Persembahan Mawar Hitam

Persembahan Mawar Hitam

S. Fasikha

4.5

Senja telah pergi disambut dengan awan gelap. Suara gemuruh angin serta petir membuat mereka mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan lagi. Mobil yang  mereka tumpangi menepi, lalu berbelok ke kanan mengikuti arah petunjuk untuk menuju penginapan. Jalanan yang rusak mereka lalui sekitar seratus meter dari jalan raya. Bau amis mereka rasakan seketika berubah menjadi bau wangi daun pandan, membuat mereka semua menjadi merinding. Dari jauh sudah terlihat jelas bagunan dengan lampu temaram. Mereka berhenti sejenak sedikit ragu. Entah mengapa bisikan itu mengantarkan mereka ke depan rumah. Mereka mengerjapkan matanya sungguh sangat menakjubkan. Dari jauh terlihat bangunan yang angker, setelah mendekat bangunan ini sangat megah sekali jauh dari kata angker.

Di depan sudah disambut dengan ramah oleh pemilik penginapan. Pak Tejo menyarankan agar mereka untuk menginap di lantai atas. Kinan menolak saran Pak Tejo. Sedangkan teman-temannya setuju saja dengan usul Kinan. Dengan berat hati Pak Tejo mengantarkan mereka ke kamar permintaannya.

Suara ketukan pintu membuat aku terlonjak, aku pun ke luar ternyata istri pak Tejo memanggilku.

“Nona Kinan, ayo makan malam dulu, sudah ditunggu di meja makan sama teman-temanya.”

Sungguh sajian yang sangat menggiurkan, makanan begitu banyak yang dihidangkan di meja. Arif begitu lahap sekali memakan mie goreng dengan nasi, serta sambal kentang. Sedangkan Dea tidak berani menyentuh makan karena sedang diet.

“Sudah makan saja mubazir kalau tidak dimakan,” cletuk Surya sambil menengguk sirup merah.

“Iya sudah, Bapak tinggal dulu, silahkan dimakan. Masalah pembayaran bisa kalian bayar besok, jika fasilitas kurang berkenan di hati tidak usah bayar juga tidak apa-apa,” ujar pak Tarjo dengan ramah, lalu pergi bersama istrinya meninggalkan kami di meja makan.

Mendengar perkataan Pak Tejo aku mengurungkan niatnya melahap ayam goreng. Ada sedikit keganjalan. Apa lagi dengan sorotan matanya yang berubah seperti mata Elang.

Mataku masih saja belum bisa tidur, suara aneh masih terus menerus aku dengar. Sekelebat bayangan hitam terlihat di balik jendela. Aku pun beranjak dari tempat tidur lalu mengintip dari celah horden, ternyata tida ada apa-apa. Tiba-tiba bau bunga melati begitu menyegat sekali terus bergantian dengan bau kemenyan. Langsung berbalik badan menuju tempat  berbaringan serta membangunkan Dea. Ia tidak terbangun malah mendengkur lebih keras.

Teng … Teng … Teng.

 Selang jam berbunyi menunjukan jam 12 malam. Aung Serigala terdengar menampakkan kegagahan di tegah bulan purnama.

“Dea bangun,” lirihku sambil mengguncang tubuh gembrotnya.

hemmm, udah tidur saja Kinan. Kita bicara besok saja.”

Aku sangat kesal lalu menyiram air mineral ke wajahnya. Dea terbangun dengan perasan kesal, aku lagsung membungkam mulutnya, tubuhku yang seperti biola Sepanyol ternyata tidak bisa menahan bobot tubuhnya, kami pun terjatuh di lantai.

Krekkk, terdengar suara kenop pintu berputar. Aku dan Dea merayap mengumpat di kolong tempat tidur. Keringat sudah bercucuran, gemuruh napas sudah tak teratur lagi.

“Kinan, Dea.”

Suara itu tak asing lagi, aku terkejut setelah melihatnya.

“Arif,” gumamku, bergegas ke luar dari kolong serta berdiri mengunci pintu kamar.

Tubuh Arif gemetar, baju yang ia pakai basah oleh keringat. Ia menunjukan arah ke luar, mulutnya komat kamit seperti ingin menceritakan sesuatu. Tiba-tiba arif memuntahkan isi perutnya, ke luar lah cacing dan belatung. Sungguh sangat menjijikan sekali membuat aku dan Dea rasanya ingin muntah juga. Spontan langsung menarik  seprai untuk menutupi muntahan yang tercecer di lantai.

“Kita harus ke luar secepatnya dari sini! sebelum mereka menjadikan kita sebagai tumbal.”

“Apa!” seruku dengan tubuh gemetar. Arif pun menceritakan apa yang telah dilihatnya.

Asap mengepul dari kamar belakang, Arif yang tidak sengaja melihatnya, mengendap-endap penasaran apa yang ada dalam kamar. Dari celah pintu terlihat keadaan kamar yang remang-remang. Tangan bergemetar tidak sengaja menyenggol hiasan dinding ternyata tengkorak manusia yang dirawat dengan apik. Tidak puas melihat ia pun masuk ke dalam, di lantai banyak sesajen untuk persembahan yang dibungkus dari daun jati yang dibuat menyerupai perahu yang diisi dengan nasi putih, nasi kuning, bawang merah serta cabai merah. Bukan itu saja dua gelas kopi hitam, air teh, satu buah kelapa hijau, serta dua batang rokok, satu sisir pisang hijau yang sudah disiapkan di tampah.

Arif membukam mulutnya sendiri merenyitkan dahinya menutup matanya. Melihat Pak Tejo sedang melupasi kulit serta istrinya menggulungnya dibentuk seperti buga mawar, lalu dicelupkan kedarah yang segar dan dibakar jadilah mawar hitam untuk persembahan. Kaki Arif menjadi lemas seperti tidak ada tulang, melihat wajah sahabatnya sudah digantung seperti lampu lampion. Bayangan tubuhnya menghalangi lampu sehingga Arif ketahuan dengan sekuat tenaga ia lari.

“Berarti Surya sudah, Ma—ti?” tanyaku terbata-bata.

Arif hanya menganggukan keplanya dengan lemas. Dea menjadi histeris setelah mendengar cerita Arif. Ia menguncang tubuhku karena dirinya tidak mau mati dengan keadaan yang sadis.

“Tenang Dea!” bentakku, “Kita cari jalan ke luar bersama-sama.”

Keadan Arif tidak bisa diajak kompromi, aku menampar serta mencubitnya ia malah diam saja. Tatapan matanya kosong. Aku meminta Dea untuk menjaga Arif. Dea pun menuruti apa pekartaanku. Aku langsung ke luar dari kamar dan pergi menuju dapur. Mencari sesuatu untuk dijadikan senjata. Sesampai di dapur hanya menemukan garam dan beras. Dengan perasaan gemetar aku merendam beras serta mengambil air rendamanya. Kata orang zaman dahulu air rendaman beras bisa untuk mengusir roh jahat. Aku bergegas sambil melirik ke kanan serta ke kiri untuk kembali menuju kamar. Aku menjumbul ketika ada yang menempuk bahuku dari belakang.

“Ternyata Kamu Dea,” gerutuku sambil memberikan air beras serta garam. Dea pun menuruti perintahku untuk menyebarkan garam di depan kamar, serta menyiramkan air beras ke tubuh Arif.

“Kenapa Kamu enggak ikut kembali ke kamar?” tanya Dea.

“Sudahlah Aku nyusul, aku akan pergi minta bantuan.”

“Tapi … Ya sudah hati-hati,” ucap Dea.

Suara angina begitu kencang sekali, belum sempat membuka pintu rumah. Tubuhku sudah dihantam terlebih dahulu dan diseret menuju kamar belakang. Aku teriak memanggil Dea, teriakanku seperti angin yang berlalu tidak ada yang mendengarnya malah mengema dalam ruang tamu. Pak Tejo sudah menjilati pisau sedangkan istrinya sedang menyalakan bara api untuk memanggang. Aku meronta sekuat tenaga, melawan tubuh Pak Tejo yang sudah tua. Pak Tejo malah tertawa terbahak-bahak.

“Hai Nona, teriaklah sesukamu, asalkan Kamu tahu, ini sudah memasuki hari Jum’at kliwon, tepat sekali tanggal 13. Waktu yang pas untuk membuat sesajen mawar hitam dari kulitmu yang mulus, yang akan dipersembahkan malam Sabtu manis jam 11 malam. Semakin banyak persembahan semangkin banyak harta yang aku dapat, serta ilmu hitam yang aku miliki.”

“Dasar Iblis!” teriakku sambil meremas saku celana. Aku merogoh saku itu ada tujuh kelopak bunga mawar  hitam yang diberikan oleh wanita yang menunjukan jalan sebelum sampai ke penginapan ini. Dengan kasar Pak Tejo mendorong tubuhku. Aku pun terjatuh tersungkur, kelopak bunga mawar hitam pun berterbangan. Aku berteriak dengan kencang ketika Pak Tejo ingin menusuku dengan sebilah pisau yang mengkilap, tiba-tiba pisau itu ditangkis oleh hantu wanita yang memberikan kelopak bunga hitam kepadaku. Aku melotot, tubuhku mengelurkan banyak puih sebiji jagung dengan tangan aku mengelap bekas darah di ujung bibir dengan kasar. Hantu wanita itu merasuk dalam tubuhku.

Mataku melotot berubah menjadi merah, tubuhku melayang, kuku jariku panjang-panjang serta rambutku berubah menjadi putih. Pak Tejo masih saja menguncapkan mantranya lalu ke luarlah mahluk yang bersemayam dalam tubuhnya yang bertanduk dengan mata berwarna hijau. Bola cahaya itu saling menyerang, menendang tubuhku hingga aku terpental jatuh ke lantai. Lalu aku pun bangkit lagi, tanganku menjulur panjang menarik tanduk serta melemparkan hingga membentur tembok. Serangan terus terjadi mengenai satu sama lain.

Tiba-tiba suara itu menbuat telingaku menjadi panas, Mahluk yang bertanduk itu terbakar, sedangkan hantu yang merasuk ke tubuhku ke luar dan hilang terbakar. Bersamaan dengan bunyi ledakan dari tempat persembahan Pak Eko, seketika itu penginapan megah itu berubah menjadi kuburan dan gubuk yang sudah koyak. Kuburan wanita itu pun lalu dibongkar dan di makamkan dengan wajar. Wanita itu adalah korban dari Pak Tejo yang untuk tumbal sehingga arwahnya selalu gentayangan. Pak Kiai meminta agar aku dan temanku untuk menginap di rumahnya serta mencabut benda-benda mistis yang ada di dalam tubuh. Aku memeluk tubuh Dea. Dalam pelukan mataku berulangkali mengerjapkan, aku  melihat sosok Pak Tejo terbakar terbang menembus langit. Sedangkan hantu wanita itu tersenyum lalu menghilang.

-Tamat-