Keeya menangkat papan nama di tangannya setinggi mungkin. Tubuhnya yang mungil menghalangi pandangannya, ia berjinjit sembari berusaha memperhatikan satu persatu orang yang keluar dari bandar udara Ngurah Rai. Sesekali ia juga menatap layar ponselnya, memastikan bahwa clientnya tidak menghubunginya.
"Park Woojin!! Park Woojin!!!"
Teriaknya sembari menunjuk papan nama yang dibawanya. Sudah hampir dua jam, namun lelaki asal Korea Selatan itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Keeya sedikit kesal, ia juga mulai muak berdiri di sana dengan sepatu tingginya. Namun ia bisa apa? ia terlanjur mengikat kontrak.
Setelah lulus SMA, Keeya langsung pergi ke Bali meninggalkan ibu kota Indonesia yang ia tinggali. Meski ditentang, namun Keeya bersikeras untuk pergi. Setidaknya ia punya waktu tiga bulan untuk menikmati pulau Dewata, sebelum akhirnya pulang ke Jakarta dan memulai kuliah ditahun pertama.
Mulanya Keeya hanya ingin menghabiskan waktu berwisata, duduk santai di tepian pantai menawan. Namun ia bosan, sampai akhirnya Keeya memutuskan untuk menjadi Tour Guide wisatawan manca negara. Kemampuan bahasa inggris yang luar biasa membuatnya mudah beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Walau terkadang menyebalkan, namun sejauh ini Keeya tak merasa keberatan.
"Apakah anda Mr. Park?" tanya Keeya begitu mendapati seorang lelaki bertubuh tinggi mengenakan kaca mata hitam mendekatinya. Lelaki itu mengangguk, sementara Keeya berusaha keras menyamakan wajah lelaki di hadapannya dengan profile yang ada di ponselnya.
Setelah merasa yakin bahwa mereka adalah orang yang sama, Keeya tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangannya seraya menyambut lelaki itu ramah, "Saya Keeya, anda adalah orang Korea pertama yang menjadi client saya. Semoga anda puas Mr Park."
Park Woojin terdiam, ia melepas kaca mata hitamnya sembari tersenyum lebar menunjukkan gigi gingsulnya. Dia tampan, dengan wajah tegas serta mata sipit yang tajam. Keeya belum pernah melihat orang Korea dari dekat, namun kini ia sadar bahwa mereka benar - benar tampan. "Aku sudah memeriksa biografimu dan ternyata usia kita sama, jadi panggil saja aku Woojin. Ku harap kita bisa menjadi teman," ujarnya membuat Keeya terpaku.
Suaranya berat, terdengar seperti lelaki tangguh nan gagah. Seumur hidup Keeya baru kali ini ia mengagumi manusia Korea. Maklum saja, di antara teman sekelasnya hanya Keeya yang tidak suka dengan Korea. Baginya negeri gingseng itu tidak layak dipuja puja, image oprasi plastik membuatnya jengah, ia bahkan tak habis pikir mengapa orang - orang begitu menyukainya.
Namun jika boleh menarik ucapannya, Keeya ingin menarik semuanya. Ia terlanjur tahu, bahwa lelaki di hadapannya lebih indah dari sekedar titisan dewa. "Jadi bisakah kita mulai dengan makan siang?" Woojin kembali bersuara, membuat Keeya terperangah dari lamunannya. Sekali lagi Woojin tersenyum lebar hingga secara spontan, Keeya langsung melemparkan senyum dan berkata, "Ya, aku sudah menyewa mobil seperti yang kau pesan."
***
Di dalam mobil Woojin sibuk mengagumi pemandangan Bali. Ia membuka kaca jendela sembari tak hentinya menggumamkan kata 'Woah..' dengan mulut terbuka. Semilir angin yang berdesakan masuk ke mobil menerbangkan rambutnya. Keeya hanya melirik sekilas, kekehan kecilnya membuat Woojin ikut tertawa.
"Apa aku terlihat norak?"
Keeya melambatkan laju mobilnya, ia tertawa, entah mengapa pertanyaan Woojin membuatnya ingin terbahak. "Tidak. Semua wisatawan melakukannya," tandas Keeya menyisakan senyuman. Reaksi Keeya membuat pipi Woojin bersemu merah, menambah keindahan parasnya yang disapu matahari siang.
Kini Woojin membuang pandangannya ke laut lebih elegan. Ia meletakkan sikunya di daun pintu sementara matanya enggan melepaskan panorama di luar jendela. "Apa kau mau menikmati air kelapa muda di tepi pantai sana?" Keeya tahu, semua wisatawan pasti menyukai kegiatan itu. Woojin menoleh cepat, raut sumringahnya tak bisa menipu rasa antusias yang berusaha ia sembunyikan. "Kedengarannya bagus!" serunya.
Tanpa membutuhkan waktu lama Keeya menepikan kendaraannya di dekat laut lepas. Mereka bersantai di bawah pohon kelapa yang menyediakan kursi berukuran rendah. Mereka membicarakan jadwal perjalanan yang ingin Woojin jadikan destinasi wisata. Selama lima hari kedepan, Keeya yakin liburannya kali ini akan jauh berbeda. Entah mengapa, tapi sejak awal Woojin sudah memberikan nuansa yang berbeda.
***
Matahari belum bertahta, meski pagi hari sudah tiba namun kabut masih asyik mengelilingi rembulan yang mulai samar. Keeya terjaga, ia duduk menghadap secangkir kopi hitam di lobby hotel yang sibuk berbenah. Matanya masih mengantuk, namun ia tak mau mengecewakan Woojin yang ingin mengunjungi Pantai Matahari Terbit, Sanur.
Mereka sudah merencanakan semuanya, termasuk keinginan Woojin untuk melihat matahari terbit di negara Indonesia. Konon katanya, negara tropis ini terkenal mengagumkan. Bahkan pulau Jeju kebanggaan Korea Selatan pun kabarnya kalah. Itu sebabnya, untuk membunuh rasa penasaran, Woojin ingin memanjakan matanya dengan sempurna.
"Apa kita harus menyewa supir? kau terlihat mengantuk," Woojin melirik Keeya khawatir. Lelaki itu duduk di samping kiri Keeya sembari terus mengamati wajah letih di sana. "Tak apa, biaya sopir di sini tidaklah murah. Aku tak berniat membagi penghasilanku dengannya." Mendengar jawaban Keeya, Woojin terkekeh ringan. Matanya melambangkan kekaguman, seolah keputusannya memilih Keeya bukanlah kesalahan.
"Apa kau tidak mengecek profesi clientmu?" tanyanya untuk memecah keheningan. Woojin tahu, satu - satunya penghilang kantuk adalah dengan bertukar suara. "Tidak, selama mereka membayar jasaku tepat waktu." Woojin mengangguk anggukkan kepalanya, "Jadi haruskah aku tidak membayarmu?" godanya membuat Keeya menoleh singkat.
"Jangan lakukan itu!" sahut Keeya seadanya sembari fokus mengamati jalanan yang tidak berlampu di depan sana. "Apa kau tidak menyukai K-pop atau K-drama? ku dengar Indonesia merupakan negara terbesar sebagai pecinta Korea," Woojin meraih lotion nyamuk di tasnya, sembari menunggu jawaban dari Keeya ia asik dengan perawatan kulitnya.
"Aku tidak suka Korea, entahlah ku rasa Amerika atau India lebih menarik untuk di lihat. Bukan bermaksud menyinggungmu, namun sepertinya kau adalah orang Korea pertama yang aku lihat seumur hidupku." Perjalanan mereka berlangsung khidmat, setelah puas bercakap cakap Woojin kembali terlelap. Nampaknya lelaki itu juga tidak sadar, karena matanya terpejam begitu saja saat sayup suara Shawn diputar.
***
Woojin sibuk memotret, sementara Keeya hanya duduk beralaskan sandal karet miliknya. Pagi ini, pantai Sanur terasa lenggang. Membuat Woojin dengan leluasa mengambil gambar yang ia suka. Mulai dari langit, laut, kapal nelayan sampai Keeya yang tengah tersenyum dengan menutup mata.
Sebenarnya, kedatangan Woojin ke Indonesia tidak sekedar untuk berwisata. Ia bahkan memilih Keeya bukan tanpa alasan. Tiga bulan yang lalu, sebelum Woojin memutuskan untuk berlibur. Ia menemukan Keeya di akun youtube, gadis berwajah oriental dengan kulit kuning langsat yang memiliki senyuman menawan.
Meski hanya melalui layar ponselnya, Woojin tahu, bahwa dunia mengelilingi paras ayunya. Yah... gadis itu bernama Keeya. Cerah ceria, seolah matahari memantulkan cahaya dari wajahnya. Woojin terpikat dan setelah mengatur ulang jadwalnya di Korea, ia memutuskan untuk menemui Keeya. Gadis yang kini duduk di belakangnya, menyesap mentari pagi yang belum terjamah.
"Woojin!! Apa kau tidak lapar?" teriak gadis itu tak bergerak. Woojin menoleh sembari melengkungkan senyuman, hatinya berbisik ringan, 'Kalau aku tak bisa membawanya pulang, ku harap dia mengizinkanku tinggal di rumahnya.' Langkahnya menghambur ke arah Keeya, mendekati gadis itu berharap masuk dalam dunianya. "Ayo, kita makan apapun yang kau suka."
***
Hal yang mengagumkan dari Keeya adalah caranya tertawa. Woojin akan terdiam beberapa saat sampai pipinya bersaksi bahwa ia terpikat. Setelah menunjukkan ekspresi malunya, tak lama Keeya akan menunjukkan reaksi yang sama. Mereka terlihat seperti remaja yang baru saja jatuh cinta.
Mereka mulai akrab bahkan terbilang dekat. Woojin tidak lagi canggung kala menggenggam tangan Keeya melawan ombak. Mereka justru tertawa renyah, seolah Bali adalah milik mereka berdua. Ini hari ketiga dan Woojin tak mau ragu mengekspresikan hatinya. Tak lama lagi, ia harus meninggalkan Indonesia. Ia ingin menyimpan Keeya lebih lama, dalam memorinya.
"Apa kau pernah berkencan?"
Mereka duduk berdampingan menikmati matahari tenggelam yang nyaris lenyap. Woojin bertanya tanpa sedikitpun melirik Keeya yang kini berdegup kencang. Gadis itu salah tingkah, walau Woojin tak menyadarinya. "Pernah, aku juga pernah terluka. Semua orang pasti pernah jatuh cinta walau hanya sebentar bukan?"
Woojin menganggukkan kepalanya, ia setuju dengan ucapan Keeya. Lagipula Keeya benar, siapapun bisa jatuh cinta walau akhirnya harus terluka, meski hanya sesaat dengan cara yang singkat atau bahkan terkesan tidak mengikat. Semua orang pasti pernah jatuh cinta. Woojin meraih tangan Keeya, bibirnya bergumam, "Kau tidak berhak terluka, jadi bolehkah kau jatuh cinta denganku saja?"
Keeya membeku sejenak, lelaki yang baru dikenalnya dua hari yang lalu ini membuatnya nyaris tidak bernafas. Jantungnya berdegup kencang, ia juga kesulitan menelan slavina. Hingga Woojin memenjarakan matanya, menusuk iris coklatnya sembari berbisik samar, "Aku jatuh cinta padamu, Keeya, jauh sebelum kita berjumpa."
Seketika dunia berhenti berputar, bumi enggan mengitari matahari begitu juga rembulan. Keeya tak tahu harus beraksi seperti apa, sampai akhirnya Woojin memutuskan untuk melepaskan tangannya. "Mungkin bagimu ini terlalu cepat, namun aku tak punya pilihan lain selain mengakuinya." Kini mata itu beredar, menyusuri awan, mengitari lautan. Woojin seperti tengah bermonolog, sementara Keeya hanya membisu tanpa menyuarakan apapun.
***
Esoknya, Woojin membatalkan semua list wisatanya dan memutuskan untuk pulang ke Korea. Sejujurnya lelaki itu malu, ia putus asa menghadapi perasaannya yang tak mampu ia bendung. Setiap menatap Keeya, ia ingin memeluk gadis itu, memilikinya secara utuh.
Namun Keeya tak bergeming, bahkan ketika Woojin sudah mengemasi seluruh barangnya pun Keeya tetap tak berusaha menanggapi. Hatinya terlalu ragu, pernyataan Woojin yang mendadak membuatnya takut. Jatuh cinta tidak sebercanda itu, Keeya tak mau terluka walau hanya sebatas gores belaka.
Park Woojin menyeret kopernya dengan gerakan lambat. Ia berharap Keeya menahannya, namun gadis itu masih berdiri tanpa suara di belakang sana. Dalam hati Woojin berdoa agar Keeya menyesal, meminta pada Tuhan agar gadis itu terkutuk seumur hidupnya. Dan ketika Woojin hendak melayangkan sumpah yang ketiga, Keeya sudah berlari memeluk Woojin dari belakang.
Gadis itu menenggelamkan kepalanya di pundak Woojin yang kini menegang. Perlahan, butir air mata itu mulai membasahi pakaian Woojin yang tidak terlalu tebal. Keeya terisak sembari berbisik serak dengan suara lemah yang nyaris tidak terdengar, "Ya, aku sudah jatuh cinta padamu sejak awal."
Seulas senyum Woojin mengembang, tubuhnya berputar menyambut pelukan Keeya yang terasa begitu erat. Woojin bernafas rendah, menyisipkan dagunya di sela sela rambut Keeya yang menjulang ke pundak. "Aku mencintaimu, Keeya," bisiknya lembut, begitu lembut hingga suaranya terbunuh oleh detak jantung.
Sebuah kecupan hangat mendarat di kening Keeya. Membuat gadis itu terbangun, berusaha membuka matanya yang sudah dibanjiri air mata bercucur. Mata mereka bertemu, saling beradu seolah membicarakan cinta yang sudah lama tekubur. "Apa kau benar - benar akan pergi?" tanya Keeya berusaha meyakinkan diri.
Woojin tersenyum hangat, mengguratkan sebuah pertanda yang tidak ingin Keeya dengarkan. Ia terlihat seperti hendak menghilang, lenyap dari kehidupan. Hingga jemari lelaki itu menyusuri rambutnya kemudian bersuara, "Kita akan bertemu dihari yang sama, di masa depan." Sebuah kalimat yang membuat Keeya tercekat.
Apapun makna kalimat itu, Keeya tak mau melepaskan Woojin dari pelukannya. Ia memang terlambat, namun tak seharusnya Woojin meninggalkan dirinya. Mata Keeya buram, air mata di kelopaknya membuatnya kesulitan melihat senyuman Woojin yang memudar. Ia panik, begitu tangannya tak lagi memeluk pinggang yang ia dekap.
"Park Woojin!!! Aku mencintaimu, sungguh!! Jangan pergi!!"
***
Nafasku terengah, ku lirik jam bekker yang bahkan belum berdering sempurna. Keringatku bercucuran, sementara mataku sudah sembab akibat berlinang air mata. Cermin yang memantulkan wajahku tertawa, ia mengejekku yang sibuk menuliskan potongan adegan yang ku ingat.
Seraya mencibir diriku yang tergerlak, ponselku bergetar, menandakan email masuk dari clientku yang dua minggu lagi akan datang. Dengan jantung berdegup kencang aku membukanya, membaca pesan itu dengan seksama. Dan begitu membaca pengirimnya, duniaku berbisik membenarkan, “Ah, sepertinya mimpi itu akan menjadi kenyataan.” Dia Park Woojin, seseorang yang sama seperti yang sudah aku impikan malam ini.
THE END