukan jin bukanlah hal yang tabu.
Namun, santri yang selalu kerasukan jin setiap hari kliwon, dan sangat mengganggu. Aku sempat berpikir, mungkinkah ini akal-akalannya saja, agar membuat suasana pesantren tidak kondusif. Atau dia adalah seorang mata-mata yang dikirim oleh orang luar pesanntren, agar santri di sini merasa tidak betah dan bernagsur meninggalkan pesantren?. Imajinasiku berkeliaran ke mana-mana, menembus setiap deretan baju yang tergantung di sisi-sisi bangunan kokoh pesantren.
Langkahku terhenti tepat di balik pohon pucuk merah, selepas mengaji bakda ashar. Tampak Sengkuni sedang duduk diam di sebelah tanaman bambo hias yang di tanam dalam pot besar. Sengkuni, nama yang masih bernuansa kejawen. Konon katanya,dulu kakeknya adalah seorang dukun jawa paling disegani di daerahnya. Jadi, tidak aneh jika ia berlaku aneh dan membuat suasana pesantren semakin aneh.
“Hei, Daniya… ngapain kamu di sini?” Adawiyah mengagetkan.
“Sstttttt……..” jari telunjuk kuletakkan didepan bibirku. Lalu mataku mengarah pada bambu kuning ramping dalam pot besar. Bunga kesukaan segala umat. Terutama para jamaah pengajian yang sering bertandang. Namun, anehnya Sengkuni sudah tidak ada di sana. Kemana ia pergi?.
“Apaan sih, dari tadi kerjaan kamu hanya memandang bambu itu?” Adawiyah menatapku heran, lalu pergi meninggalkan. Sial.
Aku segera pergi menuju asrama, sedangkan mega kian menyeruak dari balik dedaunan pohon belimbing depan masjid. Kami berharap pasaran kliwon kali ini tak ada kejadian seperti lima hari yang lalu, Sengkuni kesurupan, dan tenaganya menjadi sangat kuat. Padahal kesehariannya ia gadis yang lemah-gemulai. Banyak ustadz yang harus menanganinya, menjadikan kami tidak mengaji dan menikmati pemandangan penuh debaran. Hal yang paling kami takutkan dari Sengkuni ketika kerasukan jin adalah sorotan mata yang penuh dengan dendam. Ia meracau meradang, mengumpat siapa pun yang membuatnya tidak senang. Namun, hidupnya adalah hidup yang tak pernah bias diganti dengan kehidupan orang lain, lalu setelah kejadian yang jika direkam bias membuat ia malu itu, kami hanya pura-pura tidak tahu, dan ustadz pun melarang kami mengungkit kejadian itu, tepatnya di depan Sengkuni.
Sengkuni mengenakan mukena terusan, ia terdiam bersandar pada tiang masjid bagian utara. Ia sendiri, tak ada siapapun yang mau dan berani berteman dengannya. Tak lain dan tak bukan karena mereka takut secara tidak sengaja membuka rahasia bahwa Sengkuni kerasukan jin. Ia tak memegang tasbih di tangan, matanya menerawang jauh ke arah luar. Ia diam, lalu pada Tuhan ia pun merasa gamang menyampaikan. Meski kami sekamar, aku tak tahu kata apa yang baik sebagai awal?.
***
Dug…dug…dug…
Samar-samar terdengar langkah kaki menyentuh lantai. Malas, kulirik jam dinding asrama. Pukul 2 dini hari, sudah ada santri lain yang bangun. Beruntung, sejak tadi aku menahan buang air kecil, yang tinggal di ujung tanduk. Sebentar saja terlewat, banjir asrama ini. Kututup kepala menggunakan selimut tipis milikku, enggan rasanya menggunakan kerudung yang tergantung di pintu lemari.
Suara pintu berderit,berharap ada yang mendengar lalu bangun mengikutiku . Rasa kantuk masih menyergap. Kususuri lorong asrama menuju kamar mandi,samar terdengar sudah ada yang menyapu di area kamar mandi, siapakah gerangan yang rteramat rajin ini?. Sesampainya di sana, tampak pintu-pinttu kamar mandi yang tak terkunci. Aku memilih kamar mandi terdekat. Selesai kutunai hajatku, ketika dipertengahan berwudhu, aku baru tersadar, bahwa di kamar mandi berisi 20 ruang ini sepi, tak ada suara air yang jatuh ke lantai atau suara sapu lidi menyentuh lantai. Bulu romaku bergidik, nafasku memburu, detak jantungku berdegup tak menentu. Hanya suara air keran menetes yang tak tertutup rapat, yang terdengar.
Pintu kubuka, langkah seribu kubuat tanpa rencana, yang pasti aku harus keluar dari tempat ini. Berkali-kali nama Allah kusebut, memmohon melindungi seseorang yang penakut ini. Jika bias aku ingin berlari dengan memejamkan mata. Semakin aku berlari, suara sapu kembali terdengar,seperti mengikuti.
Brakkkkkkk…..
Di belokan asrama aku menabrak seseorang, ternyata gadis bermata tajam, Sengkuni.
“Mau kemana Sengkuni?” aku menanyainya dengan nafas tersengal-sengal. Ia hanya diam, menuju kamar mandi tanpa rasa takut sedikitpun. Ini adalah pertanyaan pertamaku padanya, tidak bisa dikatakan percakapan, karena memang tidak terjadi percakapan. Ia ngeloyor pergi, aku kembali ke kamar, menarik selimut hingga mentupi seluruh bagian tubuh dan kepala.
Tiga pukuh menit berlalu, tidak ada tanda-tanda Sengkuni kembali. Ada rasa malas, namun juga penasaran dimana gerangan gadis penuh misteri ini. Aku mencari Adawiyah yang masih tidur di kamar sebelah, kuajak ia menuju kamar mandi, melihat Sengkuni. Seluruh kamar mandi kubuka tak ada Sengkuni di sana. Kembali kami menyusuri setiap sudut asrama, dan membangunkan pengurus pesantren untuk memastikan keberadaan Sengkuni. Pasaran kliwon sudah lewat satu hari, namun perkara apa lagi yang bakal diberi?. Pengumuman resmi dibuat, bahwa Sengkuni hilang, aku yang menjadi saksi utama hilangnya Sengkuni, harus menghadap kyai.
Kyai tak ada, jadi Gus Haidar yang menemuiku.
“Kapan terakhir kali sampean melihat Sengkuni?” Sedangkan aku, seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Bingung dan takut melebur menjadi satu. Gus Haidar melemparkan pertanyaan tanpa melihat wajahku.
“Tadi malam, sekitar pukul 3 dinihari. Selepas saya dari kamar mandi, gus” tampak ujung jariku bergerak tanpa instruksi, gemetar.
“Setelah itu, saya ke kamar. Selang beberapa menit saat, Sengkuni belum juga kembali ke kamar, saya mengajak Adawiyah untuk mencari Sengkuni ke kamar mandi, namun dia tidak ada.” Aku melanjutkan bicara tanpa diminta.
Usainya aku dipanggil Gus Haidar, semua mata santri menganggap, bahwa akulah yang bertanggungjawab atas hilangnya Sengkuni. Karena aku satu-satunya yang menanyai Sengkuni kala itu. Padahal pertanyaan pertamaku pun tak ia jawab, kecuali hanya dengan tatapan tajamnya.
Setiap malam, selepas ngaji bakda isya, aku hanya termenung di depan kamar. Memandang lorong dimana aku dan Sengkuni berpapasan. Ada mata yang penuh dengan kesedihan dan dendam di sana. Aku berharap ia akan segera muncul.
***
Hari ini sudah hari ke empat Sengkuni menghilang, aneka cara sudah dilakukan para ustadz, agar Sengkuni ditemukan. itu artinya hari ini sudah menuju hari kliwon lagi. Selepas magrib anak-anak di arahkan membaca wirid tertentu. Sedangkan, para ustadz mencoba mencari Sengkuni lewat cara yang kami juga tak mengerti.
Di pertengwiyahan kami membaca wirid, asrama diributkan dengan adanya santri yang kerasukan.
“Adawiyah kesurupan…………….” Pekikan santri sampai ke telingaku.Secepat kilat aku menuju kamar Adawiyah, di sana kudapati ia memeluk sapu lidi.bulu kudukku berdiri,lalu kejadian malam sebelum hilangnya Sengkuni, aku mendengar suara misterius sapu lidi di kamar mandi. Tak ada yang berani memegangnya, siapapun yang berani mendekat ia halangi mengguakan sapu lidi. Sorot matanya, bukan lagi milih Adawiyah. Ia telah menjadi sosok lain. Aku hanya bisa memandang, dan merapal takbir tanpa henti. Gus Haidar yang ahli dalam pengobatan anak kerasukan jin, langsung menangani Adawiyah, dibantu oleh beberapa ustadz.
“kalian tidak akan pernah menemukan Sengkuni” Adawiyah bicara dengan nada tinggi,sambil tertawa terbahak-bahak.
“Apa maksud kamu masuk ke dalam tubuh anak ini?,keluar sekarang dari tubuh ini”Gus Haidar membalas dengan nada lebih tinggi.
Ia menangis keras, sekeras hujan lebat yang datang pada hari kliwon ini. Ia meracau, bahwa ia tak bisa lagi masuk pada tubuh Sengkuni. Ia pun tetap enggan meninggalkan raga Adawiyah. Malam kian beranjak, Gus Haidar masih bersitegang dengan jin yang bersemayam dalam tubuh Adawiyah.
Kami masih berkerumun di depan asrama. Gus Haidar datang dengan penuh keringat di wajahnya. Gus lulusan Mesir itu, menyampaikan melalui informasi dari smartphone miliknya. Bahwa Sengkuni tidak akan kembali lagi, berdasarkan informasi dari relasinya, bahwa Sengkuni adalah gadis yang mayatnya ditemukan di hutan belantara akibat dianiaya dan dilecehkan oleh sekelompok orang yang sedang menebang kayu di hutan tersebut.
Ia meninggal dalam kondisi mengenaskan, dan saat ini sedang dalam proses penyelidikan. Lalu Sengkuni yang berada di pesantren tempo hari adalah wujud lain dari arwah Sengkuni yang sudah sejak lama ia ingin tinggal di pesantren. Kami histersis,lalu tak sedikit dari kami yang menangis ketakutan, bahwa Sengkuni adalah arwah yang penasaran dengan kehidupan pesantren, hilangnya Sengkuni tepat bersamaan di temukannya jasad Sengkuni.