Jalan Pintas Perenggut Nyawa

Jalan Pintas Perenggut Nyawa

Annisah Nurrahmatillah

4.9

Sudah seminggu ini kami dirundung rasa takut, bahkan suara tikus yang bercicit saja mampu membuat bulu kuduk kami merinding. Beginilah jika ayah sedang tidak ada di rumah, kami merasa banyak sekali hal yang tidak nampak mengintai dan menginginkan kami untuk masuk ke dunia kegelapan bersama mereka.

            Ciiiiit.....

            Suara kaca jendela rumah kami seperti digesek dengan logam. Kami menutup telinga beersamaan, suara yang sangat memekakkan telinga. Ibu memeluk aku dan Aqio, adikku.

            “Ara matikan tivi, Aqio segera masuk ke kamar ya!” ibu segera memerintah kami untuk meninggalkan ruang keluarga.

            Aku segera mematikan televisi yang menayangkan sebuah acara talkshow, masih pukul delapan malam dan kami merasa sudah sangat larut jika ayah sedang tidak ada di rumah. Aku segera menyusul Aqio yang kini sudah berlari menuju kamar di lantai atas.

            “Langsung tidur ya!” ibu memerintah kembali seraya menutup pintu kamar.

            Sudah dua bulan ini kami selalu diselimuti rasa takut, padahal sebelumnya tidak pernah kami merasakan hal seperti ini walaupun ayah bekerja di luar kota. Dan sudah dua bulan ini aku tidak diperbolehkan lagi untuk tidur di atas jam sembilan malam takut jika ada hal tidak diinginkan. Hal yang lebih menakutkan adalah banyak sekali barang-barang rumah tangga yang berantakan esok paginya, entah itu piring dan gelas yang pecah, pisau dan sendok yang berceceran di lantai, serta tirai jendela yang lepas dan berantakan.

            Esok pagi di hari Minggu, aku menatap kamar yang kini dimasuki oleh cahaya fajar yang terik. Aqio masih terlelap di sampingku, dan aku tidak melihat ibu di kamar. Aku turun ke lantai bawah secara perlahan, dugaanku pasti ibu sedang membereskan barang-barang yang mungkin saja dimainkan oleh makhluk-makhluk tak kasat mata.

            “Apa lagi yang berantakan?” tanyaku sambil mendekati ibu.

            “Bantal sofa, bumbu masak, Ibu sudah pusing sekali akhir-akhir ini.”

            “Apa Ibu sudah cerita pada Ayah tentang suatu hal yang ganjil akhir-akhir ini agar Ayah tidak lagi keluar kota, apalagi sampai sebulan lebih,” aku memberikan saran pada ibu.

            Aku tahu ibu sudah menceritakan hal ini berkali-ali pada ayah, namun ayah selalu meyakinkan kami agar tetap berani, lagipula makhluk tak kasat mata tidak akan mengganggu berlebihan kalau kita pun tidak mengganggu mereka, begirtu katanya.

            “Um, oke nanti aku dan Aqio ke ATM buat cek uangnya ya,” terdengar suara ibu yang berbicara melalui telepon dan aku duga pasti dari ayah.

            Aku duduk di sofa sembari membaca tabloid, saat ini aku lebih suka pagi sampai siang hari karena aku merasa tidak ada gangguan yang mengintai kami. Tetapi akan beda ceritanya jika aku sendirian di rumah pada siang hari, suasananya akan mencekam laiknya malam hari.

            “Ara, tolong jaga rumah ya, Ibu sama Aqio mau ke ATM cek uang yang ditrasnfer Ayah.”

            Sepertinya hal yang aku takutkan terjadi, lagi-lagi aku ditinggal sendirian di rumah. Aku paham betul jika ibu ingin bepergian pasti akan mengajak Aqio yang notabene masih berumur enam tahun. Ibu juga enggan membawaku jika ingin pergi karena katanya motor hanya untuk dua orang.

            “Gimana kalau kita bonceng tiga aja?” aku memberikan saran yang konyol.

            “Issh! Ngarang aja sih, tenang saja ini ‘kan siang jadi slow lah.”

            Aku hanya bisa menghela napas, sebagai gadis berumur enam belas tahun memang seharusnya aku sudah bisa mandiri dan tidak merengek minta ikut kemana-mana dengan orang tua.

            “Yuk Aqio!”

            Aku melihat langkah ibu dan Aqio yang seakan-akan meninggalkanku dalam waktu yang lama. Setelah mendengar suara motor yang melaju menjauhi rumah, aku segera menyalakan televisi dengan volume yang keras dengan tujuan jika ada hal-hal yang mengganggu aku akan fokus pada layar televisi.

            Kreeekk...

            Terdengar suara seperti pintu yang dibuka seseorang, aku segera menoleh melihat pintu masuk. Tidak terjadi apa-apa pada pintu tersebut, masih tertutup seperti semula.

            Kreeekk...

            Suara itu terdengar kembali, aku merasa degup jantungku semakin kencang karena takut sekaligus penasaran akan hal yang terjadi. Aku perlahan berdiri dan mencari sumber suara yang terus menerus menggangguku itu. Suara tersebut dua kali lebih keras dari volume televisi.

            Kreeeek...

            Lebih keras lagi, namun aku tidak melihat pintu apapun dibuka atau ditutup. Aku juga tidak melihat apapun yang terjadi pada pintu. Tapi yang aku lihat sungguh mengejutkanku, seolah jantungku yang tiba-tiba saja melonjak. Apa yang aku lihat sungguh diluar dugaanku ketika aku meelihat ke dapur.

            Kursi-kursi bergeser hampir dua meter dari tempat semula, berantakan. Meja makan yang miring dan sangat tidak beraturan. Aku langsung menutup mulutku dan tidak percaya apa yang telah terjadi, masih pukul sepuluh pagi dan mereka sudah menggangguku.

            Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari menuju teras rumah, namun betapa kagetnya aku ketika sesuatu hal yang mengejutkan terjadi lagi. Tirai-tirai jendela tiba-tiba saja terjatuh, dan pintu yang terkunci.

            “Ah!” aku tetap berusaha membuka kunci pintu yang tiba-tiba saja terkunci. Tidak mungkin jika ibu mengunci pintunya dari luar.

            Keadaan semakin mencekam, sofa yang tiba-tiba saja bergeser dan angin yang tiba-tiba saja berdesir dengan kencang.

            “Ara! Buka pintunya!” aku mendengar suara ibu yang memanggilku dari luar.

            “Ara tidak bisa membukanya! Terkunci! Tolong Ara!” aku menangis dan di belakang pintu dan menyerah untuk membuka pintunya.

            “Tetap tenang Ara! Ibu akan masuk lewat pintu belakang!”

            Aku tidak bisa lagi bergerak, sebenarnya aku bisa saja berlari menuju ke pintu belakang, namun aku cukup lemah untuk sekadar berjalan. Tidak beberapa lama aku mendengar suara pintu yang terbuka dan datanglah ibu berserta Aqio yang segera berlari mengahampiriku.

            “Astaga! Tidak apa-apa Ara.” Ibu memelukku dan menenangkanku begitu pula Aqio yang memeluk dengan hangat.

            “Ara takut, Bu.”

            Kami dirundung rasa takut pagi itu, pagi yang sangat membuatku trauma untuk ditinggal sendrian di rumah. Pagi itu ibu terus di sampingku dan menemaniku yang masih ketakutan akan hal tersebut, kami melupakan seisi rumah yang berantakan, sedangkan Aqio berusaha menghiburku dengan lelucon sederhananya.

            Malam hari, kami sudah masuk ke kamar meskipun masih pukul tujuh malam. Kebetulan kami tidur di kamar ayah dan ibu yang terdapat kamar mandi sehingga memudahkan kami jika kami ingin buang air.

            “Dingin,” ujar Aqio sambil memeluk ibu.

            “Iya, dingin sekali.” Aku juga turut berkata demikian sambil menutup tubuhku dengan selimut.

            Tik...tik...tik...

            Terdengar suara air keran yang menetes, aku dan ibu saling menatap tetapi kami saling menenangkan karena itu hanya air keran yang menetes.

            “Bu, Aqio mau pipis.” Ujar Aqio.

            “Aqio pipis sendiri ya, deket ‘kan?” ibu berusaha menyuruh Aqio untuk pipis endirian.

            Aqio sedikit menggeleng lemah namun dia tetap berusaha berani untuk buang air sendirian karena memang jarak kamar mandi yang dekat.

            “Aaaaa!”

            Aqio berteriak di depan kamar mandi. Aku dan ibu segera menghampiri Aqio yang sedang berdiri mematung di depan pintu kamar mandi.

            “Kenapa?” aku bertanya pada Aqio seraya melihat apa yang dilihat Aqio.

            “Rambutnya panjang sekali, Aqio takut,” Aqio memeluk ibu, aku berusaha melihat apa yang dimaksud Aqio dengan rambutnya panjang sekali, tidak aku lihat apapun kecuali... banyak sekali berbagai bunga makam di lantai kamar mandi.

            “Bu, lihat itu,” aku menyuruh ibu untuk melihat aapa yanga ada di kamar mandi.

            “Astaga! Siapa yang melakukan hal ini?” ibu menatap dengan kaget.

            Perihal siapa yang melakukan, aku yakin betul bahwa ini adalah ulah makhluk-makhluk tak kasat mata. Karena memang tidak ada siapapun di rumah kami kecuali jika kami tidak mengetahui adanya hal tersebut.

            “Ini pasti ulah makhluk-makhluk itu, Bu!” aku memegang lengan ibu dengan erat.

            “Sepertinya bukan. Ada seseorang di rumah kita yang lebih menakutkan dari hal itu, Ara.”

            Aku menelaah perkataan ibu, aku tidak mnegerti maksudnya ada seseorang disini. Tidak ada tanda-tanda kehadiran seseorang di rumah kami. Tiba-tiba saja angin berdesir dengan kencang membawa debu masuk ke kamar kami. Kami segera berlari menuju kasur dan duduk berdekatan, aku dan ibu memeluk Aqio.

            “Aqio takut,” ujar Aqio.

            “Ada Ibu dan Kak Ara di sini,” ibu berusaha menangkan Aqio yang sangat ketakutan.

            Suatu hal yang tidak kami harapan dan tidak pernah kami temui semasa hidup kami, sosok yang entah kami harus apa menyebutnya seorang wanita atau seorang pria berambut panjang. Sosok itu datang dari arah kamar mandi, mulutnya menyeriagai mengerikan, dan rambutnya sangat panjang.

            “Aqio takut...” Aqio terus menangis ketika soosk itu datang.

            “Kamu...si...apa? Maumu apa...” ibu berkata terbata-bata namun berusaha berkomunikasi dengan makhluk itu.

            Makhluk itu menjulurkan lidahnya, dia tidak menghampiri kami, dia hanya berdiri di depan kamar mandi. Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka, ayah dengan sebuah nampan di tangannya.

            “Ayah!” aku memanggil ayah ketika melihtanya mencoba mengusir makhluk tersbeut.

            “Keparat! Tidak bisakah kau tidak mengganggu keluargaku? Aku akan menebus janjimu!” ayah terus menerus menaburkan bunga dari nampan yang dibawanya.

            Aku, ibu, dan Aqio tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku menutup mataku beberapa lama sampai akhirnya angin berhenti berdesir dan terdengar deru napas kencang dari kami semua.

            “Maafkan ayah,” ayah mendekat ke kami dengan keringat yang mengalir deras dari dahinya.

            “Apa yang terjadi?!” ibu menarik lengan ayah.

            Ayah terdiam seolah mencari jawaban yang tepat.

            “Ayah, hm, Ayah, mencari uang dengan cara instan.”

            Ada keterkejutan juga kebingungan dari wajah kami. “Jelaskan pada kami!”

            “Pesugihan,” kami terkejut ketika mendengar kata itu muncul dari mulut ayah.

            “Kenapa?!” aku memarahi ayah.

            “Perusahaan Ayah bangkrut, dan maaf Ayah tidak menceritakan hal ini, Ayah frustasi dan akhirnya Ayah pakai cara instan ini, tapi sangat disayangkan, Ayah lupa akan sajen yang harusnya Ayah berikan tiap malam Jumat.”

            Aku dan ibu menatap ayah penuh selidik. “Jadi?” ibu bertanya penasaran.

            “Makhluk itu akan terus mengintai kita, sampai... Ayah membunuh Aqio.”

            Kami semua terkejut, ibu memeluk Aqio dengan sangat erat. “Kamu bilang apa?! Kamu gila!” ibu terus menerus mengutuk ayah.

            “Jalan yang terbaik agar kita tidak diganggu!” ayah membentak ibu yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan.

            “Terlambat!” ayah segera menusuk Aqio tanpa sepengetahuan kami, pisau dapur itu menancap dengan kuat di perut Aqio yang kini dilumuri darah.

            “Aqio!” aku dan ibu sama-sama berteriak menyebut Aqio dan berharap dia akan baik-baik saja.

            “Sudah aman!” ayah tertawa terbahak-bahak.

            “Ayo kita keluar!” ibu segera menyuruhku untuk keluar kamar dengan air mata yang terus mengalir dari mata kami.

            Ibu menggendong tubuh Aqio yang berlumuran darah, aku berjalan mendahuuinya sedangkan ayah tertawa terbahak-bahak bak orang kesurupan. Tiba-tiba ayah berteriak dengan sangat kencang. Aku dan ibu sama-sama terdiam menyaksikan ayah yang sangat mengerikan itu.

            Tidak beberapa lama, ayah kembali terdiam dan menatap kami, aku dan ibu mewasapadai segala gerak-gerik ayah yang mengerikan itu.

            “Aqio! Kenapa?” ayah segera menghampiri kami dan menangis melihat keadaan Aqio.

            Aku dan ibu saling menatap dan tidak mengerti akan hal yang terjadi. “Jangan sentuh anakku! Kamu sudah membunuhnya!” ibu menangis sekaligus membentaak ayah.

            “Hah? Maafkan aku, aku.. aku tidak menyadarinya!” ayah menangis melihat keadaan Aqio yang sudah tidak lagi bernapas itu.

            Kami sama-sama terdiam dan menatap tubuh kecil itu yang tidak lagi bernapas. Sosok yang sering membuat tawa diantara kami.

            “Kenapa kau lakukan hal itu? Kenapa?!” ibu mendorong ayah berkali-kali. Aku memeluk Aqio dan berarap dia bisa bertahan walaupun napasnya sudah berhenti.

            “Nafsu sudah menyelimutiku! Aku mau harta dunia! Aku... aku tidak mengerti!” ayah mencoba mencari pembelaan.

            Kini aku tahu apa masaah yang terjadi diantara kami, berawal dari nafsu ingin memiliki harta dunia, sampai akhirnya nyawa orang tersayang diantara kami harus direnggut karena keegoisan. Memang bukan ayah yang melakukan hal itu karena dia sendiri tidak sadar sudah dikuasai oleh makhluk yang keji, namun semuanya berawal darinya, dari keegoisan dan keinginan yang berlebIhan.