Penelitian Tujuh Hari

Penelitian Tujuh Hari

Muhammad Dennisyah Bramasta

4

“Den, kamu bimbingan sama saya ya jam 1 hari ini. Ajak juga si Reza sekalian.” Begitulah bunyi pesan masuk di handphone-ku tadi pagi. Pak Andri, dosen pembimbingku memang cukup dekat dengan mahasiswanya. Entah apa yang membuatnya sangat dekat dengan para mahasiswanya, yang jelas, bagi mahasiswa tingkat akhir jurusan kimia sepertiku, itu merupakan karunia yang sangat besar. Tidak perlu susah-susah menghubungi dan membuat janji dengan dosen pembimbing seperti mahasiswa lainnya.

Akhir-akhir ini, skripsi lah yang menjadi momok bagi aku dan kawanku si Reza dan mungkin sebagian besar mahasiswa tingkat akhir lainnya. Aku ingin segera lulus agar meringankan beban biaya kuliahku yang cukup mahal. Suatu berkah yang teramat sangat mendapatkan dosen pembimbing seperti Pak Andri.

Ketika jam sudah menunjukan jarumnya ke angka 1, aku bersama Reza bergegas ke ruangan Pak Andri. Disana ternyata sudah terkumpul 5 orang, termasuk Pak Andri. Dua diantaranya adalah teman-temanku yang juga beruntung mendapat dosen pembimbing Pak Andri, yaitu Iwan dan Luki. Sedangkan dua yang lainnya memakai seragam putih-hitam, terlihat sudah seperti karyawan dan hanya menunjukkan senyum tipis kepada kami.

“Nah, bagus. Orang terakhir kita sudah dating. Tolong tutup pintu dan jendelanya Den. Tidak enak terlihat orang di luar.” kata Pak Andri, yang kemudian aku lakukan tanpa banyak tanya.

Pak Andri menghela nafas sebentar, “Tanpa perlu basa-basi. Saya sebenarnya tidak ingin mengadakan bimbingan di pertemuan kali ini. Tapi saya benar-benar butuh bantuan kalian. Seperti yang kalian tahu, saya juga bekerja di perusahaan riset kimia. Kemarin, kami berhasil menemukan sebuah zat baru hasil dari pengolahan limbah pabrik. Namun, karena belum ada waktu, saya belum sempat menelitinya.” Pak Andri mengambil nafas sebentar, meneguk air dari gelas di mejanya, kemudian melanjutkan. “Jadi saya butuh bantuan kalian untuk membantu penelitian saya di zat baru ini.”

“Lalu skripsi kami bagaimana, Pak?” tanya Reza.

“Ah kau ini,  kalian bisa gunakan hasil penelitiannya untuk data skripsi kalian kan? Begini saja.” Pak Andri lalu mengecilkan volume suaranya “Skripsi kalian aman sama saya. Saya juga akan tambahkan masing-masing per orang 5 juta dan jika berhasil, 10 juta per orang. Setuju?”

Tawaran ini jelas sangat menggiurkan bagi kami. Sudah skripsi dipermudah, dapat uang jajan pula. Segera kami disodorkan surat kontrak tebal untuk ditandatangani. Reza mencoba mencoba membacanya dengan teliti, namun setelah baru membaca lembar pertama saja dia langsung tanda tangan. Sedangkan aku hanya membaca judulnya saja langsung ku tanda tangan. Luki dan Iwan pun juga sudah sangat penasaran dengan penelitian yang ditawarkan, Pak Andri menjelaskan bahwa kami harus menyiapkan pakaian untuk menginap selama seminggu, karena ternyata letak laboratorium berada di luar kota. Ketika aku keluar dari ruang Pak Andri, tiba-tiba ada seseorang yang menarikku.

“Ku beri tahu kau satu hal, sebaiknya batalkan semuanya. Sebelum semuanya terlambat.”

Lalu dia beranjak pergi tanpa permisi. Aku pun ditinggal dalam kebingungan. Entah mengapa, aku jadi berpikir lagi. Seperti ada sesuatu yang ganjil. Tapi mana mungkin aku menolak rezeki. Akhirnya ku putuskan untuk tidak menghiraukannya.

Esok paginya, kami berempat ditambah dua karyawan yang ikut dalam ‘bimbingan’ kemarin, hanya saja kali ini dengan seragam lapangan, dan juga Pak Andri. Perjalanan yang memakan waktu 8 jam. Ketika turun dari mobil Pak Andri, kami tiba di bagian lereng bukit. Disana terdapat bangunan yang terlihat cukup tua, bercat putih yang sudah ditumbuhi lumut dan tanaman rambat di beberapa bagiannya. Bagunan yang terkesan seperti gedung kosong ini digunakan sebagai laboratorium dengan alas an jauh dari pemukiman. Pintu masuknya tepat mengarah sisi bukit, sedangkan bagian belakang bangunan tepat langsung mengarang ke jurang.

Setelah di briefing untuk terakhir kalinya oleh Pak Andri, yang lalu langsung meninggalkan lokasi, kami segera masuk ditemani oleh dua karyawan pendamping kami. Laboratorium itu cukup lengkap, ketika kami masuk langsung ke ruang santai yang terdapat sofa, televise dan rak-rak buku. Terdapat dua lorong dari ruang santai, satu mengarah ke bagian kamar tidur dan dapur, yang satunya mengarah ke ruang penelitian. Kamar mandi berada di kamar tidur masing-masing. Aku dan Reza memilih kamar yang dekat dengan dapur, sedangkan Luki dan Iwan disebelahnya. Sedangkan kedua karyawan itu lebih memilih tidur di sofa.

Setelah beristirahat satu menit, kami segera dibawa ke ruang penelitian. Terdapat banyak meja dengan alat-alat penelitian dan sebuah kotak berwarna coklat berukir diatas meja yang paling tengah.

“Hal yang harus kalian teliti ada didalam kotak itu, Tolong selalu tutup pintu ruangan ini ketika kalian melakukan penelitian. Kami tidak suka dengan bau-bau zat kimia.” terang si karyawan.

Setelah kedua karyawan tersebut keluar, kami langsung mengerubungi kotak tersebut. Dengan rasa penasaran yang tinggi, kami lalu membuka kotak tersebut. Seketika bau menyengat keluar dari kotak yang berisi sebuah cairan didalam tabung berwarna hitam. Hampir saja aku muntah, namun bau menyegatnya itu hanya terjadi ketika awalnya saja. Selanjutnya hanya tercium aroma tipisnya saja. Hari pertama penelitian tidak menghasilkan apapun.

Di hari kedua, cuacanya berubah menjadi sangat buruk. Hujan badai disertai petir yang menyambar. Akibatnya, sambungan listrik dan telepon mati. Semua alat komunikasi tidak berfungsi. Dua karyawan yang paham dengan situasi ini lalu berinisiatif untuk memperbaik antenna di tengah badai, sementara kami menunggu di dalam. Sekitar satu jam kemudian, terdengar suara bergemuruh di luar. Kami beramai-ramai melihat ke jendela. Alangkah terkejutnya kami ketika terjadi tanah longsor. Berita baiknya, longsornya tidak mengenai kami, berita buruknya, longsornya menerjang jalanannya sehingga kami terisolasi disini.

Semua peristiwa tersebut terjadi, ditambah hilangnya dua karyawan tadi, dalam rentang waktu berdekatan membuat kami mengalami syok. Kami hanya bisa terduduk di lantai. Lutut kami serasa lemas sekali. Makanan disini memang sudah disiapkan untuk kebutuhan selama tujuh hari lebih. Mungkin kita bisa menunggu hingga Pak Andri datang menjemput tanpa khawatir kelaparan sambil terus melakukan penelitian. Hari kedua pun masih mengalami kegagalan.

Hari ketiga, semua yang ada disini sudah mulai terlihat depresi. Selain karena keadaan, hasil dari penelitian yang kami lakukan juga belum berhasil ditemukan. Tambah lagi, cairan misterius ini mengalami penguapan sehingga jumlahnya mulai berkurang. Segala cara sudah kami lakukan untuk menguraikan zat ini, namun gagal.

Hari keempat, semua mulai panik dengan kondisi kami yang terisolasi. Teman-temanku mulai berperilaku aneh. Pagi tadi sebelum dimulainya penelitian, Luki menjilati tangannya sendiri. Sedangkan setelah makan siang, Iwan menempelkan dahinya di dinding kamar selama berjam-jam. Reza tampak berbicara sendiri pada televisi yang bahkan tidak menyala.

Hari kelima, penelitian ini sudah tidak beres. Tidak ada lagi yang mau melanjutkannya. Bahkan aku sendiri mulai depresi berat. Reza sudah tidak lagi tidur di kamar, tapi malah tampak berbicara dengan TV sepanjang malam. Lalu kudengar suara duk, duk, duk dari kamar sebelah. Ketika aku membuka kamar sebelah, tampak pemandangan lebih mengerikan. Iwan memukulkan dahinya ke dinding hingga dinding tersebut basah dengan darah. Sementara Luki sedang asyik mengemut jempol kakinya. Melihat aku memergokinya, Luki segera menghampiriku dan mendorongku keluar. Aku pun tak bisa apa-apa dan mulai merasa kepalaku mau pecah. Aku pun kembali ke kamar.

Hari keenam, suasana semakin memburuk. Terdengar bunyi kunyahan aneh dari sebelah. Aku segera bergegas memeriksanya. Kali ini aku langsung muntah. Luki dengan posisi seperti binatang sedang mengunyah lengannya, sementara Iwan sudah tergeletak dengan kepala pecah. Luki yang melihatku, segera melompat kearahku. Kuku-kukunya yang panjang hampir menghantamku sebelum akhirnya aku menendangnya kemudian menutup pintu dan mengganjalnya dengan apapun agar dia tidak keluar. Situasi ini sangat aneh, Iwan yang membenturkan kepalanya sendiri, Luki yang menjadi makhluk aneh, entah apa yang terjadi dengan Reza.

Reza kemudian menghampiriku lalu bertanya “Apakah kau ingin keluar? Aku tahu cara keluar dari tempat ini. Aku diberitahu oleh dia” sambil menunjuk TV.

 “Bagaimana?”

“Terbang”

Seketika itu pula, Reza menghantam jendela yang mengarah ke jurang di belakang laboratorium. Aku hanya bisa terduduk lemas sambil menganga. Mengapa semua ini bisa terjadi.

Ketika aku merenung di sofa, secara tak sengaja aku mendapatkan secarik foto dari rongga di sofa. Terdapat empat orang disana. Salah satunya seperti pernah bertemu denganku. Lalu kubalik dan ternyata terdapat tulisan.

“Jika kau membaca tulisan ini, mungkin artinya kau juga sudah mengalami apa yang kualami. Jangan pernah percaya Pak Andri dan dua karyawannya. Kau disini bukan untuk meneliti, tapi sebagai bahan penelitian, kelinci percobaan. Aku berhasil mengurai zat tersebut  dan menemukan bahwa cairan tersebut adalah gas syaraf yang melepas ‘kegilaan’ yang selama ini kita simpan. Aku berharap kau masih bisa menyalamatkan anggotan timmu, karena semua anggota tim ku tewas.

            PS. Sebaiknya kau berhati-hati terhadap temanmu, terutama yang gejalanya menjilat.”

          Seketika itu, tiba tiba pintu kamar Luki terbuka. Makhluk yang bersemayam ditubuh Luki mulai merayap mendekatiku. Semakin dekat, dekat lalu menerkam.