Waktu terbang dengan cepatnya. Sampailah Resan pada tahap akhir masa kuliahnya. Ia adalah mahasiswi jurusan Kimia. Resan bersama dengan 2 teman terbaiknya, Ju dan Kibby melakukan penelitian untuk skripsi mereka di suatu balai penelitian yang letaknya lumayan jauh dari kampus mereka. Resan dan Ju pun harus tinggal di sebuah rusunawa yang telah disediakan oleh balai penelitian tersebut sedangkan Kibby tinggal di rumah pamannya yang masih berada di sekitar kawasan tempat penelitiannya itu.
Hari pertamanya membuat jari-jarinya bergetar. Bukan untuk yang pertama kali dalam hidupnya, ia bekerja dengan alat-alat kaca laboratorium, menggunakan tanur, rangkaian alat ekstraksi (sokhlet, kondensor, dan pemanas) bahkan instrumen Gas Chromatography (GC). Namun, atmosfer di sini sedikit berbeda. Belum selesai baginya menemukan pipet tetes yang dicarinya, terdengar suara seperti celotehan dari luar laboratorium (Lab) tersebut.
“Nah, ini Lab Konversi Biomassa atau disingkat Konbi” kata seorang peneliti yang baru saja muncul dari luar Lab. Ia memperkenalkan seisi Lab kepada 2 mahasiswi yang membuntutinya dari belakang. Kedua mahasiswi itu tampaknya akan penelitian juga layaknya Resan, Ju, dan Kibby. Lab Konbi memiliki 1 ruangan khusus untuk menimbang yang letaknya di sudut belakang ruangan. Terdapat 3 lemari kayu besar di dekat pintu, tempat untuk menyimpan bahan-bahan kimia. Di dekat pintu yang lain, berjajar rapi 4 buah lemari es. Resan yang hanya iseng, membuka salah satu lemari es itu. Terdapat 3 botol dengan label dan dibacanya dengan teliti, bertulisan Enzim Dede, Buffer Malonat, Sampel Raden Budi.
Setelah selesai berkeliling, kedua mahasiswi itu menghampiri Resan, Ju, dan Kibby untuk berkenalan. “Hallo, nama saya Rizka, ini Banis” sapa dengan senyuman manis salah satu dari 2 mahasiswi itu. “Oh hallo juga, saya Kibby, ini Ju, dan ini Resan” balas Kibby seraya menunjuk ke arah Ju dan Resan. “Rizka! Banis!” suara keras yang berasal dari luar Lab. “Oh, there you are!” seru peneliti berbadan gemuk yang langsung menghampiri Rizka dan Banis. “Tadi kalian udah dikasih pengarahan dengan mba Ida belum?” tanya peneliti tersebut to the point. “Sudah mba Fahriyah, tadi kami bahkan diajak berkeliling sampai bagian terdalam Biomaterial” jawab Banis dengan nada sok imut. “Kalian kerja kalo bisa sampai jam 5 aja ya! Takut ketemu Miss K kalo terlalu malam hehehe. Saya sering lembur tapi ga pernah diganggu sih, tapi kalo Pak Budi, SERING” tambahnya dan bergegas pergi meninggalkan mereka berlima. Mereka sudah paham yang dimaksud mba Fahriyah adalah kuntilanak. Tapi, mengapa mba Fahriyah tidak pernah diganggu sementara Pak Budi sering???
“Resan! Res!” panggil pembimbing Resan yang cara datangnya pun tidak jauh berbeda dengan 2 peneliti sebelumnya. Terlintas dalam pikiran Resan, sepertinya semua peneliti di sini selalu bersuara terlebih dahulu meskipun tubuh mereka belum tiba. Dari luar Lab, datang pembimbing Resan yang sudah bicara dari kejauhan.“Res, kamu hari ini targetkan selesai sampai inokulasi jamur ya!” pembimbingnya itu kini sudah berada di dekat Resan. “Iya pak” tanggap Resan cepat hanya sekadar mengiyakan padahal hatinya ingin menolak. Pembimbing Resan pun pergi setelah selesai memerintah. “Res, serius itu Pak Dede?” tanya Ju heran. “Yaudah lah semoga cepet selesai” jawab Resan tak bergairah. “Awas Res, nanti ketemu Miss K lho! Hahaha” ledek Banis sambil tertawa dan pergi begitu saja.
Senja menyingkirkan siang hari dengan sangat singkat bagi Resan. Celakanya, hanya dirinya saja yang belum selesai. Lab Mikrob bersebelahan dengan Lab Konbi. Bila berhubungan dengan mikroorganisme, Resan bekerja di Lab Mikrob. Resan menyuruh yang lain pulang saja sehingga tak perlu menemaninya meskipun dalam hatinya tidak begitu.
Rizka, Ju, Kibby, dan Banis menyusuri lorong yang mulai gelap dengan melewati Lab Konbi, Jastip, dan Satrep di sisi kiri sementara di sisi kanan terdapat ruangan-ruangan kecil untuk instrumen seperti FTIR, GC, dan spektro. Di ujung lorong sebelah kanan terdapat kantin yang bersebelahan langsung dengan ruang spektro. Mereka memilih keluar lewat pintu dekat kantin karena lebih dekat menuju pos satpam ketimbang keluar melalui pintu lobby.
Resan masih bekerja di depan laminar. Di dalam otaknya, tidak ada yang dia pikirkan selain hanya menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan tetap teliti. Namun, suara ketukan pintu dari seberang Lab-nya membuatnya terdiam. Tangannya tak lagi memegang erlenmeyer yang berisi media cair. Ia tertegun. Ketukan itu terdengar lagi dan semakin nyaring dari sebelumnya. Ketukan itu berasal dari ruang FTIR yang persis berada di seberang Lab-nya. Ketukan itu mendadak hilang, kini Resan memasukkan mikroorganisme ke dalam media cair 5 kali lebih cepat dari sebelumnya.
Suara ketukan itu datang lagi. Resan berusaha fokus. Namun, dirinya dihujani rasa penasaran sehingga memberanikan diri beranjak untuk memeriksa. Dibukanya pintu Lab, melihat sekeliling, tidak ada satupun orang, hanya ada lorong gelap yang sunyi. Resan berjalan 3 langkah menuju ruang FTIR yang ada di depannya. Ia meraih pegangan pintunya dan ternyata sudah terkunci. Lalu mengapa tetap saja ada orang yang mengetuk pintunya? Resan merasa dirinya sudah membuang banyak waktu. Ia pun dengan cepat kembali masuk ke dalam Lab. Belum sampai di mejanya, suara ketukan itu muncul kembali. Dengan sigap, Resan berlari keluar Lab dan berhenti di pintu dengan napas terengah-engah. Ia memandang sekitar, tak ada seorang pun juga kecuali dirinya.
Keringatnya mulai bercucuran dari kedua pelipisnya. Ia berkata dengan dirinya sendiri, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, belum sempat ia percaya dengan apa yang dikatakan hatinya itu, ia mendengar suara lemari terbuka dari dalam Lab, sontak ia menoleh dan berlari ke dalam Lab. Tidak ada apa-apa juga. Ketukan itu datang lagi, dan ia berlari lagi keluar Lab. Tetap tidak ada yang bisa ia lihat selain hanya lorong yang gelap dan dingin. Merasa dipermainkan, Resan tak pikir panjang lagi, ia langsung merapikan semua pekerjaannya, mematikan alat yang digunakan, dan memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tas. Dari belakang kerah bajunya, terasa dingin dan berbau aneh. Matanya melirik ke arah kanan dan ia berputar “Arrrgghhhhh!!!” Resan terjatuh ke lantai saking kagetnya. Matanya berkedip. Tadi seperti ada yang menyentuhnya dan lenyap begitu saja. Napasnya tidak normal kini. Keringatnya mengucur deras di wajahnya. Ia berlari sekuat tenaga menuju pintu Lab. Ia keluar melalui pintu dekat kantin dan ia melupakan 1 hal yang sangat penting.
Resan menyusuri lorong yang gelap melewati Lab Konbi di sisi kirinya. Suara aneh bertamu di telinganya dan bau menyengat tercium olehnya. Suara yang lebih mirip rintihan yang tidak begitu jelas terdengar, kini volumenya makin keras. Suara itu serasa sedang mengikutinya. Dengan napas terengah-engah, jantung berdebar, dan lutut bergetar, ia menemukan pintunya. “AAHH!!!!!” celakanya pintu terkunci. Resan benar-benar melupakan hal penting itu. Bila sudah jam 5 sore, pintu-pintu Lab akan dikunci oleh satpam termasuk pintu ini. Sebelumnya, Resan memang sudah meminta izin pada satpam yang bertugas untuk tidak mengunci pintu Lab Mikrob karena dirinya masih bekerja.
Dalam benaknya, seharusnya ia meminta juga untuk tidak mengunci pintu ini atau bahkan meminta satpam itu untuk menemaninya saja. Rintihan itu kini 3 kali lebih jelas terdengar dari sebelumnya. Bau busuk itu semakin menusuk. Napas Resan semakin parah. Ia tak sanggup lagi mengontrolnya. Dalam hatinya, ia bersedia menyerahkan semua uang di dalam sakunya, bila ia bisa menghilang di tempat saat itu juga. Ia pun berlari kembali.
Resan tersandung kakinya sendiri dalam ketergesaannya berlari kembali menuju tempat sebelumnya. Matanya tajam melihat apa pun di dekatnya. Menyusuri kembali lorong yang gelap dan dingin itu. Kakinya mulai lemas. Suara rintihan itu bertambah jelas. Suara ketukan itu sekarang di mana-mana. Semua pintu Lab diketuk dari dalam Lab, seakan ada beberapa orang yang menggedor dari dalam. Suaranya semakin menjadi-jadi. Suasana sangat ribut dan mencekam. Resan hanya terus berlari meski kecepatan larinya tak secepat sebelumnya. Suara teriakkan wanita menghentikan langkahnya. Itu suara wanita. Jelas, suara wanita. Seluruh tubuh Resan langsung kaku.
Ia menoleh ke arah kanan, dilihatnya dari balik jendela, di dalam Lab Konbi, sesosok wanita berambut panjang dengan pakaian lusuh, kotor, dan berwarna putih kusam berdiri tepat di samping meja preparasi dekat tanur. Sosok itu tampak mengudara. Wajahnya tertutupi oleh rambut hitam panjangnya yang awut-awutan. Di bajunya, tepat di bagian depan bajunya, terdapat noda darah yang membentuk suatu huruf, R. “AAARRRGGGHHH!!!!!!!!!” jerit Resan sangat keras sampai-sampai mengalahkan suara sebuah megafon. Ia lari secepat kilat menuju lobby. Terdapat pintu di ujung lorong. Pintu tersebut adalah pembatas antara lobby dengan lorong ini. Ia mendorongnya, melemparkan tubuhnya keluar, dan memasuki lobby yang juga gelap dan dingin. Membuka pintu lobby dan lari sekencang mungkin seakan dirinya sedang lomba lari maraton 100 meter.
Resan berlari tak berhenti. Tujuannya adalah pos satpam. Ia berlari melewati jalan besar beraspal, samping kirinya adalah halaman parkir mobil, terdapat pohon-pohon besar yang menurut prediksinya memiliki usia melebihi usia neneknya. Ia menyusuri jalan berliku, huruf-huruf besar memancarkan cahaya bertulisan B I O M A T E R I A L membuat hatinya sedikit lega. Pos satpam sedikit lagi. Satpam yang bertugas sudah melihat Resan dari dalam posnya. Resan memperlambat kecepatan larinya dan berhenti. Salah satu satpam menghampirinya. Resan membungkuk, memegangi kedua lututnya yang masih gemetaran, dan mulai mengatur napasnya. Dalam hatinya, kini ia selamat.
Esoknya, Resan masih berpikir apa yang dimaksud dengan huruf R yang ada di baju Miss K itu? “Ju, Ki, kayaknya orang-orang di sini salah ngasih julukan deh” pikirnya getir sambil menggigit bibir bawahnya. “Harusnya Miss R, bukan Miss K” bisik Resan dengan penuh keyakinan. “Udahlah Res, lupain aja..” kata Ju datar. “Iya Res, sebisa mungkin kita harus pulang gak lebih dari jam 5” kata Kibby sambil tersenyum kepada Resan dan Ju. Banyak tanda tanya di kepala Resan. Jangankan memenuhi pikirannya dengan pembahasan hantu, membaca cerita pendek horor 5 kalimat saja sudah membuatnya sangat ketakutan. “Apa jangan-jangan hantu itu cuma menampakkan diri sama orang yang berinisial R aja?” ucap Resan yang kali ini tidak begitu yakin. “Kan waktu itu mba Fahriyah bilang kalo Pak Budi sering diganggu” gumam Kibby mematahkan argumen Resan. “Eh bentar, kalian ga tau ya? nama asli Pak Budi itu, Raden Budi!” desis Resan yang kini dengan keyakinan maksimal. “Gue pernah liat sampelnya di kulkas yang diberi nama Raden Budi”. Ju dan Kibby saling memandang. Mereka bertiga akhirnya bicara pada pikiran mereka masing-masing.
Ju mendadak pulang ke rumahnya karena diperintah oleh orang tuanya. Kibby menimbang sampelnya di ruang timbang dan Resan tetap diam di kursinya. Sunyi lama sekali, sampai kemudian Resan melihat pergerakan Pak Dede yang datang dari luar Lab. Resan mulai berdoa dalam hati, semoga Pak Dede tidak menyuruhnya melakukan pekerjaan yang memakan waktu lama lagi. “Res, kamu belum running GC untuk standar kan?” Resan tampaknya sudah mengetahui inti dari percakapan ini. “Belum Pak” jawabnya singkat. “Selesaikan hari ini ya!” jelas Pak Dede yang langsung berjalan pergi.
“Res, kamu mau lembur malam ini?” tanya Rizka, sudah mengetahui jawabannya. “Iya kayaknya” gumam Resan dengan suara putus asa. “Aku temenin kamu ya!” ujar Rizka yang kembali melanjutkan pekerjaannya. Resan hanya memandangi Rizka. Kerutan di dahinya berkurang satu karena akan ada yang menemaninya. Namun, perasaannya mengatakan ini benar-benar mimpi buruk. Dua orang berinisial R akan ada di Lab malam nanti. Pikirnya, hantu itu akan mendapatkan jackpot. Dirinya dan Rizka. Resan masih menggunakan teorinya bahwa hantu tersebut rasis terhadap orang berinisial R. Mba Fahriyah tidak ditampakkan sementara ia dan Pak Budi (Raden Budi) ditampakkan. Apa yang akan dilakukan hantu itu nanti? Tingkat kecemasan Resan sudah pada level puncak. Ia pun menyuruh Kibby menemaninya tapi Kibby tidak bisa karena hari ini ia harus segera pulang.
Malam hari (lagi). Resan berada di ruang GC sementara Rizka menimbang sampelnya yang sebenarnya bisa ia kerjakan besok. Namun, daripada hanya diam saja di dekat Resan, sepertinya lebih baik merasa sedikit takut di ruang timbang. Menurutnya, Resan sama saja seperti Ju, orang yang dingin dan cuek sehingga acap kali membuat dirinya merasa kikuk. Resan sudah hampir selesai mengerjakan tugasnya. Belum ada apa-apa yang mengganggunya. Sedetik kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari sebelah ruangannya. Ruang FTIR diketuk kembali. Bukan main hantu ini, tidak bisa melewatkan 1 malam pun tanpa mengerjai Resan. Ia memeriksa keluar, seperti biasa, tidak ada apa-apa. Resan yang cemas bergegas menghampiri Rizka ke ruang timbang yang ada di Lab Konbi. “Kenapa Res? Running GC-nya udah selesai?” tanya Rizka yang sudah menyadari kedatangan Resan. “Gapapa, lanjutin aja. Aku sebentar lagi selesai” kata Resan tenang. Resan pun kembali ke ruang GC. Proses running sudah selesai ternyata. Ia segera mematikan instrumen GC tersebut. Tak lama, Rizka datang menghampiri dan duduk di kursi depan monitor. Resan fokus menonaktifkan semuanya sampai terdengar bunyi nyaring dari dalam Lab Konbi. Resan yang sudah merapikan semuanya, berniat keluar dan mengajak Rizka memeriksa bunyi tersebut. Rizka tetap duduk di kursinya dan malah memegangi pergelangan tangan Resan.
“Riz, ayo keluar! aku udah selesai” Resan yang berdiri di pintu tidak bisa keluar karena Rizka memegangi tangannya sangat erat. “Riz, ayoo!!” kata Resan setengah berteriak. Namun, Rizka tetap seperti patung. Ia hanya memegang tangan Resan dengan sangat kuat. “Riz, kamu kenapa sih?” Resan mulai panik. Dilihatnya wajah Rizka yang tampak pucat dan tak ada 1 kata pun yang keluar dari mulutnya. Resan menarik paksa tangannya tapi Rizka terus menahannya. Resan serasa sedang lomba tarik tambang dengan para pesumo. Kuat sekali, sampai-sampai ia mengerang kesakitan.
Dibantu dengan tangan kanannya, Resan menarik tangan kirinya itu dengan kekuatan maksimal. Tetap, tak bisa dilepas. Terdengar jeritan Rizka dari dalam Lab Konbi membuat Resan menoleh ke arah Lab dan seketika tubuhnya terhempas jatuh keluar sampai ke lantai di lorong yang gelap. Lantainya basah dan sedingin es. Pergelangan tangannya merah, kulitnya mengelupas membentuk huruf “R”. Resan menghela napas dan bangkit. Jantungnya berdegup liar. Ia melihat kembali ke dalam ruang GC itu, daannn KOSONG. Tak seorang pun di sana. Artinya yang menarik tangannya barusan adalah RIZKA PALSU.
Resan bergerak gesit menuju Lab Konbi. Saat sudah di pintu Lab, Resan ternganga kaget melihat Rizka duduk di lantai dekat tanur. Rizka memegangi tangan kanannya dan mengerang kesakitan. “Riz kamu kenapa?” tanya Resan panik, langsung menghampiri Rizka. “Tadi aku denger suara rintihan gitu Res dan pas aku cek, tiba-tiba dari belakang ada yang dorong aku sampai aku jatuh” jelas Rizka dengan suara lirih yang matanya mulai berkaca-kaca. “Tangan kanan aku terkilir Res” tambahnya, yang kini sudah benar-benar mengeluarkan air matanya. “Yaudah ayo kita pergi dari sini sekarang!” kata Resan cepat sambil membantu Rizka berdiri. Rizka yang tersedu-sedu membuat Resan merasa bersalah. Ia pun memegang erat tangan kiri Rizka agar mereka tetap bersama apapun yang terjadi. Baginya, bertemu hantu dalam wujud asli lebih baik ketimbang hantu yang menyamar menjadi temannya. Itu 2 kali lebih menyeramkan. Namun tetap, harapannya tidak perlu bertemu hantu dalam wujud apapun.
Resan dan Rizka berjalan cepat menuju pintu Lab Konbi. Namun, tak disangka sebuah kondensor berukuran sedang terbang dan jatuh tepat di belakang mereka. Suara pecahan kondensor mengagetkan mereka setengah mati. Resan buru-buru menoleh dan serpihan kacanya ada yang mendarat di pelipisnya. “Riz kamu gapapa?” Rizka diam seketika saking kagetnya. “Res, pelipis kamu berdarah” hiks air mata Rizka kembali menetes, kali ini ia benar-benar ketakutan. Resan tidak memperdulikan lukanya dan langsung menyeret tangan Rizka untuk keluar bersamanya. Pikiran Resan kini seakan sedang berperang melawan hantu itu. Darah dari pelipisnya mengucur melalui pipinya. Suara rintihan itu datang lagi. Jauh lebih keras dan jelas.
Seketika peralatan kaca seperti gelas piala, erlenmeyer, labu takar, cawan petri, gelas ukur, dan tabung reaksi melayang ke sana ke mari dan jatuh di lantai. Suara pecahan peralatan kaca itu menimbulkan keributan yang sangat dahsyat. Anehnya, tak ada satu pun satpam yang datang menghampiri. Rizka semakin ketakutan. Resan pun tak jauh berbeda. Mereka nyaris terkena sebuah gelas piala berukuran 1 liter yang mengarah tepat menuju kepala mereka. Untungnya, Resan memiliki refleks yang bagus sehingga berhasil lolos. Mereka membuka pintu Lab Konbi. “AAAHH!!!” teriak Resan. Lagi dan lagi, ia harus berada pada situasi mengerikan ini lagi. PINTU TERKUNCI.
KENAPA??? Kenapa bisa terkunci? Tidak ada yang menguncinya. Tadi pun terbuka lebar. MENGAPA SEKARANG TERKUNCI??? Kondisi Lab semakin parah, seperti ada yang perang lempar alat-alat kaca. Peralatan kaca tersebut terbang tak beraturan, ada yang mendarat di lantai dan ada pula yang pecah menubruk dinding. Suara rintihan itu terekam jelas di otak mereka. Aroma menyengat, basah oleh keringat, dingin, dan perut yang keroncongan. Lengkap sudah penderitaan mereka.
Suasana makin mencekam. Pintu belum bisa terbuka juga. Suara rintihan itu lenyap, berganti suara seperti memanggil “RESAN! RESAN!”. Resan berputar, dilihatnya sangat jelas wajah sosok itu yang berdiri melayang di pojok ruangan. Bajunya yang putih usang dan sobek-sobek membuat Resan tidak merasa lapar lagi, malah sangat mual. Resan dengan sejuta tenaga seolah dirinya memiliki kekuatan super, kini mendobrak pintu dengan kekuatan seperti gajah gila. Pintu berdebam terbuka. Resan terhempas keluar. Rizka mengikuti dari belakang. Suara tawa hantu itu membuat mereka berdua melesat jauh menuju ujung lorong yang gelap. Terdengar pintu Lab Konbi itu terbanting hebat, membuat mereka menoleh sekejap. Dengan tangan terluka dan kedinginan, mereka berhasil keluar melewati pintu lobby. Resan terus berlari bersama Rizka. Memar, kedinginan, urat-urat berdenyutan di pelipisnya, Resan terus menambah kecepatan larinya, menerjang apa pun di depannya. Tapi, Resan belum sepenuhnya selamat.
Keesokan harinya, Resan dimarahi habis-habisan oleh Bu Zizah, kepala bidang pengadaan alat dan bahan Lab Konbi. Resan langsung diberhentikan. Dirinya dianggap telah memecahkan peralatan kaca yang ditaksir total kerugian nyaris mencapai 50 juta rupiah. Rizka yang tahu betul kejadian semalam, menjelaskan panjang lebar kepada Bu Zizah. Namun, dirinya tak dipercaya. Ju yang sebenarnya tidak tahu-menahu pun turut bersuara. Dengan amarah yang menyala-nyala, Ju ngotot memaksa Bu Zizah untuk mengubah keputusannya itu. Bu Zizah tetap pada pendiriannya. Pak Dede mengatakan bertanggung jawab atas insiden ini. Namun, Resan harus berhenti sampai di sini. Resan hanya bisa mengucap syukur, beruntungnya Biomaterial tidak dibakar habis oleh hantu itu.
Hari-hari Ju dan Kibby terasa hampa tanpa kehadiran Resan di Lab. Kesedihan Rizka pun persis sama seperti mereka. Terlebih kebersamaannya dengan Resan malam itu, selalu membekas dalam ingatannya. Andai dirinya memiliki suatu rencana untuk membawa Resan kembali. Andai dirinya dianggap teman dekat oleh Ju dan Kibby sehingga dapat bekerja sama membuktikan ini semua. Andai dirinya dapat mengungkap misteri huruf R itu. Tapi itu semua mustahil, tidak ada yang memercayainya bahwa pelaku sebenarnya adalah MISS R.