Malam Mencekam

Malam Mencekam

Reza Agustin

3

Berembus angin di penghujung musim kemarau. Tenggeret dan burung-burung malam saling bersahutan. Mencoba mengusir sunyi yang terlanjur meninggalkan suasana mencekam. Saung tempat para pria desa berbagi cerita sehabis lelah menggarap sawah tak seramai biasanya. Hanya tersisa Pak Kades, Ustad Jamil, dan Bejo. Mengelilingi sebuah piring berisi pisang goreng dan tiga gelas kopi, raut wajah yang tegang terlukis jelas. Dua minggu ini kejanggalan-kejanggalan terus terjadi mengusik ketenangan penduduk desa.

Tepat dua minggu lalu ayam-ayam dan unggas milik penduduk ditemukan telah menjadi bangkai, dengan kondisi tubuh mengering tanpa setitik darah. Sebuah ketakutan tiba-tiba muncul, akan sesuatu yang marah pada mereka. Meminta sesuatu yang lebih dari sekadar sesajen dan kepala sapi. Ketakutan itu tak kunjung surut, justru semakin menjadi. Selang tiga hari setelahnya kambing dan sapi ikut menjadi korban. Dengan kondisi yang tidak berbeda. Leher berlubang dan darahnya telah kering. Seperti disedot secara paksa. Ibu-ibu mulai khawatir akan keselamatan anak-anak dan suaminya. Anak-anak kecil tak pernah keluar rumah pada malam hari lagi. Bahkan sebelum maghrib datang, mereka telah dikunci di kamar. Dan bapak-bapak mulai berjaga.

 Peserta ronda dibagi menjadi para bapak dan bujang. Bila para bapak selesai dengan rutenya, maka giliran para bujang berkeliling desa. Kenyataannya ronda itu juga tidak bisa menyelesaikan teror yang makin menghantui desa. Puncaknya pada tiga hari yang lalu, korban manusia berjatuhan. Ayu yang jadi kembang desa ditemukan dengan leher telah tergorok. Dia ditemukan para bujang dengan kondisi darah masih menetes membasahi tubuh. Ibunya Mbok Giyem hanya bisa menangis sambil meraung-raung, anak perawannya yang bungsu harus kehilangan nyawa dengan cara yang mengenaskan.

"Ini ulah penunggu gunung yang menginginkan sebuah persembahan. Dia ingin kita mengadakan kenduri dan pertunjukan tayub. Juga seorang perawan untuk dijadikan istri si penunggu." celetuk Mbah Diman tetua desa. Ia sudah tujuh puluh tahun lebih hidup di desa, satu-satunya orang pintar di desa yang bisa memberikan jalan keluar. Kendati tidak semua penduduk desa setuju, apalagi yang punya anak perawan.

"Zaman sudah modern, harusnya kita menelpon polisi dari dulu." Bu Wati, satu-satunya guru di desa mencoba menengahi mencari solusi paling logis.

"Ya karena kalian yang sudah melupakan penunggu, kalian terlalu dipengaruhi kemajuan zaman sampai-sampai melupakan roh para pendahulu. Kita harus adakan kenduri dan tayub, juga sedia perawan. Ini juga bukan keinginan saya, ini satu-satunya jalan agar kita tidak dihantui seperti ini lagi." Mbah Diman berargumen dengan Bu Wati. Mbah Diman juga tahu alasan pasti Bu Wati menolak usulnya. Karena Bu Wati masih punya anak perawan yang masih kelas dua SMA. Bu Wati pastilah menolaknya mentah-mentah.

Musyawarah sore itu berakhir dengan tiada solusi. Pak Kades dan Ustad Janil memutuskan untuk berunding sebentar, sedangkan Bejo ikut dalam rundingan itu sebagai bentuk pembalasan dendam. Setelah nyawa adik bungsunya, Ayu melayang sia-sia. Semoga perundingan malam itu membuahkan hasil. Supaya ia bisa membalas kematian adiknya pada makhluk apa pun itu.

"Apa tidak seharusnya kita menelpon polisi saja Pak Kades, ini sudah di luar kuasa kita. Kita butuh bantuan nyata daripada melakukan ritual aneh." usul Ustad Jamil.

"Mungkin salah satu penduduk sudah menelpon. Sebelum saya ke sini, saya dapat panggilan dari polisi. Yang memastikan apakah di desa ini telah terjadi pembunuhan misterius. Kemungkinan pagi hari mereka telah sampai ke sini." balas Pak Kades.

"Saya tidak ingin kematian adik saya sia-sia. Setidaknya kita harus tahu pembunuh adik saya." ujar Bejo diselimuti emosi.

Perundingan itu tak berlangsung lama, sebuah lengkingan hewan memecah keheningan malam. Membuat tiga pria di surau berbondong-bondong menuju sumber suara. Mata ketiga pria itu mendelik mendapati seekor anjing menggonggong mencoba lepas dari sebuah perangkap tali. Anjing itu aneh, tubuhnya tak seperti anjing biasa. Kedua kaki depannya lebih pendek dari dua kaki belakang. Hingga untuk berjalan, anjing itu menyeret-nyeret kedua kaki belakangnya. Pun matanya lain, bisa mendeteksi apa pun dalam gelap. Dan salah satu misteri terbongkar. Anjing itu tengah menyantap seekor ayam, darah ayam tepatnya. Bangkai seekor ayam ditemukan teronggok di sampingnya.

"Anjing jenis apa ini? Hewan inikah yang telah membunuh Ayu?" Bejo sangsi, melihat tubuh anjing yang kurus dan cakar-cakarnya pendek.

"Kita amankan dulu anjing ini, besok pagi setelah para bujang selesai ronda kita bisa memberikan saksi kepada para polisi." tandas Pak Kades. Malam itu berlalu dengan lebih cepat dari malam-malam sebelumnya yang mencekam.

***

Esoknya teror kembali terjadi, para bujang ditemukan dengan tubuh tak bernyawa. Dengan wajah kaku menunjukkan raut kaget. Seperti melihat hantu. Penduduk desa ricuh, hingga akhirnya polisi datang menengahi.

"Kami datang setelah mendapat panggilan tentang penemuan mayat lima pria muda kemarin sore." ujar salah satu dari mereka.

"Tapi pak, kemarin sore belum ada mayat-mayat ini pak. Baru pagi ini mayat mereka ditemukan." Pak Kades menengahi.

"Lho, saya dapat telepon dari seorang gadis korban pemerkosaan yang tinggal di sini. Namanya Ayu, dan dia telah diperkosa sebelum melaporkan telah menemukan mayat-mayat ini."

Keheningan seketika menguasai. Dendam Bejo terbalaskan. Penduduk desa bisa bernapas lega. Dan malam-malam mencekam itu tak lagi terjadi. Anjing itu telah dibawa ke penangkaran hewan langka. Hanya saja Bejo masih sedikit berduka atas kebenaran kematian adiknya.

"Jangan bersedih lagi mas. Jaga simbok baik-baik." diembuskan angin malam, Bejo bisa merasakan tepukan halus pada pundaknya. Dan dia bisa merasakan adiknya tak akan kembali. Ia hanya bisa mencoba ikhlas.

TAMAT