Ngiingg.. suara menggema itu muncul kembali. Menelusup jauh ke dasar rongga jiwaku. Berulang kali, hadir dan mengetuk bunga tidurku. Ah! Aku bisa gila! Suara yang menggema, siluet hitam yang selalu datang menggebu, siapa yang tidak terganggu?
Dedaunan gugur melambai, mengucap selamat tinggal pada ranting-ranting pohon. Suara kicauan ayam menjadi orokestra pagi hari. Kedua bola mataku masih menyipit, nyawaku masih melayang-layang. Samar-samar, kulirik jam dinding. Jarum pendek tepat di angka enam. “Sial! Tindihan semalam itu!” Secepat kilat aku menuju kamar mandi. Setelah sepuluh menit, aku berlari. Nyaris aku tertinggal oleh jemputan sekolah. “Ck, kapan ini berakhir?!” gerutuku dalam hati. Tanganku terus mengepal diatas rok putih abuku. Aku tak bicara sedikitpun. Ketiga temanku, Fitri, Isna, dan juga Ani sudah paham kebiasaanku di pagi hari ketika semalam tertindih. Beruntung teman-temanku pengertian. Jika tidak, aku bisa-bisa dianggap gila oleh mereka.
Kupercepat langkah saat menaikki anak tangga. Aku merasa ada aura yang tidak beres. Sampai kurasakan keringat dingin mulai bercucuran. Semakin aku melangkah, aura itu semakin membuatku gelisah. Bukan aura horror atau semacamnya, tapi kurasa aura tubuhku yang ingin segera pergi ke kamar mandi untuk mengeluarkan sesuatu. “Aku duluan.” teriakku sembari berlari memegangi perut.
Bukan yang keberapa kalinya, tapi sudah berkali-kali aku melihat siluet itu. Aku lupa tanggal berapa, yang jelas sudah beberapa bulan lalu. Terlebih aku juga merasakan hawa dingin mencekam ketika malam Jumat. Pikiranku serasa melayang mengelilingi antero bumi, di hadapanku kadang muncul kerlap-kerlip berwarna cokelat tua. Ah! Kurasa aku memang benar-benar sudah gila!
Jembatan Besar, 1918
Ada sebuah kisah turun-temurun. Namun sayang, tak ada yang mengetahui persis bagaimana kisah ini terjadi. Tentang rasa kasih sayang, dan bagaimana sakitnya kehilangan.
Langit mendung menggulung awan-awan stratocumulus. Warna gradasi abunya membuat gelap semesta. Saat sampai di pekarangan rumah, aku melihat dua orang sedang bercakap. Oh, ternyata Mbah Wo bersama seorang lelaki paruh baya yang tak kukenal. Mbah Wo adalah seorang sesepuh di desaku. Konon katanya, semua lelembut takluk padanya. Samar-samar, kudengar percakapan mereka.
“Jadi, apa kita harus memberitahunya?”
“Ya harus. Dia perlu tahu, tapi jangan sekarang.”
“Kenapa? Bagaimana nanti jika terjadi sesuatu padanya?”
“Dia bukan anak yang lemah. Dia pasti bisa.”
“Hei, jangan seenaknya memastikan dia akan baik-baik saja!”
“Wilujeng sonten, Mbah Wo.” sapaku. “Oh, sudah pulang, Nduk?” Aku mengangguk, melirik lelaki paruh baya yang berdiri disamping Mbah Wo. “Namanya Pak Kosim, sepupu almarhum buyutmu.” Lelaki paruh baya tersenyum menatapku. “Anaknya Faiz kan? Kamu sudah besar ya, sekarang.” Ia memulai pembicaraan. Aku hanya senyum dan mengangguk. “Kalau begitu, saya masuk dulu ya, Pak Kosim, Mbah Wo.” Keduanya mengangguk bersamaan, melanjutkan pembicaraan.
Ngiinggg.. Suara itu berdenging kembali di telingaku. Kali ini menghantam jauh ke alam bawah sadarku. Keringat dingin terus bercucuran, nafasku tersengal. Bersusah payah kuangkat ibu jari kakiku, namun untuk sekedar bergerak saja tak bisa.
Hahahaha huahaha huahaha. Suara cekikikan silih berganti mendenging di telingaku, sebelum akhirnya semua yang berada di sekelilingku berubah menjadi gelap total. Benar-benar tempat yang tak pernah kujajahi, semua bernuansa mencekam. Tak hanya itu, tercium aroma-aroma yang tak bisa dicium oleh umat manusia biasa.“Tuhan, aku takut gelap.” Nyaris aku menangis. Selang beberapa detik kemudian, tubuhku terperanjat. Kudapati sebuah guling dan boneka mickey masih pada tempatnya. Perlahan, kugerakkan badanku sedikit demi sedikit. Memastikan bahwa aku masih berada di dunia ini. Dan benar saja, di sekelilingku tetap ada meja belajar, tirai, ranjang, almari, dan kalender yang menggantung tepat di depan ranjang.
Srekk..srekk. Kedua bola mataku terbelalak, kukucek mataku yang masih menyipit berulang kali. Tak ada angin yang lewat, kalender-kalender itu membuka sendiri satu per satu. Seperti ada yang membukanya dengan sengaja. Bulu kudukku merinding, kukucek mataku sekali lagi. Barangkali hanya halusinasi karena mataku memang masih belum membuka total. Akhirnya, kupelototi tajam kalender itu. Lembar demi lembar masih membuka satu per satu. Aku memejamkan mataku, berharap itu hanya ilusi. Namun suaranya terekam jelas di telingaku. Tak punya pilihan lain, kuberanikan diri mendekatinya, dan aneh! Tiba-tiba lembar per lembar tersusun kembali. Siapa yang tidak merinding? Langkah mundur siaga kulakukan perlahan.
Winggg..wing.. tampak dari cermin sebuah tali dari baju kodok yang kugantung di belakang pintu mengayun. Pandanganku beralih pada baju kodok, namun aneh. Tali yang kugantung tak bergerak sama sekali. Kualihkan kembali pandanganku pada cermin, tali itu masih tetap mengayun seperti ada orang yang sengaja mengayunkannya. “Ya Tuhan, apa lagi ini?” Rasa takut semakin menjadi. Ditambah bulu kuduk yang sedari tadi memainkan orokestra. Aku berlari menuju kamar Ibuku. Ia yang sedang pulas tidur tiba-tiba bangun terkejut. “Kenapa? Tertindih lagi?” tanyanya. Aku tak menjawab, kutarik selimut dan tak lama kemudian memejamkan mata.
Asing. Sebuah tempat dimana aku tidak pernah menjajakinya. Tanah lapang dengan warna coklat kemerahan, dihiasi rerumputan hijau yang hanya menjadi aksen di kanan kirinya. Entah hanya ilusi atau apa, dalam pandanganku muncul gambar-gambar abstrak yang mengejutkan. Sebuah pohon besar yang begitu rindang, di atasnya tinggal seorang gadis cantik memainkan bonekanya, kemudian ia turun, lalu terbang, turun lagi, lalu kembali terbang. Di bawahnya berdiri seorang lelaki paruh baya yang kakinya bahkan tidak menyentuh tanah sedang melempar senyum kepada gadis itu. Gadis yang sedang naik-turun itu lantas membalas senyumannya. Aku melongo. Terus kupandangi tingkah gambar abstrak di depanku dengan seksama.
Semakin jelas kulihat, aku nyaris berteriak. Gadis itu bukan manusia, ia juga tak terlihat cantik seperti yang kulihat sebelumnya. Rambutnya terurai panjang dengan pakaian serba putih. Dan, apa yang kulihat barusan? Tanduk? Atau apalah, yang jelas hal menakutkan yang tak pernah kulihat seumur hidupku. Begitupun dengan lelaki paruh baya, ia terlihat menyeramkan dengan pakaian serba hitam. Sedikit ia berjalan mengitari pohon, aku merasa ada yang janggal. Dan benar, lelaki paruh baya itu menghadap ke arahku. Sorot matanya yang merah menghujam seperti mau mencekik. Aku nyaris berteriak untuk yang kedua kalinya.
Wajahnya bukan wajah manusia. Sangat menyeramkan. Ia terus berjalan mendekat, mendekat, dan mendekat. Aku mundur perlahan, tak kupedulikan bebatuan yang menghalangi langkahku. Meski kenyataannya aku nyaris tersandung berkali-kali. Tunggu, seperti sebuah deja-vu. Aku pernah merasakan ini sebelumnya. Didatangi oleh lelaki paruh baya itu, dengan aura menyeramkan yang sama,diiringi suara-suara aneh yang menggema.
Wushh. Seketika angin membawa kabur gambar abstrak di depanku. Tanah yang sedang kududuki terguncang. “Nayla, Nayla!” Aku bisa mendengarkan suara itu, suara yang memanggil-manggil namaku. Namun aku tak menemukan siapa yang memanggil.
Tubuhku terguncang. Sinar matahari yang menelisik melalui jendela kamar membangunkanku. “Dasar Nayla!” kudapati sekilas seorang gadis berambut ikal panjang berdiri di depan ranjangku. Setengah sadar, aku berusaha mengajak kelopak mataku untuk melihat gadis yang ada di depanku ini. “Eh, kau gadis..” Mataku terpejam kembali, efek masih sangat mengantuk. “Hei, aku memang gadis. Apa maksudmu? Kenapa malah tidur lagi?” Sepertinya gadis itu mengatkan sesuatu lagi, namun entah aku tak terlalu mendengarkannya. Kulanjutkan pelayaranku ke pulau kapuk yang sempat terganggu tadi. “Hei, bangun! Kita ada janji hari ini!” Gadis itu tidak menyerah, dicubitnya tangan kananku. Mau bagaimana lagi, terpaksa kuhentikan pelayaranku ke pulau kapuk. Setelah benar-benar nyawaku terkumpul, kubuka mata perlahan. “Oh, ternyata Nindy”
“Hah, apa maksudmu ternyata Nindy?”
“Nindy, kau manusia. Cantik sekali wajahmu itu.”
“Apa yang kau bicarakan? Aku memang manusia, dan emm.. Aku memang cantik. Meskipun tidak lebih cantik darimu.”
“Hehehe. Baru datang ya? Ada apa?”
“Hah? Kau ini benar-benar membuat emosi! Aku sudah datang setengah jam yang lalu.”
“Ah, sudah lama ternyata. Kenapa tidak langsung membangunkanku dari tadi?”
“Apa?! Aku sudah terus membangunkanmu dari tadi, Ibumu juga. Dasar, tukang ngebo! Sudahlah, ayo segera pergi. Katanya kau mau ke rumah Mbah Wo.”
Jembatan Besar, 1919
Pohon yang rindang, bau tanah basah yang khas, serta nyanyian burung dalam sarangnya. Pohon besar itu, tempat persinggahan mereka yang bukan berasal dari dunia umat manusia. Bebatuan besar menjadi istana yang mereka miliki. Kalau saja tragedi itu tak terjadi, pasti tak akan berimbas pada siapapun.
Jembatan Besar, Setelah Tahun 1919
Pohon-pohon rindang tak bersalah itu menjadi korban umat manusia yang serakah. Mereka menggundulinya secara paksa. Semua makhluk yang tinggal disana mati. Burung-burung, serangga, bahkan ‘makhluk’ dari alam lain. Kesedihan tergurat jelas pada keluarga yang ditinggal. Sakit, kehilangan, dendam. Bercampur menjadi satu.
Teh hangat yang telah dingin itu hanya kupandangi. Begitu pula dengan Nindy. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya yang didatangi menampakkan diri. “Wah, pagi sekali, Nduk.” ujarnya kemudian. Aku hanya tersenyum mengiyakan.
“Jadi begini. Langsung saja ke inti masalahnya, ya. Kau masih tertindih bukan?”
Aku mengangguk. Lalu kuceritakan tentang mimpi yang baru kualami semalam. Mbah Wo manggut-manggut mengerti. “Nduk, asal kamu tahu. Kamulah yang dianggap sebagai ‘anak’ olehnya. Setelah kejadian itu, mungin satu abad yang lalu. Ia akhirnya bertemu denganmu yang usiamu saat ini mungkin sama dengan usia anak gadisnya beberapa tahun silam.”
Aku sedikit terkejut. Kuingat kembali potongan-potongan abstrak yang semalam kulihat. Entah. Aku sedikit tidak mengingatnya, namun beberapa hal teringat jelas dalam memori otakku. “Tapi, Mbah Wo. Wajah mereka..”
“Tentu saja menyeramkan. Mereka bukan kita, Nduk. Dan kita bukan mereka. Sekarang kau tahu, kan? Siluet hitam itu adalah ‘makhluk’ yang kau lihat dalam mimpimu. Bagaimanapun, ia akan berusaha menculikmu. Tak peduli apakah kau manusia, atau makhluk yang sama dengannya.”
Aku menelan ludah getir. Nindy memegangi tanganku erat. Seolah ia tak mau kehilanganku.
“Jadi, seperti manusia pada umumnya ya, Mbah? Mereka pasti juga sangat sedih kehilangan anak gadisnya untuk selama-lamanya.”
“Kamu memang cerdas! Kau bisa bayangkan ‘kan, bagaimana perasaan Ayahmu jika ia menjadi makhluk itu? Kesedihan, kehilangan, bahkan dendam pasti juga ada. Perlu kau ketahui juga, Nduk. Semua berawal dari sana. Ketika buyut-buyutmu menebang pohon besar itu. Tanpa permisi, tanpa baca basmalah. Langsung menggundulinya dengan paksa. Jelas saja anak gadis dari makhluk yang mengincarmu itu hilang.”
“Hilang?”
“Haha. Kau pikir mereka bisa mati? Mereka hanya berbeda alam. Tapi tetap saja, tidak akan bisa bertemu untuk selama-lamanya.”
Aku semakin mengerti sekarang. Kuteguk teh hangatku yang telah dingin. Kulihat Mbah Wo mengeluarkan sesuatu dari sakunya. “Seseorang menitipkan ini padaku untuk diberikan padamu. Tapi kamu orang yang paham agama, Nduk. Sebenarnya aku tidak ingin memberikannya, namun ini adalah amanah. Setelah ini, baru keputusanmu.”
Aku mengambil benda hitam yang kukira adalah jimat itu. Sebenarnya aku sangat tidak suka dengan benda-benda seperti ini. Bukankah yang seperti ini justru secara tidak langsung memanggil ‘mereka-mereka’ yang tak terlihat? Dan juga bisa dibilang menyekutukan Tuhan, bukan? “Siapa yang memberi ini?” tanyaku.
“Pak Kosim, sepupu buyutmu yang datang tempo hari. Dia bilang kau bisa gunakan itu ketika tertindih. Tapi kau paham agama. Kau bisa berpikir dua kali untuk menggunakannya.”
Wushh..wushh. Angin malam kembali menusuk jantung. Kupejamkan kedua bola mataku yang sudah lelah. Sudah menjadi langganan, suara menggema itu hadir kembali. Meraung-raung ke dasar rongga jiwaku. Semaksimal mungkin aku berusaha bangkit, menggerak-gerakkan jari-jari kakiku. Aku terengah, namun akhirya bisa bebas dari tindihan itu. Kupandangi benda hitam yang tergeletek di atas meja belajarku, lalu kuambil korek api dan beberapa kertas bekas. Kau tahu ‘kan apa yang kulakukan?
Ya, membakarnya. Aku tidak peduli apa yang terjadi bila Mbah Wo atau Pak Kosim mengetahui hal ini. Aku hanya percaya pada Tuhanku. Bahwa di dunia ini, tidak ada zat yang melebihi-Nya, tidak ada pula kekuatan yang bisa mengalahkan kekuatan-Nya. Aku sudah sadar sekarang. Baik, sudah kuputuskan. Aku akan sering membaca yasiin untuk setiap malam Jumat, dan juga memperbanyak zikir dan mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan begitu aku akan lebih dekat kepada Tuhanku, dan selalu berada dalam naungan-Nya. Sungguh, Dialah sebaik-baik pelindung.