“Semalam dia nangis lagi. Dengar, tidak?”
“Iya, dengar. Berisik banget.”
“Lagian, apa sih yang ditangisi? Pacarnya yang sering selingkuh itu?”
“Entah. Padahal baru pacaran, putus juga tidak apa-apa. Iya, ‘kan?”
“Ho-oh. Lagipula cowok begitu kalau dipertahanin cuma jadi penyakit.”
“Penyakit apa?”
“Penyakit hati! Haha!”
***
Gelegar petir di luar sana membuat Sekar tersentak bangun. Baru pukul satu dini hari saat Sekar mengecek jam pada handphone. Hujan deras di luar sana membuat Sekar menggigil, menaikkan selimut hingga dagu dan berguling ke sisi lain kasur sembari memejamkan mata berusaha tidur. Menyebalkannya, hawa dingin selalu membuat Sekar ingin buang air kecil. Maka dengan berat hati Sekar menyibak selimut, berjinjit keluar dari kamar saat dinginnya lantai keramik menjalari kakinya.
“Hiks... hiks...”
Langkah Sekar terhenti di sebuah kamar yang terletak paling ujung dekat kamar mandi, mendengarkan dengan seksama dan menyadari kalau suara tangis itu berasal dari sana. bukan hal baru sebenarnya, mengingat Ratih, si penghuni kamar itu, adalah gadis cengeng yang selalu terlihat murung di hari pertama dia datang ke kost ini sekitar tiga bulan yang lalu. Sekar mendengus pelan, mengetuk pintu kamar Ratih cukup keras untuk memberitahu bahwa tangis gadis itu benar-benar mengganggu sebelum melenggang cuek memasuki kamar mandi.
Setidaknya Ratih berhenti menangis selama lima belas menit. Tapi saat Sekar kembali ke kamar dan berniat kembali tidur, tangis itu kembali terdengar—lebih keras dan menyedihkan dari sebelumnya. Mendengus kesal, Sekar meraih earphone dan menyumpal telinganya.
***
“Semalam tidurnya nyenyak banget ya, Mbak?” pagi itu ketika Sekar keluar, Lina si penghuni kamar di seberangnya, menyapa dengan cengiran penuh makna. Sekar mendengus, menghempaskan tubuhnya untuk duduk di lantai depan kamarnya. Lina tertawa pelan sementara tangannya sibuk menggambar alis dengan lincah. “Semalam tangisnya lebih keras, ya?”
Sekar bergumam pelan menyetujui, melirik pintu kamar Ratih yang masih tertutup rapat. “Pasti pacarnya lagi, ‘kan?”
Lina terkekeh pelan, menyimpan pensil alisnya sebelum merangkak keluar dan mencondongkan tubuhnya dengan ekspresi berahasia. Sekar buru-buru mendekatkan telinganya ketika Lina berbisik, “Kemarin aku lihat pacarnya sama cewek lain lagi. Lebih cantik dari Ratih.”
“Oh!” Sekar berseru paham, kembali melirik pintu kamar Ratih, “Kalau aku jadi dia, sudah pasti Si Angga aku putusin. Cowok lain ‘kan masih banyak!”
Sejujurnya Sekar tidak paham pada Ratih yang membuang begitu banyak air mata hanya untuk laki-laki yang bahkan selalu mengulang kesalahan yang sama setelah meminta maaf dengan raut menyesal dan berkata tidak akan mengulangi lagi. Well, Sekar dan penghuni kost lain sudah sering menjadi saksi drama pertengkaran mereka, yang akan selalu berakhir dengan tangisan Ratih dan janji palsu Si Angga—dan selalu begitu seolah tidak pernah ada titik terang dalam hubungan mereka.
“Pagi, Mbak.” Sekar tersentak saat seseorang menyapa—adalah Ratih, yang sudah rapi dan tampak berdandan habis-habisan untuk menutupi sembap di wajahnya. Sekar bertukar pandang dengan Lina sejenak, sebelum melempar senyum tipis.
“Pagi juga. Mau berangkat?” Lina bertanya basa-basi. Ratih tersenyum sembari mengangguk pelan, dan jawaban yang meluncur dari bibirnya entah kenapa membuat Sekar jadi emosi sendiri.
“Iya, Mbak. Angga sudah nunggu di depan.”
Sekar menghela napas bosan sebelum bangkit dan melangkah menuju kamar mandi, tidak ingin mengetahui lebih lanjut hubungan rumit Ratih dan Angga.
***
“Hiks... hiks...”
Sekar melepas pandang dari laptop dan mendengus jengah. Pukul setengah sebelas malam dan Ratih kembali menangis—padahal seharian tadi dia keluar bersama Angga dan pulang dengan raut sumringah. Bahkan Lina sampai berkomentar heran karena dua orang itu tampak baik-baik saja seolah tidak pernah ada masalah di antara mereka. Sekar menarik napas dalam-dalam dan berusaha fokus mengerjakan tugas—karena sialnya, Lina meminjam earphonenya sore tadi dan Sekar lupa mengambilnya kembali.
Tapi sekeras apapun usaha Sekar untuk fokus, tangis Ratih yang semakin lama terdengar pilu dan menyedihkan membuyarkan konsentrasinya. Sekar mengusap wajahnya dan mau tak mau merasa kasihan. Berbagai pemikiran seperti; mungkin Ratih tidak punya teman untuk curhat tentang Angga atau mungkin dia memiliki kesulitan untuk memutuskan Angga karena –dari yang Sekar lihat- pemuda itu lihai sekali berkata-kata manis bahkan mungkin pandai berakting hingga Ratih tidak tega. Mungkin menyapa Ratih sebentar dan menanyakan keadaan gadis itu akan membuatnya tenang.
Maka, Sekar bangkit dan keluar dari kamar. Sejenak merasa enggan saat berdiri di depan pintu kamar Ratih, sebelum kemudian memutuskan untuk mengetuk pelan. Sekar dapat mendengar tangis Ratih mereda menjadi isakan-isakan kecil setelah dia mengetuk, kemudian suara langkah yang diseret terdengar dan pintu kamar terbuka, menampilkan Ratih yang kurus pucat tampak berantakan dengan rambut kusut dan mata sembap.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Sekar pelan, sedikit mengintip ke dalam kamar Ratih dan mendapati kamar gadis itu berantakan sekali.
Ratih membersit hidung, kepalanya tertunduk. “Aku baik-baik saja kok, Mbak.”
“Oh—oke,” Sekar mengangguk, “Tapi kalau ada apa-apa mungkin kamu bisa cerita. Jangan nangis sendirian begitu.”
Ratih mendongak menatapnya beberapa saat dan mendadak Sekar merasa canggung, berpikir bahwa mungkin Ratih menganggapnya terlalu ikut campur. Tapi Ratih hanya kembali mengangguk, menutup pintu kamarnya dan Sekar dapat mendengar suara ‘klik’ ketika Ratih mengunci pintu.
***
Ini sudah hari ketiga dan Sekar selalu mendapati pintu kamar Ratih tertutup rapat. Lina menggodanya dengan mengatakan bahwa Ratih ‘ngambek’ dan mengunci dirinya di dalam kamar karena Sekar terlalu ikut campur urusannya—dan itu benar-benar membuat Sekar merasa tidak enak. Tapi Dea, penghuni di depan kamar Ratih, bilang kalau kemarin dia mendengar Ratih keluar atau masuk ke kamar saat keadaan kost sepi. Dan memang pada dasarnya Ratih jarang bergaul dengan penghuni kost lain sejak pindah tiga bulan yang lalu, jadi Sekar pikir dia tidak perlu sekhawatir itu.
“Eh, ada Angga!” siang itu ketika Sekar tengah beristirahat sepulang dari kampus, Lina berbisik penuh semangat seolah menantikan babak baru dalam drama hubungan Ratih-Angga itu. Sekar mendengus tak peduli, berguling menghadap tembok dan memejamkan mata. Di luar sana, Sekar bisa mendengar Angga yang mengatakan bahwa Ratih tidak bisa dihubungi tiga hari ini. Ada kasak-kusuk sejenak, disusul suara langkah kaki masuk dan ketukan pintu terdengar beberapa kali.
“Ratih sepertinya tidak ada di kamar.” Sekar mendengar Dea menjelaskan kepada Angga setelah mengetuk pintu kamar Ratih berkali-kali dan tidak mendapat jawaban. Suara Angga terdengar lesu ketika berpamitan dan seisi kost kembali gempar membicarakan Ratih.
Sekar menghela napas pelan, memejamkan mata dan terlelap.
***
“Mbak Sekar, nanti tolong bilangin ke Ratih suruh buang sampah dengan benar, ya?” pagi itu ketika Sekar bersiap berangkat ke kampus, Lina menghadangnya, mengedikkan dagu ke arah kamar Ratih. Sekar menaikkan alis, tidak merasa sedekat itu untuk memberitahu Ratih soal sampah.
“Kenapa tidak bilang sendiri?”
Lina nyengir lebar, “Waktu itu Mbak Sekar yang bilangin Ratih jangan nangis, ‘kan? Sekarang Ratih tidak pernah nangis lagi kayak dulu. Nah, kalau Mbak Sekar yang bilang Ratih harus buang sampah dengan benar, pasti Ratih nurut.”
Sekar mendelik saat Lina buru-buru kabur. Mendengus pelan, Sekar melirik pintu kamar Ratih yang tertutup rapat, dan memang menyadari ada bau tidak sedap dari kamar itu. Apa mungkin Ratih, saking depresinya, selain menolak keluar dari kamar juga tidak menjaga kebersihan?
Menepis pemikiran negatif yang membuatnya semakin merasa tidak enak dan khawatir, Sekar buru-buru keluar. Mungkin dia akan memberitahu Ratih nanti.
***
“Mbak Sekar?”
Sekar tersentak bangun bangun ketika pintu kamarnya diketuk pelan dan namanya disuarakan lirih. Sekar menguap pelan, meraih handphone untuk mengecek bahwa sekarang pukul dua belas malam. Menarik tubuhnya untuk bangun dan menyeret langkah membuka pintu, Sekar tidak bisa menutupi keterkejutannya saat mendapati Ratih berdiri di depannya dengan wajah yang tampak lebih pucat dan berantakan. Ini sudah hampir seminggu sejak percakapannya dengan Ratih waktu itu—juga sudah hampir seminggu Ratih terkesan sembunyi-sembunyi dan tidak terlihat keluar dari kamar.
“Ada apa?”
Ratih terisak pelan, mengusap sisa-sisa air mata di wajahnya, “Malam ini aku tidur sama Mbak Sekar, ya?”
Sekar melirik lorong kost yang tampak lengang karena sudah pasti para penghuni tengah terlelap sekarang. Menghela napas, Sekar mengangguk pelan dan mempersilakan Ratih masuk—kebetulan, mungkin Sekar sekalian bisa memperingati Ratih soal sampah.
Maka, meski canggung, mereka berbaring berhimpitan di kasur kecil yang memang hanya diperuntukkan bagi satu orang. Sekar berbaring membelakangi Ratih di pinggir, masih bisa mendengar gadis itu terisak kecil.
“Lina bilang kamu harus buang sampah dengan benar. Baunya sampai kemana-mana.” Sekar memulai percakapan, melirik Ratih yang berbaring menghadap tembok. Sekar hanya bisa menatap belakang kepala gadis itu dan mendengarnya masih terisak. Mendengus pelan karena merasa diabaikan, Sekar memejamkan mata berusaha tidur dan mengabaikan isakan Ratih.
“Mbak...” Ratih memanggilnya tepat ketika Sekar nyaris terlelap. Bergumam pelan sebagai jawaban, Sekar menarik selimut hingga dagu. Isakan Ratih sedikit mereda saat gadis itu berujar lirih, “Aku sudah putus sama Angga.”
Sekar, dalam keadaan setengah sadar, mengulum senyum dan bergumam membenarkan.
***
“Aaaa!”
Sekar terbangun kaget mendengar teriakan itu, buru-buru bangkit dan terhuyung keluar dari kamar, mendapati seisi kost mengerumuni kamar ujung dekat kamar mandi. Bau tak sedap menusuk hidungnya ketika Sekar menyeruak kerumunan berusaha mencaritahu apa yang terjadi. Semakin heran saat melihat Dea yang terduduk di depan kamarnya dengan wajah pucat seperti baru saja melihat hantu.
“Apa yang—“ Sekar tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena matanya sudah lebih dulu menangkap pemandangan mengerikan di dalam kamar Ratih; gadis itu tampak tergantung dengan seutas tali menjerat lehernya, sementara tubuhnya tampak sudah membusuk dengan bau menyengat. Sekar merasakan tubuhnya gemetaran dengan kaki lemas dan nyaris terjatuh kalau saja Lina tidak menahannya.
“Dia hamil!” seorang penghuni kost tampak berseru setelah memberanikan diri melongok lebih dalam ke kamar Ratih. Sekar merasakan telinganya berdenging dan pandangannya mengabur. Dia sempat mendengar teriakan Ibu Kost dan sirine polisi yang meraung di luar sana sebelum pandangannya gelap.
***