Hujan turun merintik
Laksana kilat yang menyambar pada satu titik
Tetes air pun kian luruh menyisakan detik
Gadis itu memandang sebentar ke luar jendela yang sedikit berembun. Pelan, ia mengguman, “Kenapa harus hujan? Aku lupa membawa payung,” desahnya sedikit kecewa, karena mantel yang sedang ia pakai sekarang mungkin akan berakhir basah kuyup. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu melirik lagi ke arah jendela café transparan yang menunjukkan hujan terus turun tanpa henti. Dia terdesak, ia harus pulang sekarang juga jika tidak ingin acara yang sudah ia atur demikian rupa hancur berantakan. Sambil membawa sebuah kantong plastik transparan berisi sekotak kue tart, gadis berambut cokelat sebahu itu lantas berdiri dari posisi duduknya, meninggalkan kepulan asap kopi Latte-nya yang hangat, dan mulai menerjang langit menangis di luaran sana.
Seungwan nama gadis itu, lebih memilih melindungi plastik berisi kue tart yang ia bawa di balik mantel abu-abunya dibanding melindungi kepalanya sendiri dari derasnya hujan. Bagai orang gila, Seungwan berlari secepat yang ia bisa menuju halte bis. Untunglah jarak halte bis dengan café itu hanya perlu menyebrang jalan, jadi Seungwan hanya perlu berlari sebentar saja di tengah hujan sore itu. Sebelum akhirnya gadis itu jatuh tersungkur ke aspal ketika sebuah mobil Audi putih melaju kencang dan hampir menerjang tubuh mungilnya—jika saja si pengemudi terlambat menginjak pedal rem mobil mewah itu.
“Aish!” Seungwan kesal bukan main. Gadis itu berdiri sambil menunjuk Audi putih itu. Dia benar-benar marah, terlebih kue tart yang ia jaga dengan sangat baik sekarang sudah jatuh ke aspal dan rusak total. Belum lagi nyawanya yang hampir melayang karena kelalaian si pengemudi. “Keluar kau, tanggung jawab!” pekik gadis itu murka.
Seungwan mendadak menjadi bahan perhatian orang-orang yang ada di sana. Lalu lintas mendadak macet karena kejadian itu. Tak lama, seorang pria jangkung turun dari bangku kemudi. Pemuda itu tampan, rahangnya tegas, kulitnya putih bersih, tetapi anehnya kedua mata lelaki itu berkaca-kaca. Seungwan kaget bukan main ketika lelaki yang menggunakan sweater rajut berwarna abu-abu itu malah berlari ke arahnya, memeluknya, lalu menangis di bahunya. Hei, apa yang sedang terjadi sekarang?
Seungwan berontak. Tetapi lelaki jangkung itu makin mendekapnya erat. “Aku merindukanmu sayang, kau kemana saja?” bisik lelaki itu di tengah tangisnya, tepat di telinga Seungwan sambil terus memeluk gadis mungil itu.
“Lepas, lepaskan aku!” desak Seungwan, tetapi lelaki itu malah makin memeluknya erat. Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini?
Tin tin!
“Kalian berdua sebaiknya menyingkir, kalian menggangu lalu lintas!”
“Berpelukan saja di tempat lain, dasar anak muda zaman sekarang!”
Mereka menyebabkan kemacetan panjang dan amarah para pengguna jalan, dan itu semua akibat dari pemuda sinting yang tengah memeluknya itu.
“Tuan, tolong lepaskan aku!”
Diam sejenak sebelum akhirnya ia menurut. Lelaki jangkung itu pun melepaskan pelukannya, tersenyum hangat kepada Seungwan, lalu menarik tangan Seungwan menuju mobil mewahnya. “Kita harus pulang,” ucapnya dengan girang. Seungwan melongo, ia meronta melawan, tetapi tenaga lelaki itu jelas lebih besar. Ayolah, umurnya sekarang 24 tahun dan dia tengah diculik di umur sedewasa itu? Astaga, Son Seungwan!
Dan disinilah Seungwan sekarang, terduduk di jok mobil putih yang terasa hangat. Lelaki jangkung itu memakaikan sabuk pengaman dengan sangat telaten kepada Seungwan, juga mengambil handuk dan memberikan kain putih itu kepada si gadis yang masih sangat kebingungan apa yang sebenarnya terjadi sekarang.
“Kenapa tidak memintaku menjemputmu? Lihatlah, sekarang kau basah kuyup, sayang,” lirih lelaki itu sambil melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Baiklah Seungwan, sekarang waktumu untuk melawan.
“Permisi, tetapi aku bukan kekasihmu dan aku juga tidak mengenalmu Tuan, jadi tolong berhenti memanggilku sayang!” suara Seungwan naik satu oktaf, dia bisa melihat lelaki jangkung yang tengah fokus menyetir itu tersenyum sekilas.
“Bohong, kau selalu bilang tidak mengenalku kalau kau sedang marah. Kau sedang marah kan sekarang? Karena kemarin aku tidak menjawab panggilan telfonmu? Ayolah sayang, kemarin aku sangat sibuk mengurus kantor dan ponselku kehabisan baterai. Maaf karena tidak mengabarimu dan tidak mengangkat panggilan telfonmu. Jadi, maaf ya? Jangan marah lagi padaku, ku mohon,” pintanya dengan lembut, sambil mengelus kepala Seungwan dengan sebelah tangannya yang bebas.
“Maaf kepalamu, aku saja tidak mengenalmu!” pekik Seungwan sambil menyingkirkan tangan lelaki itu dengan kasar.
“Yang penting aku sudah minta maaf. Terserah kau mau memaafkanku atau tidak.”
Seungwan memutar matanya jengah. “Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi sekarang?” batin Seungwan dalam hati. Dia menatap lelaki yang fokus menyetir itu, sungguh, dia terlalu tampan dan terlihat kaya untuk menjadi seorang penculik, lagipula apa yang bisa ia dapatkan dari menculik Seungwan? Dia hanyalah seorang pekerja freelance di sebuah toko percetakan, keluarganya juga bukan dari golongan konglomerat. Kalau dia kaya, Seungwan pasti tidak sedemikian kesal ketika kue tartnya jatuh ke tanah. Toh dia bisa membeli banyak kue lagi jika ia kaya. Masalahnya, dia miskin, dan kue tart itu berhasil ia beli atas hasil gaji bulanannya sebagai freelance. Lalu kenapa ia bisa berada di dalam mobil mewah dengan seorang lelaki sinting yang memanggilnya sayang ketika lelaki itu hampir menabraknya hari ini? Oh Tuhan, ini benar-benar aneh!
“Kau menculikku?” tanya Seungwan akhirnya memberanikan diri. Terdengar tawa dari lelaki di sebelahnya. “Kau benar-benar lucu, pacar mana yang menculik pacarnya sendiri, huh? Oh tidak, tunangan mana yang menculik tunangannya?” balas lelaki itu sambil menunjukkan tangan kirinya yang mengenakan cincin emas putih yang Seungwan tebak sebagai cincin pertunangan lelaki itu.
“Lihat, aku memakai cincin hari ini. Aku tidak akan melepasnya lagi, jadi jangan marah padaku, okay?”
Seungwan lemas di tempat. Dia bahkan tidak punya pacar, dan sekarang dia sudah bertunangan dengan lelaki sinting yang bahkan dia tidak tau namanya ini? Benar-benar sial!
“Aku bukan tunanganmu.” Seungwan menjelaskan, dan Seungwan tau itu percuma ketika lelaki sinting itu lagi-lagi tersenyum dengan jenaka. “Kita lihat saja sampai kapan kau bisa marah dan pura-pura tidak mengenaliku seperti ini. Cih, kau makin imut saja ketika bertingkah marah seperti sekarang, sayang.”
“Pura-pura tidak kenal dengkulku! Aku memang tidak mengenal kau, sinting! Cepat turunkan aku!” pekik gadis itu akhirnya kehabisan kesabaran. Dia melirik jam tangan murahnya. Ya Tuhan, dia terlambat pulang ke rumah.
“Tidak akan.” Seungwan makin lemas di buatnya. Lelaki sinting itu benar-benar mengurungnya di dalam mobil sialan itu.
“Berhenti sekarang dan cepat turunkan aku! Cepat turunkan aku atau aku akan menelfon polisi!” gertak Seungwan sambil meraih ponsel jadulnya dari dalam saku. Detik berikutnya, entah karena termakan gertakan Seungwan, mobil Audi putih itu menepi di pinggir jalan. Merasa ini kesempatannya, Seungwan segera meraih gagang pintu mobil, berusaha membukanya meski akhirnya ia harus mendapati kenyataan pahit bahwa pintu mobil itu terkunci rapat.
“Cepat buka kunci mobilnya, aku ingin turun!” pekik Seungwan lagi sambil terus berusaha membuka pintu mobil. Tidak ada jawaban, yang ada hanya rontaan Seungwan yang terus menerus berusaha membuka mobil mewah itu meski hasinya tentu saja nihil.
“Sayang..,” Seungwan terdiam, terlebih ketika sebuah lengan melingkari punggungnya, memeluknya dengan hangat. Seungwan ingin berontak melawan ketika ia mendengar suara tangis lelaki itu, suara rintih yang terlalu menyayat hati. “Ku mohon, maafkan aku,” katanya di sela isak tangisnya, suaranya serak, dan entah mengapa suara berat itu seakan menyihir Seungwan yang sedari tadi memberontak. “Maafkan aku,” katanya lagi, dan seperti terhipnotis, Seungwan menurut ketika si lelaki sinting kembali melajukan mobilnya di tengah jalan raya.
---
Hening. Seungwan hanya bisa diam di dalam mobil. Entahlah, mungkin nanti ia akan menyesali keputusannya sendiri yang luluh dan membiarkan dirinya tenang di dalam mobil mewah itu. Tak lama kemudian, Audi putih itu lantas berbelok ke sebuah perumahan mewah. Seungwan tercengang ketika ia akhirnya memasuki perumahan Gangnam untuk pertama kalinya dalam 24 tahun umurnya. Dan ketika mobil itu kembali berbelok ke dalam sebuah rumah super besar bak istana dengan gaya victoria bertingkat tiga, Seungwan makin lemas. “Ini rumah atau istana? Kenapa besar sekali!” batinnya tercengang.
Beberapa orang bodyguard membukakan pintu bagi lelaki di sebelahnya ketika Audi itu berhenti di pintu utama rumah. Si Sinting itu nampak bergerak menuju bangku penumpang, membukakan pintu mobil, lalu mengulurkan tangannya kepada Seungwan yang masih tercengang dengan pemandangan sekitar. Seumur-umur, Seungwan selalu tinggal di lingkungan kumuh perumahan miskin, dan sekarang ia tengah berada di sebuah istana.
Ragu, namun akhirnya Seungwan menerima uluran tangan sinting yang tampan itu. Perlahan, Seungwan mengikuti langkah pemuda jangkung itu memasuki rumah yang sedemikian mewah. Puluhan pelayan nampak berbaris rapi dan mengucapkan “Selamat datang, Tuan Muda” sambil membungkukkan badan 90 derajat. Sepatu kets jadul milik Seungwan akhirnya menginjak karpet merah mahal yang hanya pernah ia tonton di televisi. Bak seorang putri, para pelayan melepas mantel lusuh Seungwan dan mengantarkan gadis itu menuju kamar mandi, bersih-bersih seperti perintah si Tuan Muda sinting itu. Seungwan menurut, setidaknya ia akan pernah masuk ke kamar mandi orang kaya. Sialnya, Seungwan makin tercengang ketika mendapati kamar mandi rumah itu jauh lebih luas daripada rumahnya sendiri.
---
Seungwan mematut dirinya di cermin, tercengang dengan penampilannya sendiri. Sehabis mandi, beberapa pelayan nampak sudah siap dengan beberapa gaun yang bisa Seungwan pilih, juga sepatu dan aksesoris lainnya yang nampak sangat berkilauan di mata Seungwan. Dan ketika semua benda itu sudah terpasang pas di tubuh mungilnya, Seungwan merasa berbeda. Sungguh, dia nampak berbeda 360 derajat dengan semua barang mahal itu.
“Tuan Muda sudah menunggu di ruangannya Nona,” ucap salah seorang pelayan sambil menuntun Seungwan menuju sebuah pintu besar. Mereka membukakan pintu itu bagi Seungwan, dan gadis itu menurut. Ia masuk ke dalam dan mendapati Si Sinting tampan itu tengah duduk di depan sebuah kanvas putih.
“Duduklah, kau pasti lapar. Aku sudah menyiapkan kue dan kopi kesukaanmu,” ucap lelaki yang Seungwan juluki sinting itu. Baiklah, Seungwan cukup terlena sekarang. Jadi ia menurut dan duduk di atas sofa dengan senang hati, meraih beberapa kue mungil dengan hiasan cantik yang sebenarnya sayang untuk dimakan karena begitu cantik, juga menghirup aroma khas kopi dari secangkir gelas berisi cairan cokelat pekat yang ada di atas meja.
Seungwan asyik mengunyah makanannya—karena memang jujur bahwa ia tengah lapar—ketika Si Lelaki Sinting asik bergelut dengan kanvas dan kuasnya. Setelah merasa cukup kenyang, Seungwan melirik lelaki sinting itu. “Kau sedang apa?” tanya gadis bermarga Son itu akhirnya.
“Melukismu.” Seungwan terperangah. “Sungguh?” cengang Seungwan tak percaya. Gadis itu lantas berdiri, lalu menghampiri Si Sinting itu. Dan benar saja, sudah ada sebuah lukisan hampir jadi yang menunjukkan rupa Seungwan ketika duduk di atas sofa dengan begitu anggunnya.
“Kau benar-benar melukisku?” ucap Seungwan lagi tidak percaya, dan lelaki itu mengangguk. “Memangnya salah kalau aku melukis tunanganku sendiri?” balasnya bertanya dengan jenaka, bahkan Si Sinting itu meraih tangan Seungwan, menggenggamnya dengan hangat, lalu membawa gadis itu untuk duduk kembali di sofa.
“Kau senang?” tanyanya memulai konversasi. Bohong kalau Seungwan tidak merasa senang ketika ia diperlakukan bak putri mendadak dalam sehari. Juga hatinya sedikit menghangat ketika ada seorang lelaki yang melukis rupa dirinya. Seungwan mendadak merasa menjadi gadis yang sangat spesial hari itu. Akhirnya, Seungwan mengangguk. Dia senang, dan jujur sekarang ia melupakan keinginannya untuk pulang demi merayakan ulang tahun adiknya yang sudah merengek minta dirayakan dengan kue tart sejak bulan lalu. Sungguh kakak yang jahat.
“Itu bagus, artinya kau tidak marah lagi kepadaku.” Lelaki itu tersenyum lebar, menarik Seungwan ke dalam pelukannya dan mendekap gadis itu dengan sangat lembut dan hangat. Dan betapa Seungwan merasa murahan ketika ia dengan mudahnya terlena dan merasa nyaman, hingga membiarkan kepalanya bersandar di dada bidang lelaki itu. Seungwan menarik nafasnya dalam, menghirup aroma parfum maskulin milik lelaki yang tengah mendekapnya itu dengan senang hati. Entah hilang kemana rasa kesal dan dongkol Seungwan ketika ia diculik oleh seorang pangeran tampan nan sinting yang membawanya paksa ke sebuah istana megah.
“Aku sangat mencintaimu sayang, sangat-sangat mencintaimu, jadi maafkan aku,” dan entah keberanian darimana, Seungwan mengangguk dalam pelukan lelaki itu, bagai ia sudah memaafkan lelaki itu meski ia sendiri tidak tau kesalahan apa yang harus ia maafkan. Lelaki itu melepas pelukannya, tersenyum manis sambil mengelus kepala Seungwan dengan sayang, “terima kasih,” ucapnya sangat lembut, dan entah mengapa, mendadak pipi Seungwan bersemu merah.
---
Lelaki itu tertidur. Setelah menunjukkan kemampuannya bermain piano dengan lagu-lagu romantis yang makin membuat pipi Seungwan bersemu merah, Si Lelaki Sinting—atau sekarang lebih tepat disebut Si Pangeran Tampan—akhirnya merasa lelah dan tertidur. Ia menumpukan kepalanya di atas paha Seungwan, tertidur dengan sangat lelap seperti anak bayi. Gadis itu mengelus kepala pangerannya, menyentuh rambut hitam legam halus itu perlahan. Rasanya, dia tidak ingin pulang. Dia sudah terlalu terlena menjadi seorang putri seharian ini.
Namun, ketika tangan Seungwan ingin menjalar menyentuh wajah putih mulus lelaki itu, suara derit pintu yang terbuka mengagetkannya. Seorang gadis dengan penampilan sangat anggun nampak masuk ke dalam ruangan bersama beberapa bodyguard. Gadis itu tersenyum sendu ke arah Seungwan, membuat Seungwan gelagapan dan bingung sendiri.
“Maaf, tadi aku—“ Seungwan kehabisan kata-kata. Dia hanya bisa terdiam sambil menggigit bibirnya sendiri. Gadis dengan iris cokelat di depannya itu tersenyum maklum. Dia menyerahkan sebuah bantal, dan seakan mengerti maksud gadis itu, Seungwan dengan perlahan menggantikan peran pahanya dengan bantal yang baru saja ia terima. Dia berdiri, sementara Si Pangeran masih tidur terlelap di atas sofa dengan bantal di bagian kepalanya.
“Bisa kita bicara di luar?” pinta gadis itu, dan Seungwan hanya bisa mengangguk. Dia mengikuti derap langkah heels yang dipakai gadis anggun di depannya, masuk ke dalam sebuah ruangan yang lebih mirip perpustakaan, dan makin gugup ketika berakhir berhadapan empat mata dengan gadis itu.
“Perkenalkan, namaku Park Sooyoung,” kata gadis itu mengulurkan tangannya, memulai konversasi. Seungwan meneguk ludahnya kasar, lantas menerima uluran tangan Sooyoung, menjabatnya dan ikut memperkenalkan dirinya sendiri, “Son Seungwan,” katanya cukup lantang.
“Hm, aku hanya ingin mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya karena kakakku sudah mengganggumu.” Seungwan kaget bukan main. Dia kira, gadis di depannya ini adalah tunangan lelaki sinting tadi yang memergokinya selingkuh bersama dengan kekasihnya yang tampan. Padahal Seungwan sudah merasa terancam dan takut kena amuk Sooyoung, tetapi ia ternyata adalah adik si lelaki sinting nan menawan itu.
“Ah itu…,” Seungwan kehabisan kata-kata, sebenarnya dia juga bingung apa yang sekarang tengah terjadi.
“Tidak apa. Itu bukan salahmu. Kakakku mengalami kelainan agnosia, dia tidak bisa mengingat wajah dengan baik, dan mungkin dia salah mengenalimu sebagai tunangannya. Ia pasti membuatmu bingung karena selalu mengatakan kalau kau adalah tunangannya sejak tadi, benar kan?” lanjut Sooyoung yang membuat Seungwan terperangah.
“Maafkan dia. Kak Chanyeol mulai begitu ketika ia berpisah dengan tunangannya.” Sooyoung melanjutkan. Seungwan mencatat di dalam hati, “namanya Chanyeol,” batinnya.
“Omong-omong, tunangannya…”
“…Dia meninggal.”
Jawaban Sooyoung membuat Seungwan membulatkan matanya kaget. Tunggu, meninggal katanya?
“Kak Joohyun, tunangan kakakku meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan mobil. Hari itu mereka bertengkar hebat dan sialnya hari itu juga Kak Joohyun mengalami musibah yang membuat kakakku berubah menjadi seperti sekarang. Dokter bilang, mental kak Chanyeol terguncang karena kepergian kekasihnya. Dia selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Kak Joohyun, dan juga karena terlalu mencintai tunangannya, kakakku tidak bisa menerima kenyataan. Dia selalu berubah seperti ini ketika hujan turun. Dia akan pergi mencari Kak Joohyun, lalu pulang membawa seorang gadis yang ia kira adalah tunangannya padahal Kak Joohyun sudah tenang di alam sana,” jelas Sooyoung sedih, sementara sekarang Seungwan nampak membatu setelah mendengar penjelasan adik Chanyeol itu.
Sooyoung lantas menunjuk ke arah belasan entah puluhan lukisan yang ada di sudut ruangan. “Mereka adalah gadis-gadis malang yang hidupnya dikacaukan kakakku karena dianggap sebagai tunangannya, sepertimu, dan sebentar lagi lukisanmu juga akan ikut berada di sana.”
Tangis Seungwan jatuh perlahan. Sooyoung tersenyum, sambil menghapus air mata Seungwan ia berucap, “maafkan kakakku, aku akan mengantarmu pulang, dan jika kau ingin meminta kompensasi atas kekacauan yang sudah disebabkan oleh kakakku, aku akan mengabulkannya dengan senang hati.”
Seungwan terus menangis, entah karena ia kasihan kepada Chanyeol yang malang karena ditinggal pergi kekasihnya ke dunia lain hingga mengalami gangguan mental, atau kasihan kepada dirinya sendiri yang sudah jatuh terlena ke dalam pelukan Chanyeol setelah satu jam berlalu dalam dekapan lelaki tampan itu.
“Sayang?”
Seungwan berbalik, menatap tubuh jangkung Chanyeol yang entah sejak kapan sudah ada di belakangnya. Lelaki itu menggosok-gosokkan matanya, sepertinya masih setengah mengantuk. “Kenapa kau pergi? Tunggu, kau menangis?” tanyanya sambil menyeka air mata Seungwan. Chanyeol lantas melirik Sooyoung yang matanya juga sudah ikut berkaca-kaca.
“Sooyoung, kau apakan tunanganku, huh? Kau tidak boleh membuatnya menangis,” ucap Chanyeol kemudian kepada adiknya itu. Dia menarik Seungwan ke dalam pelukannya, sementara Sooyoung kini sudah berderai air mata di sudut ruangan. Sooyung menutup muka dengan kedua tangannya, menangis hebat, sementara Chanyeol kini mengusap kepala Seungwan dengan sayang.
“Sudah ya? Jangan menangis lagi sayang. Sooyoung kadang memang iseng, tapi tenang saja, dia gadis baik.” Namun bukannya berhenti, tangis Seungwan malah makin menjadi-jadi.
Trak.
Hening. Mendadak Seungwan kaget bukan main ketika Chanyeol mencengkramnya dengan sangat kuat. “Kau…siapa?” tanyanya yang makin membuat Seungwan berderai air mata. Chanyeol mundur selangkah sambil memegangi kepalanya. “Kau…siapa?” katanya lagi untuk kedua kalinya.
“KAU SIAPA?! Joohyun, Joohyun, sayang, kau dimana? Joohyun?!”
Dan sekarang Seungwan menyaksikan sendiri di depan mata kepalanya, bagaimana seorang Chanyeol mengamuk, melempar semua barang-barang yang ada di ruangan itu sambil memanggil nama tunangannya yang sudah meninggal. Sooyoung memeluk kakak sulungnya itu, tapi naas, Chanyeol malah menangkis adik semata wayangnya hingga jatuh tersungkur ke lantai, ia terus mengamuk hingga beberapa bodyguard datang dan membawa paksa Chanyeol kembali ke dalam kamarnya.
“Nona tidak apa-apa?” tanya seorang bodyguard yang membantu Sooyoung berdiri. Gadis bermarga Park itu menggeleng. Matanya masih berkaca-kaca. “Hubungi Proffesor Jung, bilang kalau kakakku kambuh lagi,” perintahnya. Dengan cekatan bodyguard itu segera mengangguk dan menghubungi dokter pribadi keluarga Park yang dimaksudkan Si Nona Muda.
“Proffesor Jung akan sampai dalam beberapa menit, Nona.” Lapor bodyguard itu kemudian. Sooyoung mengangguk mengerti.
Detik selanjutnya, Sooyoung berbalik ke arah Seungwan, menghampiri gadis yang baru dikenalnya itu sambil tersenyum getir. “Ayo, aku akan mengantarmu pulang, Seungwan,” katanya tersenyum tipis, namun penuh miris.