Cucuku yang manis selalu ada-ada saja, kemarin dia berbicara mengenai cara berteman dengan binatang, sekarang dia berbicara mengenai peraturan spesial. Dia berbicara dengan mulut penuh makanan di meja makan, dia berbicara tanpa berusaha menelan sebutir nasi dahulu. Aku, neneknya, hanya mendengarkan, bersama sang abangnya yang sabar.
“Peraturan Spesial Rara, Nomor satu : Jangan jahili Rara! Rara gak suka dijahili. Nomor dua : Jangan masuk kamar Rara! Isinya penting dan super rahasia! Nomor tiga : Jangan tanya kenapa!”
Aku hanya tertawa, kusendok kuah sup dari wadah. Rara itu spesial, aku menyayanginya. Abangnya juga spesial, aku menyayanginya. Keluargaku adalah keluarga spesial, aku menyayanginya dengan seluruh hidupku.
“Kalau begitu, abang Karen juga bakal kasih Rara peraturan spesial,” Kakaknya menyahut, “Rara gak boleh ke taman kompleks perumahan kalo sudah diatas jam 8 malam!”
“Heh...??? Kenapa?? Rara kan suka banget main disana!”
Si abang membuka mulut, menyeringai “Kan sudah malem, adik! Terus... nanti kalo kamu disana, ntar ditangkap sama setan!!!” Karen diam, lalu berteriak “HUWAA!!” Karen mengejutkan Rara, hingga membuat Rara berkaca-kaca Wajahnya diantara kaget, marah serta ingin menangis.
“Kakak... takut!! Hiks, Huwee! Rara benci kakak!” Ekspresi Karen hanya senyum-senyum saja, kupandangi Karen galak. Lalu kuelus rambut cucu perempuanku satu-satunya tersebut, dia menangis sesenggukan.
Malam berlalu, bulan nampak di langit membatasi pukul sepuluh. Cahaya purnama menorobos masuk ruang makan, aku hanya duduk membaca buku. Sementara sang abang, Karen, usai saja menyuruh Rara tidur.
“Bagaimana nak, hasil penyelidikanmu saat bekerja?” Aku menutup novel Cinderella-ku. Karen cucuku si kepala polisi, membawakanku secangkir jahe hangat. Dia duduk serius. Aku juga serius. Hawa jahe tidak membuat dinginnya malam berkurang.
“Kami tidak berhasil menemukannya, nek. Setelah penemuan jenazah di taman kompleks perumahan, kami tak bisa menemukan siapa pelakunya” Cucu laki-lakiku hanya merunduk saja, dia gelisah. “Pelakunya sangat jahat, nek. Dia mengawetkan jenazah anak-anak dengan formalin. Semua anak disana... ditemukan kaku dan keras.”
Formalin? Itu jahat! –aku berpikir, “Benar-benar ngeri, ya kan, Karen?”
“Ya. Doakan saja aku bisa menangkap pelakunya! Akan kutegakkan keadilan di muka bumi ini! Akan kupenuhi janjiku ke ibu, nenek juga akan selalu mendoakanku kan?”
Dengan tersenyum lembut, aku berkata iya. Hatiku sebenarnya berasa kecut, ibu Karen... ibu Rara... dialah anak tunggalku satu-satunya. Anak manis yang tak pernah kuperhatikan... aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, melewatkan banyak masa-masa berharga saat dia tumbuh besar, saat dia lulus kuliah, saat dia menikah, maupun saat dia ditemukan tewas bunuh diri dihadapan cucu-cucuku.
Aku tak ada disana saat anakku meninggal, aku tak ada disana saat anakku kesulitan. Aku justru sibuk bekerja mengurung diri di kamar karena pekerjaanku sebagai Youtuber. Aku... tak bisa mengampuni diriku sendiri saat sadar anakku telah gantung diri. Aku... menjadi ibu terbodoh yang pernah ada. Lalu aku melihat Karen dan Rara, setidaknya, setidaknya untuk mereka... aku akan berusaha menjadi nenek terbaik untuk mereka.
Karen pergi, aku termenung sebentar. Lampu ruangan mati hanya diterangi reremangan purnama yang kusebutkan tadi. Grudak! Gruduk! Aku mendengar bunyi aneh dari lantai atas. Dari kamarnya Rara kah? Aku berjalan terseok-seok, suara langkah selop bergesekan dengan lantai. Aku sampai pada pintu putih berhias pink bergantungan tulisan ‘RARA’ besar-besar. Cucuku akan marah jika tahu aku masuk kedalam, tapi... aku harus memeriksanya!
“Rara... ada a...” Suaraku terputus dengan pemandangan mayat melayang tergantung di langit-langit. Aku melihat kuncir rambutnya, model bajunya, senyum yang tak pernah mampir lagi di wajahnya. Cucuku, Rara! “Arrgh... ah...” Aku hampir menangis, aku tak bisa bergerak. Membeku di tempat. Aku menatap ke bawah, ada cermin. Terpantul bayanganku disana. Tiba-tiba saja bayanganku menyeringai sendiri, tersenyum bagai iblis. Dia berbisik.
“Mati kau, Pembunuh!”
Dari cermin munculah sebuah tangan hitam besar. Dia menariku sangat cepat, masuk ke dalam cermin. Aku berteriak, semuanya gelap. Kepalaku terantuk ketika mendarat. Aku terbangun di atas kursi, masih terduduk di ruangan baca.
Aku bermimpi? Dipenuhi kekalutan, aku berlari naik ke atas kembali. Menggedor pintu kamar Rara sekeras mungkin. Ketika cucuku keluar sambil mengucek mata, aku menatapnya tak percaya. Kupegang dia, lalu kupeluk seerat mungkin sampai ia kesakitan.
“Syukurlah, kau baik-baik saja...”
+++
“Nek, Rara mau es krim”
Dia merengek, terus merengek, dan merengek lagi. Sekarang sudah malam dan tiba-tiba dia ingin makan es krim setelah menonton iklan es krim baru di tivi. Karen sedang tugas lembur. Apa boleh buat, akan kuantar dia menuju supermarket. Toh, juga tidak jauh.
Kami berjalan bersama, melewati taman kompleks perumahan dengan was-was. Keberadaan gubuk kosong didekatnya membuat jantung tuaku semakin berdebar. Semoga jantungku masih sanggup berdetak untuk pulang dari supermarket. Di supermarket, aku buru-buru menyelesaikan urusanku dengan es krim. Lalu memutar tulang rentaku mencari Rara. Dimana dia? Ah, rupanya dia ada di pojok toko, bersama 2 anak laki-laki yang lain.
Tapi, kedua anak itu sedang asyik menjahili Rara. Dia menjambaki rambut Rara, mendorong-dorongnya, mengatai dia jelek. Lalu sepintas juga kudengar mereka berkata begini “Kau anak setan! Ibumu kerasukan setan kan? Makanya ibumu bunuh diri!”
Mereka menertawakan Rara, cucu perempuanku hanya menangis. Kemudian dia dibalik tangisannya dia hanya menatap tajam kedua anak laki-laki tersebut. Rara mendadak beralih keluar supermarket. Berlari begitu saja membawa tangis. Kedua anak laki-laki itu pergi tersenyum puas, aku hanya memandanginya tak mampu berbuat apa-apa.
Aku menyusul pulang, tapi rumah masih terkunci. Karen yang baru saja datang bilang Rara belum pulang. Aku menelan ludah. Rara hilang? Aku menahan diri agar tidak panik. Kubilang ke Karen mungkin Rara tersesat, sehingga kuminta dia membantu mencarinya. Perasaanku tak enak. Aku pergi ke taman kompleks perumahan. Masih ada bekas galian dan kertas kuning pembatas polisi disana. Mungkinkah Rara disini? Ataukah dia tersesat... atau... atau... atau dia...
Ada sekelebat bayangan lewat memasuki gubuk. Aku bergetar hebat. Aku hanya membawa senter dan semprotan merica dari Karen. Aku tahu apa kemungkinan yang bisa kuhadapi. Kupaksa saja kaki tua ini berjalan. Demi cucuku, demi anak dari anakku.
Gubuk itu sangat gelap, sangat sepi. Tak terdapat apa-apa disana selain rongsok dan kegelapan. Jemariku menyentuh sebuah besi. Debu disekitarnya sedikit, tanda baru saja digunakan. Aku memperhatikan polanya, jangan-jangan, ini pintu!? Kudorong besi itu, tak bergerak. Begitu pula ketika kutarik, aku hampir menyerah, tapi berhasil ketika aku mencoba menariknya kesamping. Ada tangga kebawah turun dari gubuk. Dipenuhi keraguan, aku menitinya mengawasi lorong. Aku memperhatikan lorong. Aku memperhatikan sendi-sendinya. Setiap sisi dindingnya. Lorong ini... begitu kukenali. Aku seolah pernah kesini sebelumnya... berdua bersama dengan seseorang. Tapi dengan siapa? Aku lupa...
Ada pintu, aku membukanya. Ada dua anak laki-laki yang menjahili Rara tadi! Sejak kapan mereka disini!? Aku berlari mendekati mereka, saat kupegang, mereka sudah dingin. Kudekatkan telingaku ke dada mereka. Mereka sudah mati. Aku mencoba bertahan agar masih waras. Lalu saat kuputar senterku berkeliling ruangan. Kutemukan lebih banyak mayat lagi. Tidak ada yang berlumuran darah. Mereka hanya duduk anggun, kaku layaknya boneka. Memperhatikan kegelapan kosong ruang bawah tanah. Aku menangis tanpa sadar. Ada anak tetangga yang hilang 2 bulan yang lalu, ibunya sampai gila mencarinya. Ada anak perempuan super bandel paling dibenci anak-anak kompleks seperumahan, ada juga anak satpam perumahanku. Mereka semua disini... mati terbujuk kaku. Satu-satunya yang membuatku heran adalah, ada dua jenazah orang dewasa. Satu perempuan dan satu laki-laki, menyandar lemas di dinding tembok. Jenazah asing yang tak kukenali sedikitpun.
Aku mendengar langkah kaki, seseorang datang! Kumatikan senterku dan aku bersembunyi dibalik sebuah lemari. Datanglah cahaya lilin, sebuah tangan membawanya. Di tangan satunya ada botol putih. Suaranya terdengar mengajak bicara ‘sesuatu’.
“Halo, siapa yang kangen? Kalian kesepian kan? Hari ini, kalian dapat temen baru lo! Perkenalkan, Yudi dan Fawas. Biasanya kita main bareng kan... tapi, si Yudi sama si Fawaz masih malu buat ketemu kalian. Tunggu dulu ya...”
Orang itu mengeluarkan jarum suntik. Terlihat dari samarnya lilin kuning, dia menyedot cairan di botol dengan suntiknya. Kemudian... ya tuhan! Dia menyuntikkannya ke mayat dua anak itu! Dia lalu menyeret dua mayat dan membuat pola melingkar, seperti sekumpulan anak kecil sedang asik merapatkan sesuatu. Orang itu tertawa cekikikan, berbicara kepada mereka seolah mereka hidup. Aku mendengar kata ‘Ayo bermain pasar-pasaran’. Seandainya aku bisa melihat wajah orang itu... cahaya lilin terlalu remang guna melihatnya... Aku hanya bisa mendengar dia tertawa. Tertawa hidup diantara keheningan mayat. Hidup dalam kehamapaan, kesendirian.
Namun dia terhenti, meloncat begitu saja. Berjalan memutar, mendekat ke almari. Tunggu, aku disini! Ya tuhan, jangan sampai dia melihatku! Aku berusaha mengurangi nafas sambil berdoa memejamkan mata. Aku belum boleh mati, aku harus tahu siapa orang itu! Untung dia hanya mengambil botol lain disamping almari. Aku takut, takut setengah mati. Agaknya jantung rapuhku sekarat, pandanganku memburam. Aku mendengar orang itu berkata bahwa formalin yang dia gunakan untuk membuat ‘teman-temannya’ hidup telah habis. Ada sebagian ingatanku kembali saat melihat orang itu melangkah.
Ah, iya! Dulu anakku sering bermain disini waktu kecil. Mengajak teman-temannya untuk bermain pasar-pasaran. Aku pernah masuk kesini bersamanya. Ini menjadi tempat rahasia bagiku dan bagi gengnya. Saat dewasa, aku makin sibuk. Aku meninggalkannya sendiri, teman-temannya kudengar juga pindah ke luar kota. Anakku sepertinya begitu kesepian. Kenapa ingatan ini kembali sekarang?
Pandanganku kembali. Aku melihat orang itu. Sekarang aku bisa mengenalinya. Iya... aku ingat pemandangan tersebut. Sesaat setelah Rara berumur dua tahun, ayah-ibunya memeluk cucu perempuanku dengan penuh kasih sayang. Pemandangan itulah yang mirip kusaksikan sekarang, seorang anak perempuan dipeluk dua mayat dengan bahagia. Bocah perempuan ditengah itu tersenyum senang, tak keberatan dipeluk mayat.
“Aku menyayangimu, papa, mama.” Kata anak perempuan di tengah tersebut.
Rara, itukah engkau? Sekarang aku bisa melihatmu dengan jelas, wahai cucuku. Kaulah yang menyimpan seluruh mayat ini? Kaulah yang mengubur jenazah yang sudah membusuk di taman kompleks? Kaulah sang setan yang ramai dibicarakan orang itu? Aku tak ingin percaya... Tapi jika kau memang melakukannya, nenekmu ini akan langsung percaya.
Seorang anak kecil super jenius dengan bakat tiada duanya, Rara. Lincah dalam pelajaran maupun fisik. Memenangkan kontes balet internasional. Ilmuwan muda super jenius, Ahli IT. Rara sudah ditawari pekerjaan oleh perusahaan asing seandainya tidak kutolak, aku hanya ingin Rara menjadi cucuku yang biasa.
Ternyata, aku tak bisa menjadi nenek yang baik untukmu ya?
Melihat pemandangan memilukan tersebut, seorang anak kecil yang dipeluk mayat. Membuatku makin sakit hati. Seorang anak kecil yang dipeluk mayat, tersenyum bahagia ditengah kesepian. Seorang anak kecil yang dipeluk mayat, menyisakan pemandangan horor pilu bagi neneknya.
Rara tertidur pulas, aku beranjak pergi. Aku pulang ke rumah, memberitahu Karen apa yang kulihat, tapi tidak dengan kebenarannya. Kukatakan pada Karen, aku menemukan Rara di gudang bawah tanah setelah melihat sesosok mencurigakan membawanya turun. Aku melihat Rara diculik. Itulah kebenaran palsu yang kuungkapkan ke Karen. Mungkin benar kata bayangan di mimpiku, aku adalah seorang ‘pembunuh’. Aku membunuh anakku dalam kesendirian, aku membunuh Rara dengan kesepiannya, sekarang aku membunuh kebenaran dari kejahatan cucuku. Mungkin aku memang pantas mati.
Aku membuka pintu kamar Rara. Aku melanggar peraturan spesial Rara, mungkin karena aku jadi menemukan tumpukan formalin dan puluhan kalajengking terlatih. Kalajengking yang kuketahui sangat mematikan. Rara bisa berkontak dengan hewan... dia pernah cerita. Aku menutup pintu, Karen datang dua jam kemudian, dengan Rara tergendong sedih di punggungnya. Karen bilang Rara menangis saat ditemukan, katanya dia merengek tak mau dilepas. Karen bilang dia heran, aku tidak. Aku justru kasihan. Begitu kasihan. Karen bilang jenazah yang ditemukan akan dibawa ke kepolisian untuk diotopsi, disisi lain, Rara hanya menangis, lalu lari masuk ke kamar. Aku memandangi Karen, ini kenyataan, bukanlah mimpi...
Seandainya kebenaran ini hanyalah mimpi... Aku memeluk Karen, menangis sesenggukan.
“Aku telah kehilangan dua Rara...” Isakku. Karen kebingungan. “Rara sebagai ibumu, dan Rara sebagai adikmu...”
“Tapi nek, Meskipun Rara ibuku sudah mati, Rara adikku masih hidup.”
Aku hanya menangis. Mereka begitu mirip. Nama mereka sama, mereka juga kesepian, sama-sama dibesarkan oleh satu nenek yang payah.
Aku lelah, dan aku hanya ingin tidur. Aku terhuyung menuju kasur dipapah Karen. Dia pamit padaku melanjutkan kerjanya. Aku meraih smartphone, munculah pemberitahuan berita mengenai nama jenazah anak-anak yang dikubur di taman kompleks perumahan. Salah satunya bernama Karen. Ini kebetulan kan? Cucu laki-lakiku kan masih hidup...
“Nenek sudah baca?”
Suara kecil Rara mengejutkanku. Puluhan kalajengking berbaris, mengerubungiku bagai semut. Rara duduk di dipan kasur, memutar-mutar permen di tangannya.
“Nek, Rara itu gak punya abang. Abang laki-laki Rara sudah lama meninggal karena kecelakaan mobil, nenek lupa ya?” Rara terdiam “Sudah lama nenek berhalusinasi seolah-olah abang masih hidup. Nenek ingin kakak jadi polisi, makanya nenek selalu menganggap bayangan abang sebagai polisi. Padahal abang udah lama mati... bareng bersama mama dulu...”
Buliran air mata jatuh tanpa dapat diinsyafkan lagi. Pecah bertaburan ditatap puluhan mata kalajengking.
“Lupakan saja nek... tidurlah dalam mimpimu... semua ini hanya mimpi, tidak benar... Jika nenek tidak melihat Rara di tempat persembunyian tadi, nenek tidak seharusnya mati. Tapi nenek akan bertanggung-jawab, kan? Nenek kan neneknya Rara yang baik hati...”
Aku memejamkan mata, kalajengking itu merangkak. Biarlah semuanya itu terjadi... Biarlah semuanya berakhir... Aku merasakan kelumpuhan luar biasa saat ekornya menyengatku. Aku membuka mata, Rara tersenyum manis.
“Jangan khawatir nek, nenek akan terus bermimpi... racun itu bukan racun mematikan, itu racun pelumpuh seumur hidup. Rara sayang nenek, masih mau nenek hidup. Rara bohong kok, tentang semuanya. Nenek kubuat bingung aja dengan kebohongan dari Rara barusan, biar nenek gak ngelawan Rara. Abang Karen itu ada kok. Berita itu juga bohong, soalnya berita itu Rara yang nulis, nenek kok bodoh amat ya, ditipu Rara kok mau aja? Btw, Sekarang, nenek akan menjadi Teman Rara yang ke-99, dan jika ditambah abang, genap seratus deh! HAHAHA!”
“Rara...” Desahku pelan.
“Gapapa nek, sekarang Rara akan merawat nenek dengan baik. Nenek akan terlepas dari semua penderitaan nenek. Nenek itu spesial, Rara biarin nenek hidup biar nenek bisa melihat semua teman-teman Rara. SEMUAANYAA!!!” Rara memencet tombol-tombol di hape. “Sekarang, beritanya sudah Rara benerin. Nama korban aslinya bukan Karen, tapi Rara! Rara yang mana? Gak usah tahu... toh, Rara anak nenek sudah lama mati gantung diri... atau Rara cucu nenek sudah lama menjadi setan... Siapa peduli dia Rara yang mana. Kan, nek?”
Air mataku menetes untuk yang terakhir kalinya.
Rara adalah cucuku yang manis, dia anak yang riang gembira. Setiap hari, aku selalu melihatnya bermain dengan kawan-kawannya di rumahku. Kadang kami duduk bersama di meja makan, mengobrol bersama abangnya, Karen, yang begitu sabar, atau duduk bersama seluruh keluarga menyaksikan televisi atau membaca buku cerita. Dia punya tiga peraturan spesial, satu jangan jahili dia karena Rara tak suka dijahili. Dua, jangan masuk kamarnya, karena dipenuhi barang-barang rahasia.
Tiga, jangan tanya kenapa...