Cuaca sore ini sungguh mengkhawatirkan. Pasalnya awan mendung pekat sudah mengancam, namun aku masih terjebak di mata kuliah terakhirku yang baru akan berakhir pukul lima sore. Aku benci sekali mata kuliah terakhir di hari Jumat ini. Dumadi, dosen Sos-Pol yang paling menyebalkan dan ditakuti mahasiswa tersebut adalah musuh terbesarku. Andai mata kuliah ini tidak diwajibkan, aku tidak akan pernah mengambil mata kuliahnya awal semester ini. Apalagi bapak satu itu selalu memiliki banyak cara untuk membuatku malu atau terpojok dengan otoritasnya sebagai dosen yang menurut beberapa temanku adalah hal yang tidak bijak. Sumpah! Tiap ia mempermalukanku di muka umum, ingin sekali rasanya kuputar leher Pak Dumadi yang gemuk itu.
"Dewo!" seru Pak Dumadi lantang di depan kelas sambil menatapku tajam.
Aku mencelos dan melihat ke kiri lalu ke kanan. Hampir seluruh mahasiswa menahan napas saat melihat Pak Dumadi berjalan menuju bangkuku.
"Ya pak?" tanyaku setelah ia berada di sampingku.
"Kamu paham yang saya jelaskan barusan?" tanyanya dengan gaya otoriter khas miliknya.
"Saya masih mencerna materi yang bapak sampaikan, saya juga mencatatnya," terangku.
Dia mengetukkan penggarisnya dengan kencang di atas mejaku hingga aku tersentak karena terkejut.
"Dasar dungu! Peliharaanku saja lebih pintar dari kamu," cibirnya.
"Maaf pak, saya tidak dungu!" ujarku menahan emosi.
"Sudah pandai melawan kamu... Kalau tidak dungu, kenapa kamu masih saja ada di kampus ini? Seharusnya kamu sudah lulus dari tiga tahun yang lalu, tidak malu sama adik-adik angkatan kamu?!" tukasnya pedas.
Aku tidak membalas kalimatnya. Aku menundukkan kepala dan mengumpat amat kasar dalam hati. Aku tahu Pak Dumadi masih melihatku dengan tatapan meremehkan miliknya, aku hapal benar kelakuannya yang seperti itu. Tak lama kemudian ia berbalik dan kembali ke depan kelas.
"Heran! Kenapa sih orang seperti dia bisa jadi dosen, Kak?!" bisik Mala dari samping kiri bangkuku.
"Entah, ingin sekali aku patahkan lehernya," gumamku geram.
"Mati dong, kak..." bisik Mala lagi.
"Gak usah sampai mati. Hidup aja bikin repot, apalagi kalau udah mati," sahutku penuh emosi.
Mala tidak menanggapiku lagi saat Pak Dumadi kembali berbalik dan menatapku sesaat di depan kelas. Untuk menghilangkan emosi yang berkobar dalam hati, diam-diam aku mengambil ponsel dan memainkannya di bawah meja. Aku menelusuri halaman facebook milikku, siapa tahu ada yang bening atau ada info menarik lainnya. Tanpa sengaja aku melihat postingan terbaru dari grup kampus jurusanku, postingan terbaru itu mengabarkan sebuah berita duka. Aku membacanya dengan seksama dan membeku di tempat dudukku. Aku membacanya sekali lagi untuk memastikan bahwa aku tidak salah baca, aku sudah membacanya dengan sangat benar.
LATEST POST
Ardi. M ➡️Sos-Pol 07
Dear teman-teman sekalian,
Telah meninggal dunia Yth. Bpk. Dumadi pada usia 41 tahun. Almarhum akan dikebumikan besok pukul 09.00 WIB (lokasi menyusul). Mari kita doakan semoga arwah beliau diterima dengan tenang di sisi-Nya dan dihapus segala dosanya. Amin.
COMENT
Budi. H
Turut berduka cita, semoga beliau tenang di sisi-Nya. Amin
Mega. S. Hardiyani
Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Penyebabnya apa?
Ardi. M
Berdasarkan info dari pihak akademik, beliau kecelakaan tunggal waktu otw mau ngajar di kampus.
Refleks aku melihat punggung Pak Dumadi yang kini sedang membelakangi kami sambil menuliskan sesuatu pada white board. Ia baik-baik saja kok, masih bernapas dan baru saja mencemoohku beberapa menit lalu. Aku mengambil foto Pak Dumadi dari bangku secara diam-diam dan mengirimkannya ke grup facebook tersebut.
A. Dewo. P
Terlampir foto Pak Dumadi yang sedang mengajar kelas kami saat ini. Lain kali, sebelum di posting pastikan dulu infonya dengan benar ya.
Setelah mengirimkan balasanku, aku menanti balasan dari mahasiswa lain. Tak lama kemudian balasan Ardi muncul dan membuat darahku serasa berhenti mengalir.
Ardi. M
Yang benar saja, Wo? Barusan aku dari ruang dosen dan tata usaha, semua lagi pada bahas itu. Istrinya sendiri kok yang kasih kabar ke kampus.
Aku membeku dibangkuku dengan jantung yang luar biasa bergemuruh setelah membaca balasan tersebut. Lalu banyak komen yang mendadak bermunculan dan terjadi kehebohan di kolom komentar tersebut. Aku terkejut ketika tiba-tiba Pak Dumadi menggebrak white board dan menyebut namaku dengan lantang.
"Dewo! Kemarikan ponselmu, cepat bawa kemari!" teriaknya penuh amarah.
Aku gemetar seketika saat mendengar perintah tersebut. Seisi kelas menatapku dengan tatapan penuh iba.
"DEWO!" bentaknya menggelegar.
Bulu kudukku meremang, aku mulai berdiri sambil menahan gemetar di kakiku yang tak kunjung reda. Aku menendang meja Mala dan menatapnya penuh ketakutan.
"Kenapa, Kak?" bisiknya.
"Lihat grup facebook Sos-Pol 07 . Sekarang!" bisikku buru-buru.
Pak Dumadi sudah memelototiku dari tadi, membuatku tidak punya pilihan lalu mulai jalan ke depan kelas setelah memastikan Mala mengambil ponselnya. Lidahku terasa mulai kelu tatkala melihat Pak Dumadi dengan senyumnya yang ganjil terlihat semakin dekat. Aku menoleh ke arah Mala, sudah bisa kupastikan saat ini ia sedang duduk dengan wajah tak percaya dan pucat.
Begitu sampai di hadapan Pak Dumadi, aku diam dan menundukkan kepalaku. Aku tak berani menatap wajahnya saat itu. Kemudian seisi kelas terdengar mulai ricuh. Aku menoleh ke belakang, teman-temanku terlihat tengah sibuk memegang ponsel dan masing-masing dari mereka kemudian menatap ke depan kelas. Wajah mereka sama pucat sepertiku.
"Dewo! Serahkan ponselmu!" bisik Pak Dumadi di telinga kiriku.
Aku terkesiap, refleks aku kembali megalihkan pandanganku ke arahnya. Rupanya Pak Dumadi sudah berdiri di depanku. Sekujur tubuhku merinding dan keringat dingin mulai mengalir di balik bajuku. Aku menyerahkan ponselku dengan tangan yang gemetaran, dengan senyum yang mengerikan ia menyambar ponselku. Halaman facebookku masih terbuka, ia menatap layar ponselku dengan ekspresi wajah tercengang. Kulihat Pak Dumadi membaca berita kematiannya sendiri dan mungkin juga beberapa komentar yang di lontarkan dalam postingan tersebut. Perlahan-lahan wajahnya berubah menjadi marah, kemudian ia menatapku dengan garang. Seketika seisi kelas membeku. Aku menahan napas seolah bernapas adalah sesuatu yang paling salah di muka bumi.
"Kamu sudah mengetahuinya?"
Dengan takut-takut aku mengangguk pelan. Kemudian ia berjalan mendekat dan membisikkan sesuatu ke telingaku.
"Kalau begitu..., aku akan membawamu serta."
Kemudian terdengar suara tawa menyeramkan yang menggema di dalam . Tak lama setelah itu, seluruh mahasiswa berhamburan ke luar.
End.