DESTINY

DESTINY

Amelia nur laily

0

Jika diperbolehkan

Aku ingin waktu berhenti

Biarkan aku menikmati momen ini

Bersamanya membuatku bahagia

Terasa seperti mendapati hujan di dalam kemarau

Waktu yang kuimpikan kini tengah ku nikmati

Dengan berbagai rasa yang sudah terpatri di hati

 

23 Novermber 2013

Malam ini kuingin menikmati bintang. Berharap akan ada yang jatuh dan akan ku buatkan sebuah permintaan walau hasilnya akan mustahil. Masa kecilku yang sangat jauh dari kata senang, meski begitu aku masih mempunyai orang-orang yang sangat ku sayangi. Seperti bunda Ratna dan adik-adik panti yang selalu ada disaat aku merasa kesepian. Mereka adalah segalanya untukku. Terlahir menjadi yatim piatu membuatku menjadi sosok yang introvert. Banyak pasang mata yang memandangku hanya sebelah mata. Namun aku berusaha menguatkan hati agar tidak terpengaruh oleh segala cibiran yang datang.

"Kau disini?" bunda datang. Beliau sangat cantik malam ini. Dengan gamis hijau tosca yang sama dengan gamisnya. Dianugerahi mata yang teduh dan senyuman yang manis membuatnya terlihat menawan.

"Bunda belum tidur?" aku bertanya kepadanya yang kini duduk disampingku. Kami sama-sama memandang kearah langit yang indah.

"Carilah ibumu," dua kata itu menusukku. Aku menoleh kearahnya yang kini menatapku.

"Bukan berarti bunda mengusirmu. Bunda hanya mau kau bahagia, maka temui ibumu," perkataannya sengaja ia potong. Mungkin ia ingin tahu bagaimana reaksiku.

"Tapi.. aku tak tahu," aku tak mengerti dengan apa yang kurasakan setelah bunda mengatakan hal itu.

“Apa yang kau ragukan?” ia mengelus pelan pucuk kepalaku. Hatiku terasa sangat damai saat ini. Entah karena apa, mungkinkah karena belaian dari tangan bunda yang mengantarkan sebuah kehangatan yang selama ini kuinginkan?

 “Aku takut jika ia tak menginginkanku,” suaraku seakan tertelan di tengorokanku.

“Jangan jadikan hal itu sebagai sesuatu yang akan membuatmu patah semangat. Pergi cari dia, mungin saat ini ia sangat membutukanmu,” ucap bunda meyakinkanku.

“Jika dia menginginkanku, saat ini pasti dia akan pergi mencariku?” tanpa sadar suaraku meninggi. Aku tertunduk, menyesali apa yang telah ku perbuat. Namun tanpa kusadari, kini bunda tengah memelukku.

“Pikirkan baik-baik perkataan bunda. Sejahat atau sekejam-kejamnya ibu ia pasti merindukan anaknya, pergilah susul ibumu,” kemudian ia melepaskan pelukannya dan beranjak pergi meninggalkan diriku sendiri yang termenung di taman belakang panti asuhan.

***

Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke kampus, dengan tujuan untuk menemui pak Ardian. Beliaulah yang mengurusi segala keperluan tentang beasiswa yang ku terima dua semester terakhir. Aku pergi menemuinya untuk menanyakan tawaran yang ia berikan kepadaku tempo hari. Masikah itu berlaku untuk saat ini?

“Maaf jika saya terlambat,” beliau kemudian duduk disampingku dengan memangku beberapa dokumen, mungkin itu adalah tugas dari para mahasiswanya.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” beliau tampaknya terburu-buru. Dan aku meyakinkan hatiku jika ini adalah pilihan yang tepat.

“Saya terima tawaran anda,” aku berkata dengan mantap. Semoga saja apa yang kuinginkan tercapai dengan semua pengorbanan ini.

***

Sudah ku pastikan jika sore ini aku akan mengatakan kepada bunda  tentang apa yang telah ku pilih. Dan aku berarap jika bunda mendukung apapun yang telah menjadi pilihanku. Namun ada beberapa hal yang ku takutkan, akankah bunda masih berbaik hati kepadaku?

“Ada yang ingin kau ceritakan kepada bunda?” ucap bunda yang tiba-tiba datang dan masuk ke dalam kamarku.

“Aku sudah memutuskan untuk pergi ke…Korea,” aku berkata sambil menundukkan kepalaku. Aku takut jika nanti bunda tidak menyetujui keputusan yang telah aku pilih.

“Mengapa Korea?” pertanyaan bunda seakan menarikku untuk menatap kearahnya. Dia tersenyum.

“Eh… entah mengapa aku memiliki firasat jika Korea adalah negara yang  tepat untuk ku tuju,” bunda hanya mengerutkan dahi.

“Apa bunda setuju?” aku menatapnya khawatir  jika saja ia tak menyetujuinya.

“Apapun yang kau pilih, bunda pasti ikhlas,” tatapannya menyiratkan jika ia memang tulus mengatakan itu. Hatiku terasa tenang saat bunda mengatakan hal itu. Aku memeluknya dengan erat sambil terus mengucapkan banyak terima kasih kepadanya.

Aku terlalu banyak merepotkannya selama ini, setidaknya aku akan membalas semua perbuatannya dengan pergi dari hidupnya sebentar lagi. Tapi aku masih takut, jika aku kembali lagi akankah dia masih menerimaku lagi dengan situasi yang berbeda dari sekarang?

***

23 Desember 2013

Hari ini tepat pukul 10.00 aku akan pergi meninggalkan negara ini. Negara kelahhiranku dengan segala keunikan yang tercipta, Indonesia. Aku memantapkan hati untuk pergi meninggalkan semuanya, termasuk kenangan yang telah kuukir bersama dengan semua orang. Kini bandara Soekarno-Hatta tampak ramai dengan orang berlalu lalang.  Aku masih terduduk disalah satu kursi untuk menunggu pak Ardian. Beliau berkata jika masih mengurus sesuatu yang sempat tertinggal entah apa itu. Saat ini masih pukul 09.10, masih ada waktu 50 menit lagi. Bunda tak ikut mengantarku, memang ku larang karena nanti aku tak sanggup meninggalkan negara ini karenanya.

“Maafkan saya, tadi handphone saya tertinggal dan beberapa dokumen penting yang harus kamu lengkapi nantinya disana,” pak Ardian datang dengan nafas yang terengah-engah. Mungkin beliau habis berlari dan mengira aku akan segera take off.

“Seharusnya anda tak terlalu buru-buru, masih ada 45 menit lagi untuk saya pergi dari sini,” aku berkata sesantai mungkin. Melihat itu pak Ardian menghela nafas kasar, mungkin ia menyesal karena tak melihat jadwal pesawatku.

“Oh ya, dimana keluargamu? Mengapa mereka tak mengantarmu kesini?” beliau mencoba mencari bunda, padahal aku tak mengajaknya.

“Saya kesini sendiri, saya melarang bunda ikut karena saya takut jika nanti saya tidak tega meninggalkannya,” aku berkata sambil meremas bajuku. Sungguh, aku sangat tersiksa saat ini karena harus meninggalkan orang-orang yang sudah bersamaku selama 20 tahun lebih.

“Tak apa, saya paham dengan keadaan kamu. Saya lupa, setelah kamu sampai disana langsung ke alamat ini saja. Ini adalah alamat dimana nanti kamu akan tinggal, maaf saja karena kita tidak menyediakan apartemen untuk mahasiswa beasiswa. Jadi ini seperti asrama dan disana juga ada pengasuhhnya,” beliau menjelaskan dengan rinci apa yang harus ku lakukan disana. Dan tentang tempat tinggal, jujur saja jika aku lebih suka tinggal di asrama daripada apartemen karena di asrama pasti banyak teman daripada apartemen.

Ku lihat jam tangan yang ku pakai menunjukkan 09.50, ini sudah waktunya aku untuk pergi. Aku berpamitan kepada pak Ardian karena memang pengumuman tentang pesawat yang akan terbang ke Korea sudah terdengar beberapa kali. Aku berjalan menjauh sambil menarik koperku. Hatiku bergemuruh tatkala aku memasuki pesawat ini. Aku hanya berdoa saja dalam hatiku untuk semua keselamatanku.

***

Pukul enam waktu korea aku sampai di bandara Internasional milik Korea selatan. Udara yang dingin menusuk kulit tak menutupi semua keindahan ini. Saat ini masih musim dingin, dan lagi natal akan datang. Hal ini terlihat dari banyaknya pernak pernik natal yang terpajang hampir diseluruh sudut kota. Aku keluar dan memesan taksi untuk menuju kealamat yang akan ku tuju. Aku begitu menikmati suasana kota Seoul, udaranya yang dingin dan pemandangan yang indah seakan membuatku terpesona untuk kesekian kalinya.

Agassi, kita sudah sampai,” sopir taksi menyadarkanku dari lamunanku akan pemandangan kota Seoul.

Ah ne, gamsahamnida ahjussi,” aku keluar dari taksi dan memandang sekitar. Tak terlalu buruk untukku, tempatnya juga bersih.

Aku berjalan memasuki rumah sesuai dengan alamat yang diberikan oleh pak Ardian. Ku ketuk daun pintu berwarna cokelat ini. Tak lama kemudian, muncullah sosok cantik dari dalam. Ia menyuruhku masuk kedalam dan yang terlihat pertama kali adalah interiornya yang sangat menarik.

“Silahkan duduk dulu,” ia menyuruhku untuk duduk dan ia pergi meninggalkanku menuju dapur. Ku perhatikan sekitar, rumah minimalis dengan desain yang menarik membuatnya terlihat nyaman.

“Apa kau pindahan dari Indonesia itu?” perempuan cantik itu duduk didepanku sambil meletakkan segelas jus jeruk di meja depanku. Aku hanya mengangguk menjawabnya.

Aku tersenyum “Perkenalkan, namaku Hana. Aku harap kita bisa jadi teman baik,” aku mengulurkan tanganku kepadanya.

“Namaku Kim Sejeong, semmoga kita bisa menjadi teman sekamar,” aku terkejut mendengarnya. Jadi, dia bukanlah pemilik asrama. Lantas dia siapa?

“Aku tahu jika kau bingung saat ini. Aku bukanlah pemilik asrama ini, melainkan juga mahasiswa yang tinggal disini. Ibu Choi masuk rumah sakit, jadi beliau menitipkan asrama ini kepadaku karena memang tinggal diriku saja,” ia menjelaskan apa yang membuatku bingung saat ini. Dan tentang iibu Choi yang sakit, entah mengapa aku merasa sangat khaawatir.

“Apa keadaannya baik-baik saja?” aku menanyakan bagaimana keadaan ibu Choi yang katanya adalah pemilik dari asrama ini.

“Aku tak tahu pastinya karena disana hanya ada sepupunya yang menjadi dokter dan aku juga belum sempat menjenguknya,” ia berkata sambil menggedikan bahunya dan menyandar ke sofa yang ia duduki.

“Bisakah lusa kita menjenguknya?” aku mencoba mengajaknya menjenguk ibu Choi. Terlihat ia tengah berpikir, mungkin sedang mengingat jadwalnya. Tapi sedetik kemudian ia tersenyum dan mengangguk. Aku senang melihat itu.

“Ayo kuantar ke kamarmu,” ia berjala mendahuluiku, menaiki  tangga dan berjalan ke lorong sebelah kanan dan terlihat pintu dengan cat pastel yang menarik perhatianku.

“Ini adalah kamarmu, silahkan masuk dan istirahatlah,” ia membukakan pintu ini. Tempatnya sangat nyaman menurutku dan cukup bersih.

“Maaf, kemarin aku belum sempat membersihkan kamarmu,” ia berkata sambil meringis pelan karena merasa bersalah mungkin.

“Tak apa, nanti bisa ku bersihkan sendiri,” aku mencoba menenangkanna. Ia kembali tersenyum saat aku mengatakan itu.

“Jika kau butuh bantuanku, kau bisa mengetuk pintu didepanmu ini,” ia menunjuk kearah pintu bercat biru laut. Mungkin itu adalah kamar miliknya. Aku hanya mengangguk dan ia menyuruhku untuk segera masuk ke kamar dan istirahat.

Aku menutup pintu kamarku dan memandang kearah kasur yang saat ini menarik perhatianku. Jujur, aku memang sangat lelah karena perjalanan ini. Dengan segera aku melempar tubuhku ke atas kasur yang empuk ini, membiarkan koperku tergeletak begitu saja. Aku memejamkan mata, merilekskan tulang dan sendiku yang seakan remuk ini. Tak terasa aku tertidur cukup lama, ku lirik jam yang tertempel di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam.

Aku bangkit dan berjalan ke arah jendela, betapa terkejutnya aku jika disana terdapat taman yang sangat indah. Banyak bunga yang tumbuh, namun mawar putih lebih mendominasinya. Entah ini sebuah kebetulan atau apa, aku sangat menyukai mawar putih. Terdengar pintu terbuka, muncullah Sejeong dengan piyama dan kaca mata bulat yang membuatnya terlihat imut.

“Aku sudah memasak. Jika kau lapar, turunlah sebelum makanannya dingin,” setelah ia berkata seperti itu ia keluar, mungkin untuk mengerjakan tugas kuliahnya.

Aku segera mandi dan turun untuk makan. Dan aku sangat terkejut dengan menu makan malam ini. Menurutku terlalu mewah, ada kimchi, hanwoo, sup ayam, dan masih banyak lagi. Aku bingung harus makan yang mana dulu. Aku memutuskan untuk memakan beberapa saja dan selain itu aku memasukkan kedalam lemari pendingin, mungkin masih bisa dimakan untuk besok.

***

25 Desember 2013

Hari ini aku akan bertemu dengan ibu Choi tapi Sejeong tak jadi ikut. Ia ada acara dadakan dengan keluarganya, maklum saja jika ini adalah hari natal. Mungkin disini hanya beberapa saja yang tidak merayakan, seperti diriku. Sejeong hanya memberitahuku dimana ibu Choi dirawat. Tanpa ragu aku pergi menyusuri lorong rumah sakit. Diujung sana ada dua orang berjas putih yang tengah bercakap serius. Aku berjalan mendekatinya dan mencoba memanggil mereka.

“Permisi, bolekah saya bertanya. Dimanakah ruangan dari ibu Choi?” terlihat dua dokter tersebut terkejut. Dokter bername tag Choi Tae Hwan itu mendekatiku dan memelukku. Aku terkejut, kita belum saling mengenal tapi ia berlaku seperti kita sudah mengenal lama.

“Maaf, apa yang kau lakukan,” aku mendorongnya dan dokter muda di belakangnya terlihat seperti bingung.

“Kau ingin menemui ibumu bukan?” mataku terbelalak. Apa yang ia maksudkan?

“Baekhyun, bisakah kau menjelaskannya? Aku ada operasi setelah ini,” ia pergi meninggalkanku setelah menepuk pundak dokter Baekhyun.

“Aku tahu kau pasti bingung, ikut aku ke taman belakang,” dia pergi memndahuluiku.

***

“Aku akan menjawab segala kegelisahanmu, tapi sebelumnya bacalah surat-surat ini,” dokter Baek memberiku lima surat yang aneh. Aku membukanya satu persatu.

Dan aku terkejut dengan semua isi surat yang dokter Baek berikan. Itu surat dari ibuku. Ibu Choi Min Ah, dialah ibuku. Aku bukan dibuang oleh ibu, melainkan ayahku sendiri karena ia tak bisa menikah lagi. Dan wanita yang akan ayah nikahi adalah ibu dari dokter Baek. Dan disini ibuku yang menjadi sasaran dari kekejaman ayahku. Aku tak kuasa membendung air mataku melihat curahan hati dari ibu. Aku terisak hebat, namun yang kurasakan sekarang adalah kehangatan. Dokter Baek memelukku, dia mengelus pelan punggungku.

“Aku tahu jika kau sedih, aku dikabari dokter Choi jika kau datang dan itu membuat kita berdua bingung bagaimana cara memberi tahumu,” ia melepas pelukannya dan memandang lurus kearah mataku.

“Kalian tahu dari siapa aku ada di korea?” aku berkata dengan suara yang masih teredam di tenggorokan.

“Sebenarnya dokter Choi dan bundamu selama ini selalu melakukan komunikasi,” ia menjeda perkataannya.

“Ayahmu akan tetap menikahi ibuku, sedangkan ibumu sedang sekarat. Aku ingin kita membatalkan pernikahan mereka dan memasukkan ayahmu ke penjara karena dialah yang membunuh ayahku supaya bisa menikahi ibuku,” ternyata sungguh kejam perbuatan ayahku. Dengan nekad ia berani membuuh ayah dokter Baek dan membiarkan ibu sekarat di rumah sakit.

“Jadi, menikalah denganku,” ucapnya yang membuatku sangat terkejut.

“Bolehkah aku menemui ibuku?” aku memohon kepadanya agar aku bisa bertemu dengan ibu.

Dan disinilah aku, ruangan serba putih dan berbau obat obatan. Aku memandang sosok cantik yang tengah terbaring lemas. Ku dekati dia dan ku genggam tangannya, terasa begitu dingin. Air mataku mengalir lagi, ku bisikkan sebuah kalimat yang ingin sekali ku katakan padanya.

‘Eomma…naneun yeogieissda, bogosipo eomma. Saranghae eomma’ satu tetes air mata mengalir dari mata ibuku. Aku semakin terisak disaat ia membalas genggaman tanganku. Namun sedetik kemudian kurasakan genggaman ibu mulai melemah dan terlihat dokter Baek sangat panik.

***

Hari ini aku pergi bersama Baekhyun yang sekarang statusnya sudah menjadi suamiku. Setelah memasuki ruangan, kami disambut ramah oleh dokter yang sedang duduk di hadapan mejanya.

Dokter bernama ‘Kim Jisoo’ itu berdiri sedangkan Baekhyun diminta untuk duduk.

Setelah cukup lama menunggu, dokter Kim segera menemui Baekhyun.

Ku lihat Baekhun berdiri sambil menatap pada dokter Kim, penuh harap “Selamat tuan Baekhyun, anda akan menjadi ayah,”