De Javu

De Javu

bondpermadi

5

Sudah tak terasa aku menginjakkan kaki di kantorku yang baru ini selama 6 bulan semenjak kepindahanku dari tempat kerja yang lama. Namaku Bondi. Saat ini aku bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah pabrik alat musik. Alat musik tiup lebih detailnya. Background pendidikanku adalah teknik mesin. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan insinyur bekerja di sebuah pabrik. Hal yang tak menyenangkan selama ini adalah aku selalu tidak betah untuk bekerja terlalu lama di sebuah tempat yang baru karena kelebihanku yang di luar nalar kebanyakan orang.

Beberapa orang bahkan menyebutku dengan gila dan abnormal. Bukan tanpa sebab karena aku adalah seorang pria yang tumbuh karena kelebihanku sebagai seorang anak indigo. Aku menyebutnya sebuah anugerah dari Sang Maha Pencipta tapi juga terkadang malapetaka. Aku juga mulai lelah dengan kelebihanku ini. Bayangkan saja ketika tertidur pulas, aku pernah dihampiri sesosok gadis dengan kondisi pucat pasi dan berlumuran banyak darah. Gadis itu dibunuh beberapa jam yang lalu lalu mayatnya dibuang di selokan tak jauh dari rumahku. Gadis itu minta tolong kepadaku untuk menemukan jasadnya dan melaporkan ke pihak polisi. Sungguh kejadian itu membuat jam tidurku terganggu yang berakibat keesokan harinya aku telat masuk kantor karena kesiangan.

            Hari ini, Kamis, dijadwalkan aku masuk shift 2 atau biasanya disebut shift sore. Untungnya shift sore hanya berlaku untuk sehari saja dan tiap orang pasti mengalaminya karena jadwalnya bergilir. Kalau menurutku ini lebih tepatnya patrol karena tugasnya hanya berkeliling di area pabrik dan mengecek semua aktivitas di dalamnya. Terlihat suasana dalam kantor mulai sepi hanya dua orang saja yang masih asyik duduk di depan komputernya.

            “Selamat sore. Wah Bondi shift 2 yang jadwalnya sekarang?” tanya seseorang kepadaku.

            “Iya, Bang Rano. Bakal seru nih nanti. Hihihi”, balasku dengan suara lirih dan menahan tawa.

“Ssst…hati-hati loh nanti semua penghuninya suka sama kamu”, katanya lagi. “Oh, ya nitip salam sama kunti ya? Jangan gangguin aku soalnya besok waktu jadwalnya shift sore”, kata Bang Rano sambil berlalu meninggalkanku.

Bang Rano adalah satu departemen denganku. Dia adalah senior di tempat kerjaku saat ini. Dia juga tahu aku adalah seorang indigo dan hanya dia dari sekian teman-teman yang menganggapku tidak gila. Dia memang suka bercanda, tidak takut dengan hal-hal yang berbau horror. Sudah pede katanya. Tapi dia juga nggak mau dan berharap setan tiba-tiba muncul dihadapannya.

Pukul 5 sore kantor benar-benar menunjukkan kesunyiannya setelah Pak Adam, Manager Purchasing, pamit untuk pulang setelah Bang Rano tadi.

“Pulang dulu Bondi”, katanya dengan senyuman khasnya.

“Iya, Pak! Hati-hati di jalan”, jawabku penuh semangat.

Baiklah. Pertama yang aku lakukan adalah menyalakan komputer di mejaku, lalu memilih list musik untuk di play. Hari ini temanya musik religi saja pikirku sambil memilih beberapa lagu Opick. Ketika Patrol dijadwalkan sejam sekali mulai dari jam 4 sore hingga 12 malam. Dan sekarang sudah 5 sore lewat 15 menit. Aku mulai bergegas untuk patrol di area pabrik. Jadi, kantor dan pabrik letaknya memang terpisah. Kalau di kantor isinya meja dan komputer sementara di pabrik adalah orang-orang operator produksi yang melakukan proses menghasilkan barang jadi untuk diekspor.

Di pabrik memang masih terlihat ramai karena ada beberapa bagian yang menerapkan sistem 24 jam kerja yang terbagi dalam beberapa shift. Aku berjalan memasuki koridor menuju bagian perakitan produk jadi. Disini adalah bagian terakhir dari semua bagian yang ada karena memang prosesnya adalah produk finish yang siap diekspor. Untuk bagian ini terbagi dalam 3 line menurut jenis alat musik yang dirakit. Dua line sudah tidak menampakkan aktifitasnya karena memang pada bagian perakitan tidak ada sistem shift.  Satu line yang berisikan 10 orang terlihat masih sibuk untuk merakit. Line ini ternyata lembur untuk mengejar ketinggalan produk ekspor.

“Lagi tugas shift sore ya, Mas?” sapa salah seorang operator kepadaku.

“Iya, Pak!” jawabku tersenyum.

Aku berkeliling sebentar di ruangan perakitan karena memang ruangan itu terbilang cukup luas. Hampir muat untuk orang 150-an. Aku mengecek dengan seksama. Aku membuka beberapa meja kerja operator. Nah, akhirnya ada temuan yang bisa dijadikan bahan laporan patrol. Beberapa dokumen dan alat kerja berserakan tidak tersusun rapi. Saat aku mau memotret meja kerja itu tiba-tiba lampu mati di ruangan perakitan. Tak lama berselang sekitar satu menit kemudian lampu nyala kembali. Betapa aku terkejut bukan main. Line yang tadi kulihat berisikan 10 operator bekerja mendadak sekarang hanya tinggal 3 orang. Lalu aku berjalan dan menghampiri operator yang tadi menyapaku.

“Pak Ardi, maaf mengganggu. Saya ingin nanya tadi sepertinya di line Bapak jumlahnya 10 orang sama Pak Ardi. Kok sekarang tinggal bertiga saja?” tanyaku penuh ketakutan. Keringatku mulai menampakkan wujudnya dimulai dari pelipis kepala.

Pak Ardi menaikkan alisnya,”Sampean bisa aja Mas. Jangan Ngaco ah. Ini yang lembur cuman 3 orang aja kok. Saya, Mas Wiwid, sama Kang Slamet. Yang lainnya sudah pada pulang dari tadi jam 4 sore. Mungkin Mas Bondi salah liat.”

Oke fix seketika bulu kuduk di tanganku naik dan aku merinding. Aku memutuskan kembali ke kantor untuk bersiap menunaikan sholat Maghrib. Kantor benar-benar terlihat sunyi sepi. Aku duduk sebentar dan membuka komputer. Aku memutar lagu islami milik Opick. Walaupun volume lagu yang kuputar menurutku lumayan keras tapi aku mendengarkan hal lain yang aneh. Aku masih bisa mendengarkan dengan jelas suara mouse di klik berulang-ulang. Mouse milik siapa yang digunakan padahal hanya aku saja yang sekarang di dalam kantor. Mouse ku pun sekarang juga tidak aku gunakan. Hanya untuk mengklik satu kali saja saat memilih lagu. Jantungku berdegup kencang. Aku beranjak dari tempat mejaku dan bergegas keluar menuju masjid yang bersebelahan dengan kantor.

Sepertinya perlu pencerahan agar hawa negatif segera hilang. Usai menunaikan sholat aku kembali ke kantor untuk mengambil kamera yang aku tinggal di atas meja karena saatnya patrol lagi berkeliling area pabrik. Ketika beranjak keluar aku mendengar suara dering telepon. Tapi anehnya telepon yang berdering berada di ruangan meeting room yang mana jarang sekali orang pabrik ataupun orang luar sekalipun menghubungi hotline area meeting room. Aku memutuskan mempercepat langkahku keluar kantor dan menghiraukan telepon yang berdering. Aku melihat ke arah langit sekarang benar-benar gelap.

Memang waktu menunjukkan pukul 18.15 WIB. Aku berjalan menyusuri ruangan demi ruangan yang ada di dalam pabrik. Ada salah satu ruangan namanya ruang “3D Room”. Ruangan itu difungsikan untuk mengecek semua peralatan yang mengalami keausan. Bisa dibilang seperti mesin printing 3D bedanya mesin ini hanya untuk mengukur dimensi bukan untuk menciptakan bentuk dimensi. Saat masuk aku merasakan sensasi aneh yaitu panas. Padahal seharusnya ruangan ini tidak boleh sekalipun panas. Terdapat dua AC untuk menjaga agar ruangan selalu dalam kondisi 20º C. Oh ternyata AC tidak dinyalakan. Siapa juga yang mematikan AC nya. Aku nyalakan sambil memotret parameter suhu yang tertempel di dinding. Suhunya memang tidak menunjukkan 20º C. Lalu aku keluar ruangan tersebut. Sial ! Pintunya terkunci dari luar. Pintu ruangan “3D Room” memang menggunakan scanner finger lock, yang artinya hanya beberapa orang saja yang bisa mengakses termasuk aku.

 Tidak seperti biasanya pintu tiba-tiba macet. Aku mulai panik. Aku mencoba telepon hotline security tapi tak ada respon. Ditambah AC mendadak tidak berfungsi lagi. Suhu ruangan mulai panas karena ruangan 3D didesain seperti ruangan kedap. Keringatku mulai mengalir deras membasahi pakaianku. Leherku juga terasa berat seperti ada yang mengganjal. Aku merasakan ada orang lain di belakangku. Aku merinding tidak karuan.

Please, tolong jangan ganggu saya. Saya bisa melihat kamu. Kamu juga pasti tahu kalau saya bisa melihat yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Saya saat ini kerja tolong bantu dan jangan ganggu”, kataku dengan suara lantang. Mungkin terlihat seperti orang gila berbicara sendiri. Mau tidak mau tapi itu yang harus aku tekankan. Seketika ada pekerja yang melintas lalu membuka pintu dari luar.

“Makasih Bang Rano. Tadi perasaan pulang? Kok muncul lagi?” tanyaku penasaran.

“Iya nih ada barang yang ketinggalan di ruangan ini. Eh kok ada kamu disini. Emang ada apa tadi kok kelihatan dari luar teriak-teriak seperti orang ketakutan?”

Aku menghela nafas dalam-dalam, “Aku kekancingan Bang. Terus AC-nya mati. Panas deh tahu sendiri ruangan ini kedap kalau AC-nya mati sudah kayak neraka aja. Eh tapi sekarang ada Bang Rano kok AC-nya hidup lagi ya? Udah dingin lagi. Benar-benar aneh banget.”

“Bang Rano masih lama di dalam ya? Aku duluan ya?” sambil aku berlalu meninggalkan ruangan 3D. Aku memutuskan kembali ke kantor karena sedikit shock. Tapi pikirku nanti akan terjadi hal yang sama. Aku berubah haluan menuju pos security yang letaknya di dekat pintu keluar masuk pabrik. Lalu handphoneku berdering. Ternyata panggilan masuk dari Bang Rano. Mungkin dia kekancingan juga sama sepertiku.

“Iya Hallo Bang Rano? Ada apa?”

“Bondi? Bond tadi ada sesuatu ketinggalan di ruangan 3D bisa minta tolong ambilkan? Map putih ada di laci meja.”

“Hah? Apa nggak salah denger Aku Bang? Perasaan tadi kan ketemu di ruang 3D katanya mau ambil barang yang tertinggal. Amalh aku tadi sempet kekancingan bang Rano yang bantu aku bukain dari luar. Jangan bercanda akh!”

“Nggak Bond. Ini aku malah mau otewe ke pabrik kembali lagi. Ambil berkas takut hilang.”

“Serius, nah tadi siapa tuh , Bang yang di ruangan 3D?”

“Ya, nggak tahu. Minta tolong ambilkan ya. Aku tunggu nanti di gerbang luar. Aku keburu soalnya.”

“Beneran Bang tadi itu……”

Tit…tit…tit… telepon terputus seketika. Apa beneran sih semua kejadian ini. Ketakutanku sekarang kian memuncak. Bibirku mengering sementara tangan kaki dingin seperti es batu. Di dalam hati aku berbicara, “Ya Tuhan, aku tahu Engkau memberikan kelebihan kepadaku yang semua orang jarang memilikinya. Tapi aku mulai lelah dengan dunia seperti ini. Aku tidak bisa membedakan kejadian yang real atau tidak.”

Lalu ada security memanggilku dari kejauhan. Sepertinya ada telepon.

“Mas Bondi, ada telepon dari Pak Budhi”, kata security.

Pak Budhi adalah manager di departemenku. Tumben sekali dia menelepon malam hari begini dan langsung tujuannya adalah aku.

“Hallo, selamat malam Pak? Ada yang bisa dibantu? Saya Bondi Pak.”

“Hallo Bondi, sekarang kamu siap-siap aja ya tak jemput. Saya tadi barusan ditelepon pihak rumah sakit kalau si Rano mengalami kecelakaan tadi sore sewaktu pulang kerja. Keadaannya kritis. Istri dan keluarga besarnya juga sudah diberitahu. Kata pihak rumah sakit kemungkinan untuk selamat kecil. Makanya saya berpikir untuk mengajak kamu karena dekat sekalian nemani saya.”

Aku terdiam membisu seperti patung Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sebelum Pak Budi menelepon, Bang Rano mau datang kesini. Jadi siapa yang sebenarnya? Hatiku mulai beracmpur-aduk tidak karuan rasanya.

“Mas Bondi, itu di luar ada yang cari. Kayaknya Mas Rano”, kata security memberitahuku.

Deg, jantungku mulai berdebar-debar. Aku berjalan keluar pagar dan melihat sekeliling. Tak ada satu pun manusia yang terlihat diluar.

“Mana Pak? Nggak ada tuh!” kataku kesal sambil berbicara ke Pak security.

“Bondy, ambilkan mapnya ya!” suara Bang Rano terdengar dari arah belakangku.

Aku menoleh dan terkejut bukan main. Aku melihat Bang Rano berlumuran banyak darah, mukanya separuh hancur tidak berbentuk, masih memakai seragam kantor yang sudah kusut dan compang-camping.

ARRRRGGGGHHH!!!!

Aku terbangun dari tidur lelapku. Ternyata semua tadi hanyalah mimpi. Keringatku mengucur deras dari keningku. Aku melihat jam sekarang menunjukkan pukul 3 sore. Padahal nanti rencananya aku kebagian giliran masuk shift sore jam 4. Aku segera mandi dan bersiap untuk berangkat kerja. Sesampainya dikantor, aku merasakan sesuatu yang aneh. Semua yang terlintas adalah 100% mirip dalam mimpiku tadi sore. Hingga detailnya aku pun masih mengingatnya.

“Selamat sore. Wah Bondi shift 2 yang jadwalnya sekarang?” tanya seseorang kepadaku.

Deg. Jantungku mulai memacu adrenalinnya. Pertanyaan ini adalah sama persis yang dilontarkan di dalam mimpiku.

“Bang Rano lebih baik hari ini pulang kerja naik Bus saja. Jangan naik motor ya! Terus sebelum pulang coba ke ruangan 3D Room dulu. Firasatku ada dokumen yang tertinggal.”

Bang Rano nyengir terus memukul pundakku.

“Oke, Bos. Makasih ya!”

Aku pun hanya mengangguk. Hatiku berkata semoga tidak terjadi apa-apa kepada Bang Rano. Tuhan selalu melindunginya. Amien

-END-